Mengapa Afrika Selatan berhasil keluar dari belenggu balas dendam, kebencian, dan lahir menjadi bangsa yang baru? Karena mereka mampu memaafkan. Mereka—orang-orang kulit Hitam—mampu dan berani memberikan maaf, memberikan cinta, dan berbagi kepada orang-orang kulit Putih yang telah menyengsarakan hidup mereka, yang telah memperlakukan mereka secara tidak manusiawi.
Memaafkan merupakan suatu pengalaman; pengalaman perpindahan dari suatu peristiwa yang tidak mengenakkan beralih menjadi peristiwa yang membebaskan. Karena itu, memaafkan berarti membebaskan. Artinya, dengan memaafkan, sang pemberi maaf melepaskan seluruh kekecewaan, kegelisahan, benci, marah, sakit hati, dan dendam di dalam dirinya sendiri.
Memaafkan juga menjadi suatu pembelajaran berharga bagi pemberi maaf. Karena memaafkan menuntut kerendahan hati, dan keterbukaan diri bagi orang lain. Ketika Nelson Mandela memaafkan para penguasa politik apartheid yang telah memenjarakan, menyiksa dirinya dan orang-orang sebangsa, pada saat itu ia terbebas dari kuasa dendam, terbebas dari kuasa kebencian, dan lahir sebagai manusia baru, dan membawa bangsanya menjadi bangsa baru.
Mandela, ketika itu, menerapkan filosofi dan kearifan lama Afrika: ubuntu, yang memiliki arti rekonsiliasi, pengampunan, cinta, dan berbagi. Meskipun memaafkan, ia menghendaki adanya pengakuan kesalahan dan kekhilafan dari pelaku politik apartheid. Pengakuan atas kesalahan dan kekhilafan adalah sebuah hukuman. Selain itu, pengakuan kesalahan dan kekhilafan juga merupakan refleksi dari keinginan untuk tidak melakukan hal yang sama pada kesempatan lain. Oleh karena itu, harus dimaafkan. ”We forgive, but not to forget,” kata Mandela kala itu.
Tak pelak lagi, dengan tindakan dan sikap seperti itu, Mandela telah membuka babak baru sejarah peradaban manusia. Oleh karena, pengakuan akan kesalahan dan kekhilafan serta adanya ketulusan untuk memaafkan telah menciptakan sebuah harmoni dalam kehidupan, kedamaian, dan perdamaian.
* * *
Hari Minggu sore, 24 Desember 2017, ketika rakyat Peru tengah menyiapkan perayaan Natal, sesuatu yang luar biasa terjadi. Presiden Peru Pedro Pablo Kuczynski pergi ke penjara tempat pendahulunya, mantan Presiden Alberto Fujimori, dipenjara. Kuczynski tidak sekadar datang menengok Fujimori. Akan tetapi, kedatangannya itu memberikan hadiah luar biasa kepada Fujimori. Kuczynski memaafkan Fujimori, presiden Peru (1990-2000) yang dihukum 25 tahun penjara karena terbukti melakukan pembunuhan dan penculikan. Hakim di pengadilan juga menyatakan Fujimori bertanggung jawab atas tewasnya 25 orang. Mereka dibunuh oleh pasukan berani mati Fujimori yang disebut kelompok Colina, yang anggotanya adalah perwira intelijen.
Fujimori, bagi pendukungnya, adalah seorang presiden yang telah menyelamatkan Peru dari dua setan besar: terorisme dan kehancuran ekonomi. Hampir seluruh wilayah Peru, selama tahun 1980-2000, menjadi medan pertempuran antara kelompok gerilyawan Shining Path, Gerakan Revolusioner Amaru Tupac (MRTA), dan tentara serta polisi.
Pada tahun 2003, Komisi Rekonsiliasi dan Kebenaran Peru memperkirakan lebih dari 69.000 orang tewas atau hilang, dihilangkan dalam konflik itu. Menurut Komisi Rekonsiliasi dan Kebenaran, Shining Path bertanggung jawab atas 54 persen korban, sementara tentara dan polisi bertanggung jawab atas 37 persen korban, MRTA 1,5 persen, dan kelompok-kelompok lain 7,5 persen. Hampir 80 persen korban hidup di wilayah Amazon dan Andes. Meski menelan korban banyak, dan menjadikan tentaranya serta aparat kepolisian tak tersentuh hukum, Fujimori adalah pahlawan bagi pendukungnya.
Sebaliknya, bagi penentangnya, lawan politiknya, Fujimori adalah seorang penguasa otoriter. Ia adalah penguasa yang memperlakukan seseorang secara kasar, tidak mengindahkan institusi-institusi demokratik dalam usaha untuk mempertahankan kekuasaannya. Kekuasaan adalah segalanya bagi Fujimori; tidak peduli bagaimana caranya memperoleh, dan kemudian cara mempertahankannya. Ia sudah lupa pada janjinya ketika terpilih menjadi presiden tahun 1990.
Setelah terpilih menjadi presiden, Fujimori berjanji akan mengakhiri kekerasan, kekejaman. Untuk menggenapi janji itu, Fujimori mengontrol sepenuhnya dinas intelijen militer dan polisi. Akan tetapi kemudian, dengan dinas intelijen itu, ia menumpas semua lawan politik dan kelompok-kelompok pemberontak dengan kejam.
Pada tahun 1992, Fujimori menyatakan demokrasi tidak mampu untuk memerangi gerilyawan. Karena itu, ia lantas membekukan konstitusi, membubarkan kongres dan MA. Dengan mengandalkan popularitasnya, Fujimori kemudian menyusun konstitusi baru dan dengan mudah memenangi pemilu. Ketika itu, ia seolah-olah tak tersentuh hukum. Akan tetapi, ketika akhirnya diadili, dan kemudian dijatuhi hukuman 25 tahun penjara, Fujimori menyadari bahwa kekuasaan yang pernah dipegangnya, yang pernah digenggamnya, tidak ada gunanya, tak berdaya. Apalagi setelah kanker menggerogoti dirinya.
Kekuasaan memang telah membutakan tidak hanya mata, tetapi bahkan hatinya. Kekuasaan itu memabukkan; membuat orang lupa segala-galanya, lupa asal-usulnya. Yang dipikirkan hanyalah bagaimana memperoleh kekuasaan lebih besar.
* * *
Akan tetapi, mengapa Kuczynski mengampuni Fujimori? Apakah hati Kuczynski memang sungguh-sungguh tergerak oleh belas kasih atau karena alasan politik? Tiga hari sebelumnya, Kuczynski lolos dari impeachment setelah sepuluh anggota kongres fujimorista yang dipimpin oleh Kenji, anak Fujimori, memilih abstain dalam pemungutan suara.
Kuczynski menegaskan, keputusan untuk memaafkan Fujimori (79) semata-mata karena ”alasan kemanusiaan”. Fujimori, yang sudah lebih dari 10 tahun menjalani hukuman, selain menderita sakit jantung, juga menderita kanker lidah.
Inilah Kuczynski—yang mengalahkan Keiko Fujimori, anak Fujimori, dalam pemilu presiden—untuk membangun rekonsiliasi nasional. Memaafkan—tidak memelihara dan mengumbar dendam seperti yang terjadi di negeri ini—sebuah tindakan pembebasan yang mudah diucapkan, tetapi sulit dilakukan.
Nyuwunsewu, sekedar urun pendapat:
Sptnya ada juga motif untuk mendptkan simpati/ dukungan di parlemen dari kelompok Fujimorista yaa..?
Tdk mustahil, dari prtw impeachment Koszcynki menyadari bhw kekuatannya di parlemen ternyata tdklah terlalu kuat. Faktanya, ia lolos dari impeachment itu krn abstainnya para Fujimorista.
Jadi, pemberian maaf kpd Fujimori itu, bisa jadi, lbh dilandasi oleh kebutuhannya akan dukungan di parlemen kedepannya, drpd keinginan untuk membangun rekonsiliasi nasional.
Gimana, Mas Trias..? ???
Sepakat Mas Aji….