”Kedatangan Yang Mulia tidak perlu membawa emas, tetapi membawa hujan dan salju. Hujan dan salju merupakan berkah bagi kami. Hujan dan salju tidak pernah memilih akan turun kepada orang kaya atau orang miskin.”
Presiden Ashraf Ghani
Itulah yang dikatakan Presiden Afghanistan Ashraf Ghani ketika menyambut kedatangan Presiden Indonesia Joko Widodo di Kabul. Jokowi mengunjungi Afghanistan, negeri yang telah terkoyak-koyak oleh perang saudara begitu lama; negeri yang terluka begitu dalam karena permusuhan; negeri yang memasuki masa kekelaman karena kuasa kebencian dan saling memusnahkan lebih kuat dibandingkan kuasa saling perhatian dan saling menguatkan; negeri yang telah dikuasai oleh kuasa anak-anak kegelapan, bukannya anak-anak terang.
Padahal, seorang diplomat Perancis, René Dollot, pada tahun 1937 menyebut Afghanistan sebagai ”Swiss dari Asia”. Percy Sykes, penulis buku A History of Afghanistan (1940), menggambarkan Afghanistan sebagai ”Swiss dari Asia Selatan”.
Kiranya bukan tanpa alasan keduanya memberikan sebutan seperti itu. Swiss terkenal karena alamnya indah bergunung-gunung; menjadi tempat bermain ski; lembah-lembah dan kaki-kaki Alpen yang hijau menjadi tempat pertanian dan peternakan. Wilayahnya yang bergunung-gunung telah membuat secara politik Swiss berbeda (dibandingkan dengan negara-negara lain di Eropa) sepanjang sejarahnya.
Apakah Afghanistan seindah Swiss, meskipun juga negeri bergunung-gunung. Pegunungan Hindu Kush, yang puncak paling tingginya mencapai 7.485 meter, hampir mengepung seluruh wilayah Afghanistan kecuali wilayah barat laut dan barat daya. Bahkan, ibu kota Afghanistan, Kabul, berada pada ketinggian 1.789 meter di atas permukaan laut. Namun, tidak semua wilayah Afghanistan bergunung-gunung. Ada bagian yang berupa padang gurun kering, berbatu-batu, yakni bagian selatan dan barat. Namun, Afghanistan juga bersalju pada musimnya, seperti Swiss.
Baik Swiss maupun Afghanistan memiliki komposisi penduduk yang sama-sama beragam. Di Swiss ada orang berdarah Jerman, Perancis, Italia, Romansch, dan lainnya. Ada yang beragama Roma Katolik, Protestan, Kristen, Islam, Yahudi, dan sebagainya. Ada yang berbahasa Jerman, Perancis, Italia, Inggris, Portugal, Albania, Serb-Kroasia, dan Spanyol. Bangsa Afghanistan terdiri dari etnik Pashtun, Tajik, Hazara, Uzbek, Aimak, Turkmen, Baloch, dan etnik-etnik kecil lain. Bahasanya pun beragam.
Akan tetapi, melihat Afghanistan sekarang ini—atau sekurang-kurangnya 25 tahun terakhir—sangat sulit untuk disandingkan dengan Swiss. Afghanistan telah menjadi negeri yang berlumur darah. Negeri tempat membunuh sesama anak bangsa begitu mudah. Kudeta komunis 1978 bisa dikatakan sebagai pendorong terjerumusnya Afghanistan ke lembah perang saudara yang begitu dalam dan gelap gulita. Meskipun sebenarnya, jika dilihat lebih teliti, penyebab perang saudara adalah faktor internal dan eksternal, obyektif dan subyektif; yang kesemuanya saling berhubungan, pengaruh-memengaruhi. Faktor eksternal misalnya rivalitas global antara negara adidaya dan sistem politik yang bertentangan; penempatan pasukan Uni Soviet di Afghanistan memicu konflik internal.
Perpecahan elite politik di Kabul menjadi penyebab terjadinya kudeta 1978 yang sering disebut sebagai ”Revolusi Saur” (Inqilab-e Saur). Saur adalah nama salah satu bulan dalam kalender Afghanistan. Perpecahan itu terjadi lantaran munculnya dua kelompok politik radikal yang berhaluan Marxist: Khalq (Massa Rakyat) dan Parcham (Pataka). Mereka bersaing, tetapi tetap tergabung dalam Partai Demokratik Rakyat Afghanistan (PDPA).
Revolusi ini mengejutkan rakyat banyak. Penyebabnya, ini adalah revolusi dari atas yang tidak mendapat dukungan rakyat. Revolusi telah menimbulkan krisis berkelanjutan di Afghanistan, yang akhirnya mengundang masuknya Uni Soviet (1979). Masuknya Uni Soviet membuat krisis di Afghanistan semakin dalam dan muncul perlawanan. Saat itulah muncul kelompok perlawanan bersenjata yang disebut Mujahideen (Mujahidin). Kelompok ini terdiri atas berbagai komponen yang berbeda-beda, termasuk partai politik yang berpusat di Pakistan.
Mujahidin mencerminkan kompleksitas masyarakat Afghanistan yang beragam-ragam. Misalnya, Hezb-e-Islami Leninis (Partai Islam) pimpinan Gulbuddin Hekmatyar dan partai berhaluan moderat Jamiat-e-Islami (Masyarakat Islam) di bawah komando Burhanuddin Rabbani. Ada lagi partai-partai yang lebih kecil, misalnya yang dipimpin Pir Sayid Ahmad Gailani dan Sibghatullah Mojadiddi, yang mencerminkan pengaruh sufi, dan mendukung kembalinya Mohammad Zahir Shah, Raja Afghanistan 1933-1973. Lalu ada partai yang beraliran Wahabi pimpinan Abdul Rab al-Rasoul Sayyaf (William Maley: 2003).
Kelompok Mujahidin mendapat dukungan AS dan Pakistan. Ketika pada akhirnya Uni Soviet keluar dari Afghanistan (1989), krisis tidak juga berakhir karena justru terjadi persaingan dalam tubuh Mujahidin. Persaingan dan konflik dalam tubuh Mujahidin ini yang, antara lain, memberi peluang munculnya kelompok Taliban. Kemunculan Taliban tidak terlepas dari peran Pakistan, yang semula gagal dimainkan oleh kelompok Hekmatyar.
Sejak saat itulah, kondisi di Afghanistan semakin parah; perang saudara semakin menjadi-jadi, ditambah campur tangan kekuasaan luar dikomandani AS setelah tragedi menara kembar (2001) karena serangan teroris. Afghanistan diyakini sebagai tempat persembunyian kelompok teroris pimpinan Osama bin Laden yang bertanggung jawab atas serangan 2001.
Masuknya ribuan tentara asing tidak membuat negeri itu damai, tetapi justru sebaliknya, karena kelompok Taliban pun meningkatkan serangan terhadap tentara asing dan militer Afghanistan. Ketika tentara asing mulai ditarik dan keamanan diserahkan kepada Pemerintah Afghanistan, situasi tidak menjadi lebih baik. Serangan bom terjadi harian. Banyak nyawa melayang. Negeri itu telah terkoyak-koyak, bahkan compang-camping, luka parah, karena berbagai persoalan, tidak hanya soal keamanan, tetapi juga ekonomi, korupsi, konflik etnis, dan masalah kondisi alam. Siapa lagi yang akan membantu mereka?
”Kami menjerit minta bantuan, tetapi angin menerbangkan kata-kata kami,” tulis novelis Doris Lessing mengutip ucapan orang Afghanistan yang sendirian. Jokowi datang bersimpati, berbela rasa, ”membawa hujan dan salju,” kata Ashraf Ghani.