Jerome Klapka Jeroma lahir pada tanggal 2 Mei 1859 di Walsall, Staffordshire County, dan meninggal pada tanggal 14 Juni 1927 di Northhampton. Ia dikenal sebagai seorang guru, juru tulis, aktor, dan editor jurnal humor. Jerome juga dikenal sebagai humoris dan dramawan. Karya pertamanya berkait dengan teater. Pada tahun 1899, Jerome mengunjungi Rusia. Dari kunjungan itu, ia mengungkapkan kesan-kesannya selama kunjungan dalam artikel yang diberi judul Russians, As I Know  Them (1906).

Karyanya yang sangat populer adalah novel humor yakni Three Men in a Boat ( to Say Nothing of the Dog) yang dipublikasikan pasda tahun 1889. Sekuel dari novel ini adalah Three Men on the Bummel (1900). Jerome juga dikenal sebagai pengarang banyak cerita pendek humor dan sandiwara humor. Yang sangat populer adalah The Passing of the Third Floor Back pada tahun 1907 (thefreedictionary.com).

Suatu ketika, Jerome pernah mengatakan, “Selalu merupakan kebijakan terbaik untuk mengatakan kebenaran—kecuali, tentu saja, kalau Anda seorang penipun yang luar biasa hebat.”

Tentu, tidak sedang melucu atau berhumor kalau Jerome mengatakan, “Selalu merupakan kebijakan terbaik untuk mengatakan kebenaran…”  Akan tetapi, apa itu kebenaran? Sekarang malah sudah yang disebut post-truth atau pasca-kebenaran yang pada tahun 2016 dijadikan word of the year dalam kamus Oxford. Dalam kamus Oxford kata post-truth didefinisikan sebagai suatu keadaan yang mendasarkan kebenaran pada emosi dan kepercayaan pribadi, daripada fakta objektif.

Dua ribu tahun silam, Pontius Pilatus pernah bertanya , “Apakah kebenaran itu?” Pertanyaan tersebut diajukan Pontius Pilatus—nama lengkapnya Marcus Pontius Pilatus adalah orang Romawi dari golongan penunggan kuda atau kelas menengah bagian atas. Kaisar Romawi yakni Tiberius mengangkat Pilatus menjadi wali negeri yang kelima atas Yudea. Sebagai wali negeri (26-36), Pilatus memegang kekuasaan penuh mengawasi seluruh wilayah propinsinya, memegang pimpinan tentara pendudukan  yang ditempatkan di Kaisarea. Wali negeri memiliki kuasa penuh atas hidup dan mati seseorang, dan dapat mengubah hukuman berat keputusan Sanhedrin, yang harus disahkannya. Filo  dari Aleksandria, seorang tokoh di masa lalu, dalam De Legatiome ad Gaium 301, menggambarkan Pilatus “bertabiat kasar dan keras kepala” dan “berwatak pendendam dan pemarah”; Pilatus juga diceritakan suka menerima “suap, tindakannya didorong oleh kedengkian, melakukan pembunuhan keji tanpa pengadilan”—kepada Yesus saat diadili sebelum dijatuhi hukuman mati dengan cara disalib.

Hingga kini, pertanyaan tersebut—“Apakah kebenaran itu?”—masih terus diajukan. Di dalam dunia jurnalistik ‘kebenaran’ adalah konsep yang kompleks. Kebenaran tidak sama dengan akurasi (akurasi sangat penting untuk menjaga reputasi seorang wartawan). Oleh karena, bisa saja seorang wartawan secara akurat  memaparkan urutan atau kesaksian sesuatu yang tidak benar atau kebohongan. Bersama ‘kebenaran’ ada konsep-konsep lain yang menyertainya seperti ‘verifikasi’, ‘kejujuran’, dan ‘ketelitian’. Mungkin ‘kebenaran dan akurasi’ bisa disamakan juga dengan ‘komitmen untuk tidak menipu’ karena hampir dari kita semua paham dengan konsep ‘ditipu atau disesatkan’.

Dalam kamus Johnson’s Dictionary secara etimologi kebenaran yang dalam bahasa Inggris disebut truth, merupakan suatu pemersatu atau pemisah dari hal yang disepakati ataupun tidak. Seperti halnya pengetahuan, kebenaran dapat menolak ketetapan logis. Ia juga sering digunakan untuk menggambarkan keadaan substansi yang nyata, kokoh, dan kaku. Secara umum istilah ini menunjukkan realitas.  Sementara Aristoteles mengartikan kebenaran sebagai penyesuaian antara pikiran dan kenyataan. Ia mencoba memahami kebenaran dengan memperhatikan kualitas pernyataan yang dibuat oleh subjek. Arthut Kenyon Rogers, seorang penganut realisme kritis, berpendapat bahwa keadaan benar terletak dalam kesesuaian antara esensi atau arti yang kita berikan dengan esensi yang terdapat di dalam objeknya.

Menurut Abu Ali al- Huseyn bin Abdullah bin Hassan Ali bin Sina atau yang lebih dikenal dengan nama Ibnu Sina atau Avicenna (980-1037), kebenaran sangat berkaitan erat dengan kualitas ilmu pengetahuan. Artinya kebenaran sangat dipengaruhi oleh jenis pengetahuan yang dimiliki. Jika pengetahuan yang dimiliki tidak mendalam, maka akan mempengaruhi kualitas kebenaran yang diperoleh darinya. Kebenaran yang didapat dari model keilmuan semacam ini tentunya akan sangat didikte oleh subjektifitas, dan sangat bergantung kepada subjek itu sendiri. Jika tingkat keilmuan yang dimiliki sudah berada dalam taraf ilmiah atau lebih spesifik, dengan pendekatan yang khusus, maka kebenaran yang dihasilkan akan lebih bisa dipertanggungjawabkan. Artinya walaupun kebenaran tersebut tetap bersifat relatif, ia terus berkembang seiring adanya kebenaran baru yang mewarnai kebenaran sebelumnya.

***
Apapun definisinya, pada hakikatnya, kebenaran merupakan suatu kemutlakan yang harus dicapai oleh manusia. Karena dalam kebenaran terdapat unsur dari ciri sifat naluri manusia; mencari, mengerti dan memahami. Tanpa kebenaran, kehidupan kemanusiaan akan kehilangan salah satu alat pengukur nilai kemanusiaan itu sendiri. Dan manusia adalah mahkluk pencari kebenaran sejati.

Akan tetapi, “Manusia itu naïf, dan begitu dikuasai oleh kepentingan,” kata Niccolo di Bernardo  Machiavelli (1469-1527) yang lewat bukunya Il Principe, ia menguraikan bagaimana caranya merebut kekuasaan, mempertahankan, dan kehilangan kekuasaan. Dari sinilah kemudian muncul salah kaprah, seakan Machiavelli menganjurkan tindakan menghalalkan cara untuk merebut atau mempertahankan kekuasaan dengan mengesampingkan segala nilai moral. Maka sering tindakan yang menghalalkan cara disebut sebagai Machiavellian, seperti yang dilakukan oleh Hitler, Stalin, Lenin, dan juga Mussolini serta banyak orang zaman kini.

Karena dikuasai oleh kepentingan (diri), maka demi kepentingan itu apa pun dilakukan. Menurut Machiavelli, unsur esensial dari cerita yang efektif adalah menghubungkan dengan kepentingan seseorang (Tim Phillips, 2013). Itulah sebabnya, berlatih mengarang cerita amatlah penting, sebab pada suatu saat keterampilan itu diperlukan. Ada dua cara untuk menyampaikan sebuah cerita: kebohongan dan kebenaran.

Seperti dikatakan Jerome di atas, “Selalu merupakan kebijakan terbaik untuk mengatakan kebenaran—kecuali, tentu saja, kalau Anda seorang penipu yang luar biasa hebat” akan memilih kebohongan. Kebenaran yang dalam bahasa Yunani adalah alētheia, yang secara harfiah berarti “tidak tersembunyi” atau “tidak menyembunyikan apa-apa.” Kata ini mengindikasikan kalau kebenaran akan selalu ada, selalu terbuka dan tersedia untuk dilihat oleh semua orang, Tidak ada satupun yang tersembunyi atau disamarkan. Kata Ibrani untuk “kebenaran” adalah emeth, yang berarti “keteguhan,” “sesuatu yang tetap” dan “kelestarian.”

Dengan kata lain, kebenaran itu lestari, kebenaran itu abadi, kebenaran itu kekal. Dan, kebohongan berapapun cepatnya, namun kebenaran akan mengejarnya juga. Demikian kata Tan Malaka.***