Seratus lima puluh tahun silam peristiwa itu terjadi. Kala itu, tahun 1868 (MDCCCLXVIII). Tahun 1868 adalah tahun kabisat yang dimulai pada hari Rabu menurut kalender Gregorian atau tahun kabisat dimulai hari Senin menurut kalender Julian.
Pada zaman yang sama, Tsar Aleksander II berkuasa di Rusia; di Perancis berkuasa Napoleon III; dan di Batavia, pemerintah Hindia Belanda secara resmi membuka Museum Batavia, sekarang Museum Nasional Indonesia, yang sering disebut Gedung Gajah. Disebut Gedung Gajah karena ada patung gajah terbuat dari perunggu, hadiah dari Raja Siam Chulalongkorn, tahun 1871.
Namun, peristiwa itu tidak terjadi di Rusia dan tidak terjadi di Perancis, apalagi di Batavia. Peristiwa pada hari Jumat, 3 Januari 1868, itu terjadi di Jepang, ”negeri matahari terbit”. Hari itu, Keiki Yoshinobu, shogun ke-15 dari Dinasti Tokugawa, mengakhiri kekuasaannya. Ia menyerahkan kedaulatan dan kekuasaannya kepada Kaisar Mutsuhito yang baru berusia lima tahun. Kaisar Mutsuhito menggantikan ayahnya, Kaisar Komei, yang meninggal pada awal tahun 1867.
Penyerahan kedaulatan dari Shogun Keiki Yoshinobu yang juga disebut Tokugawa Yoshinobu (1837-1913) kepada Kaisar Mutsuhito atau Meiji atau Meiji Tenno (1852-1912) sangat berarti bagi Jepang. Peristiwa ini tidak hanya menandai berakhirnya masa keshogunan yang berusia 260 tahun, tetapi juga menjadi awal babak baru, demokrasi Jepang. Demokrasi Jepang yang meniru model monarki konstitusional negara-negara monarki di Eropa pada masa itu (Dana Kenneth Teasley: 2009).
Periode Tokugawa, yang juga disebut Periode Edo (1603–1867), adalah periode terakhir Jepang tradisional: zaman yang dikisahkan damai, stabil secara politik, dan mengalami pertumbuhan ekonomi di bawah keshogunan, diktator militer yang didirikan oleh Tokugawa Ieyasu. Disebut Periode Edo karena pusat pemerintahannya di Edo, yang kini bernama Tokyo.
Pada akhirnya Periode Tokugawa berhenti karena tuntutan zaman. Sejarah mencatat bahwa transisi kekuasaan itu berlangsung mulus dan tidak begitu berdarah-darah. Padahal, transformasi politik ini menandai berakhirnya masa kefeodalan di bawah para shogun yang sebelumnya sangat berkuasa dan menandai hidupnya kembali kekuasaan kaisar Jepang.
***
Jepang pun memasuki lembaran sejarah baru. Tampilnya Kaisar Mutsuhito inilah yang kemudian disebut sebagai awal Restorasi Meiji atau Restorasi Pencerahan (Alexander David Brown: 2005). Seabad sebelumnya—abad ke-17 dan ke-18—di bumi Eropa telah terjadi gerakan kaum intelektual yang kemudian disebut Zaman Pencerahan, Fajar Budi, yang di Perancis disebut siècle des Lumières (secara lurus berarti abad pencerahan) yang oleh orang Jerman disebut aufklärung, Zaman ini diartikan sebagai suatu paham dari kaum intelektual Eropa yang mempercayai bahwa penggunaan akal pikir akan membimbing manusia menemukan hukum-hukum alam yang semuanya bisa memberi pencerahan.
Selama Restorasi Meiji (1868-1914), terjadi perubahan besar dalam hampir semua aspek ekonomi Jepang. Meiji memutuskan untuk mengubah situasi Jepang dengan mengejar kemajuan ekonomi dan militer Barat. Untuk itu, dikeluarkanlah deklarasi yang disebut Charter Oath, 6 April 1868. Lewat Charter Oath, Kaisar berjanji untuk membentuk majelis yang akan bertugas menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapi rakyat. Mereka itulah yang membahas persoalan-persoalan rakyat dan menghapus semua aturan feodalistis. Pada akhir tahun 1873, diakui kebebasan beragama dan hak-hak asasi manusia setelah melalui jalan panjang.
Salah satu seruan dari deklarasi Charter Oath itu—butir kelima dari lima butir deklarasi—adalah ”ilmu pengetahuan harus dicari ke seluruh dunia untuk memperkuat fondasi pemerintahan kekaisaran”.
Karena itu, Kaisar mengirimkan 50 pejabat ke Amerika dan Eropa untuk belajar tentang pemerintahan, perdagangan, industri, dan militer. Sekembalinya dari Amerika dan Eropa, mereka mendapat tugas, dengan bantuan ahli-ahli dari luar, menggerakkan negaranya untuk mengejar kemajuan-kemajuan Barat, antara lain membangun jaringan rel kereta api dan jalan raya, melakukan land reform dengan membagikan kembali tanah-tanah yang dahulu dikuasai para tuan tanah di zaman feodalisme, membangun sistem pendidikan sesuai standar Barat (semula menggunakan sistem pendidikan Perancis, tetapi kemudian menggunakan sistem pendidikan Jerman), dan membangun angkatan bersenjata modern.
Setelah belajar dari Barat, Jepang muncul dari Periode Meiji sebagai negara baru: dengan bentuk pemerintahan parlementer dan kekuatan militer baru. Jepang, untuk pertama kalinya, pada tahun 1889 memiliki konstitusi yang meniru model Eropa. Dibentuk parlemen, yang disebut Diet, sementara kaisar ditempatkan sebagai sosok kepala yang berdaulat. Kaisar membawahi militer: angkatan darat, laut, serta kekuasaan eksekutif dan yudikatif. Namun, genro, para negarawan yang berkuasalah yang memegang kekuasaan senyatanya untuk menjalankan roda pemerintahan negara (Shunsuke Sumikawa: 1999).
Setelah selama satu dua dekade westernization secara intensif, muncul kembali perasaan nasionalistis dan konservatif, yakni kembali memeluk prinsip-prinsip Konfusianisme dan Shinto, termasuk pemujaan kepada kaisar.
***
Restorasi Meiji adalah jalan awal Jepang ke modernisasi. Secara sosial, Restorasi Meiji telah mencabut Jepang dari masyarakat feodalistis menuju negara industri modern. Ini membawa perubahan besar dalam sektor ekonomi, sosial, politik, dan militer. Semua itu menjadi fondasi bagi Jepang modern saat ini. Bangunan Jepang modern sekarang ini telah diletakkan 150 tahun silam ketika negeri yang sekarang ini bernama Indonesia masih di bawah penjajahan Belanda dan 74 tahun kemudian setelah Restorasi Meiji, Jepang pun menjajah Indonesia.
Kini, saat kita memperingati 60 tahun hubungan persahabatan Indonesia-Jepang, Jepang sudah jauh meninggalkan kita. Mereka sudah berlari jauh di depan kita. Karena itu, seberapa cepat Jepang berlari dan seberapa cepat pula kita berlari sehingga dapat menyusulnya atau setidaknya memperpendek jarak meski kita tidak memiliki seorang Meiji yang mau mengakui kekurangannya dan terbuka pada dunia luar, tanpa disertai kecurigaan, apalagi kecurigaan sektarian.
Bukan demokrasi yg penuh kebisingan.