November 2012, dua minggu setelah dipilih menjadi Sekretaris Jenderal Komite Sentral Partai Komunis China, Xi Jinping mengunjungi ”The Road Towards Renewal”, sebuah pemeran di Museum Nasional China di Beijing. Di situ, Xi Jinping berpidato. ”Saya sepenuhnya yakin, impian besar pembaruan bangsa China akan menjadi kenyataan,” katanya.
Tidak pernah dijelaskan secara rinci apa ”impian besar” China. Akan tetapi, secara garis besar, Mimpi China itu berkaitan dengan tujuan politik ”membangun masyarakat yang makmur pada tahun 2021 ketika Partai Komunis China merayakan ulang tahunnya ke-100 dan mengubah China menjadi sebuah ”negara modern” ketika Republik Rakyat China menandai ulang tahunnya ke-100 pada 2049 (Bruno Maçães: 2018).
Dalam setiap kesempatan, Xi Jinping terus-menerus menegaskan Mimpi China itu. Memang, sebuah bangsa harus memiliki mimpi, bahkan mimpi besar untuk menjadi bangsa yang besar. Tentang bagaimana cara mewujudkan mimpi, setiap bangsa dan negara memiliki cara sendiri-sendiri.
China, sekarang ini, yakin akan kemampuannya untuk mewujudkan impian, untuk menutup masa lalu yang kelam. Yang tidak bisa dilupakan China adalah ”abad penghinaan” ketika negara itu harus mengakui kekuasaan dan dominasi Barat setelah kalah secara militer dalam Perang Candu—pada pertengahan abad ke-19, antara negara-negara Barat dan Dinasti Qing yang berkuasa di China (1644-1911/1912).
Perang Candu Pertama (1839-1842) antara China dan Inggris; serta Perang Candu Kedua (1855-1860) antara Inggris-Perancis, dan China. Kini, Mimpi China adalah mengembalikan kejayaan masa lalu peradaban China dan tuntutan persaingan zaman.
Dalam seminar keamanan nasional pada 17 Februari 2017, Presiden China Xi Jinping untuk pertama kali menyatakan China harus memimpin dalam membentuk, menentukan ”tatanan dunia baru” dan menjaga keamanan internasional. ”Tren secara keseluruhan multipolaritas dunia, globalisasi ekonomi, dan demokratisasi hubungan internasional tetap tidak berubah. Kita seyogianya mengampukomunitas internasional untuk bersama-sama membangun tatanan dunia baru yang lebih adil, pantas, dan masuk akal.”
Di bagian lain, seperti diberitakan kantor berita Xinhua, Xi Jinping mengatakan, ”Kita semestinya memandu masyarakat internasional untuk bersama-sama mempertahankan keamanan internasional.”
Pada waktu Xi Jinping menyampaikan pidato itu sedang berlangsung Konferensi Keamanan Munich (Munchen) tahunan dan pertemuan para menteri keuangan G-20. Pidato Xi Jinping seperti menegaskan bahwa tatanan dunia yang didominasi Barat mendekati titik akhirnya karena negara-negara Barat kurang memperlihatkan keinginan dan kemampuan mencampuri masalah-masalah global. Salah satunya ditunjukkan Presiden AS Donald Trump yang memilih menapaki kebijakan luar negeri isolasionis.
Timur Tengah
Harian Kompas (22/7) memberitakan China memperkokoh kerja sama di Timur Tengah dan Afrika. Sebenarnya, apa kebijakan luar negeri China saat ini, terutama ke Timur Tengah, mempertegas yang sudah dimulai sejak 1980-an dan lebih diperkuat tahun 1990-an. Kehadiran dan ketertarikan China di Timur Tengah pada 1980-an sebagian untuk bersaing dengan AS dan Uni Soviet, sebagian lain untuk memperoleh pengakuan internasional lebih besar atas saingannya, Republic of China (ROC) di Taiwan.
Kebijakan itu menuai hasil. Tahun 1984, Uni Emirat Arab menormalisasi hubungan dengan China, disusul Qatar 1988, Bahrain 1989, Arab Saudi 1990, dan Israel tahun 1991.
Kepentingan China, terutama bidang ekonomi, di Timur Tengah meningkat pada tahun 1990-an dan terus meningkat pada 2000-an sekarang ini. Kepentingan utama China di Timur Tengah adalah demi keamanan energi, ambisi geostrategik, kaitan stabilitas eksternal dan internal, serta meningkatkan status great-power (Andrew Scobell dan Alireza Nader: 2016). Tentu, selain itu juga untuk mengimbangi kehadiran AS di Timur Tengah.
Menurut seorang analis China, ”Timur Tengah akan tetap menjadi sumber impor minyak terbesar China dan inilah nilai strategis Timur Tengah bagi China” (Niu Xinchun: 2014). Sebaliknya, China juga menjadi sumber bagi pembangunan di negara-negara Timur Tengah.
Dalam Forum Kerja Sama Negara-negara Arab—China (CASCF) 10 Juli di Beijing, China mengumumkan bahwa pihaknya akan memberikan pinjaman kepada beberapa negara Arab senilai 20 miliar dollar AS dan memberikan paket tambahan bantuan senilai 100 juta dollar AS kepada Palestina, Yaman, Lebanon, Jordania, dan Suriah (The Diplomat, 2018).
Pinjaman dan bantuan itu adalah bagian penting dari ”Belt and Road Initiative” (BRI) China untuk menghubungkan lebih dari 60 negara di Asia, Timur Tengah, Afrika, dan Eropa dalam satu jaringan perdagangan, transportasi, dan kemitraan multisegi untuk meningkatkan pembangunan sosial dan ekonomi bagi semuanya.
Dengan demikian, kehadiran China di Timur Tengah menjadi penyeimbang, atau sekurang- kurangnya mempertahankan keseimbangan, paling tidak hubungan Arab Saudi dan Iran yang berseteru. Oleh karena, baik negara yang dalam ”naungan” maupun ”bayang-bayang” Arab Saudi dan Iran, ada dalam rangkulan China semua.
Sementara kehadiran China, dengan kekuatan ekonominya, akan pula menjadi imbangan bagi kehadiran AS dan juga Rusia di kawasan Timur Tengah. Meskipun ada yang menyatakan bahwa negara-negara itu masuk dalam diplomasi debt trap China.
Apakah langkah China akan memberikan sumbangan bagi terciptanya perdamaian di Timur Tengah? Waktulah yang akan membuktikan.
Akan tetapi, langkah ke Timur Tengah adalah bagian dari usaha untuk mewujudkan mimpi China sebab di Timur Tengah terjadi pertemuan antara Eropa dan Asia, yang oleh Bruno Maçães disebut sebagai kawasan yang akan menandai datangnya fajar Eurasia; hilangnya dominasi Barat.