Tahun 1901, Mark Twain meninggal. Kematian humoris kampiun, wartawan kondang, dan juga novelis masyhur itu diberitakan oleh koran bergengsi The New York Times, pada edisi 21 April 1901. Tidak hanya diberitakan oleh koran terpandang itu, tetapi berita itu juga dimuat di halaman pertama, kolom tujuh berjudul”Mark Twain is Dead at 74”.

Berita kematian Mark Twain diawali dengan alinea pembuka: ”Samuel Langhorne Clemens, ’Mark Twain’ meninggal pada pukul 18.00 lewat 22 menit petang ini. Di samping tempat tidurnya, tergeletak buku yang sangat disenanginya, yakni French Revolution karya Carlyle, dan di dekat buku itu diletakkan kacamatanya, yang disingkirkan dengan tarikan napas kelelahan beberapa jam sebelumnya. Terlalu lemah untuk mengatakan dengan jelas, ’Ambilkan kacamataku,’ tulisnya di selembar kertas. Dia menerimanya, meletakkannya, dan tenggelam ke dalam ketidaksadaran dari mana dia meluncur hampir tanpa terasa ke dalam kematian. Dia berumur tujuh puluh empat tahun.”

Luar biasa!

Mark Twain dikenal dengan karyanya, antara lain, The Innocents Abroad (1869), The Adventures of Tom Sawyer (1876), dan Adventures of Huckleberry Finn (1885). Perjalanannya ke Lebanon, Suriah, dan Tanah Suci pada tahun 1867 ditulis dan diterbitkan sebagai buku dengan judul The Innocents Abroad. Buku ini menjadi best seller, laris manis, dan menahbiskan Mark Twain sebagai penulis besar Amerika. Gambarannya yang hidup, ikonoklastik, satiris, dan sering kali menyedihkan tentang Tanah Suci merupakan kesaksian historis penting.

Dalam bukunya itulah ia menulis Palestina sebagai ”negeri kecil dengan sejarah besar”. Sebutan itu kemudian digunakan oleh Anton La Guardia menjadi salah satu bab dalam bukunya War Without End, Israelis, Palestinians, and the Struggle for a Promised Land (2003).

Tentu, tidak mengada-ada kalau Mark Twain menyebut Palestina sebagai ”negeri kecil dengan sejarah besar”. Yang disebut Tanah Palestina adalah wilayah Mediterania bagian timur, yang kini sebagian menjadi wilayah Israel dan sebagian wilayah Palestina (Jalur Gaza dan Tepi Barat, yakni wilayah sebelah barat Sungai Jordan). Luas Palestina 3.862,42 kilometer persegi, (sekadar perbandingan luas wilayah Indonesia, daratan dan lautan, 5.176.800 kilometer persegi).

Akan tetapi, di ”negeri kecil” itu ada sejarah besar. Misalnya, salah satu kotanya, yakni Jerusalem, merupakan kota yang penting bagi tiga agama Abrahamik, tiga agama samawi: Yahudi, Kristen, dan Islam. Tanah Palestina adalah bagian bumi yang mendapat kehormatan untuk ”melahirkan” begitu banyak nabi. Begitu banyak nabi pernah hidup di wilayah ini, menjejakkan kakinya, minum airnya, dan makan makanan yang dihasilkan oleh tanah Palestina. Tidak ada bagian dari dunia ini yang kehormatannya melebihi kehormatan Tanah Palestina. Keberadaan para nabi itu pun diakui oleh tiga agama Abrahamik (Jerusalem 33: 2011).

Abraham (Ibrahim) Bapak Orang Beriman pun meninggalkan tanah leluhurnya di Ur Kasdim, Mesopotamia (Irak selatan pada zaman kini) dan pergi ke tanah yang kemudian hari disebut Palestina, tanah yang penuh dengan susu dan madu. Itulah sebabnya, Tanah Palestina, terutama Jerusalem, sangat penting bagi tiga agama Abrahamik: Yahudi, Kristen, dan Islam.

Cerita-cerita besar muncul di Palestina, baik itu cerita tentang cinta kasih, belas kasih, maupun kebencian dan kejahatan, cerita tentang kerukunan hidup maupun perseteruan hidup, cerita tentang kerja sama maupun tentang persaingan, cerita tentang kesuciaan maupun kedosaan, cerita tentang persahabatan maupun permusuhan. Di sana pula pecah Perang Salib.

Namun, walau memiliki sejarah besar, seperti ditulis Mark Twain lebih dari seratus tahun silam, ”Palestina berkain karung dan terkubur abu—penuh penyesalan dan dukacita…. Palestina telantar dan tidak indah… Palestina tidak lagi berada dalam dunia yang prosaik ini. Ia sakral bagi puisi dan tradisi—ia sebuah negeri mimpi”.

Palestina adalah sebuah mimpi. Inilah negeri yang sering disebut sebagai Tanah Suci, karena yang suci ada di sana. Tanah Suci, bagi umat Yahudi, Kristen, dan Muslim. Namun, di Tanah Suci itu, selama bertahun-tahun, sejak awal abad ke-20, telah terjadi peperangan tidak suci (meminjam istilah yang digunakan Anton La Guardia, 2001).

Jean-Jacques Rousseau (1712-1778), filsuf di masa Pencerahan, mengatakan, ”Segala-galanya adalah baik, sebagaimana keluar dari tangan Sang Pencipta; segala-galanya memburuk dalam tangan manusia.” Jadi, manusialah yang menjadikan yang baik itu menjadi tidak baik; yang indah menjadi tidak indah; yang aman menjadi tidak aman; yang damai menjadi perang; yang saling mencintai menjadi saling membenci; yang saling menghormati menjadi tidak toleran; yang pemaaf menjadi pendendam. Demikianlah wajah ”anak-anak Abraham” pada zaman ini.

Yang tidak suci kini telah terjadi di Palestina. Lihat yang terjadi di perbatasan antara Jalur Gaza dan Israel, 15 Mei lalu. Ketika puluhan ribu orang Palestina memperingati 70 tahun Nakba, malapetaka, pembersihan etnis Palestina, dan penghancuran total masyarakat Palestina pada 1948 oleh Israel, mereka diperlakukan tidak manusiawi oleh pasukan keamanan Israel. Akibatnya, paling kurang 60 orang Palestina laki-perempuan dan anak-anak tewas, ribuan lain luka-luka.

Tanah Suci, tujuan ziarah orang-orang beriman, ternodai. Padahal, ziarah merupakan salah satu tindakan konkret untuk memanifestasikan iman secara terbuka di hadapan umum. Dalam sebuah perjalanan ziarah, para peziarah secara terbuka menyatakan imannya bahwa kehidupan di dunia ini sesungguhnya merupakan suatu proses peziarahan menuju ke tanah air surgawi, yang merupakan persinggahan akhir dalam hidup. Ziarah juga merupakan ungkapan nyata akan iman bahwa ”Yang Ilahi telah masuk ke ruang dan waktu manusia”.

Saat ziarah, orang meninggalkan kerutinan hidup dan menjalani laku rohani. Namun, para peziarah berpaspor Indonesia kini terancam tidak bisa melakukan perziarahan ke Tanah Suci Palestina karena Pemerintah Israel berencana tidak akan memberikan visa. Inilah tragedi kemanusiaan dalam bentuk lain.