Begitu kata Alxandre KojΓ¨ve. Alxandre KojΓ¨ve lahir pada tahun 1902 dengan nama Aleksandr Vladimirovich Kozhevnikov dari sebuah keluarga kaya di Moskwa (pamannya seorang pelukis terkenal, Wassily Kandinsky, yang disebut-sebut sebagai pioner seni lukis abstrak pada akhir abad ke-19 dan awal ke-20). Setelah Revolusi 1917 (Revolusi Bolshevik), pada tahun 1920 Aleksandr Kozhevnikov meninggalkan Rusia. Negara yang dituju adalah Jerman untuk belajar filsafat di Universitas Heidelberg. Studinya diselesaikan pada tahun 1926 dengan tesis Die religiΓΆse Philosophie Wladimir Solowjeffs (Filsafat Agama Vladimir Solovyov); yang kemudian pada tahun 1934 diterjemahkan ke dalam bahasa Perancis dengan judul Revue dβHistoire et de Philosophie Religieuse . Β Vladimir Solovyov adalah seorang filsuf agama dari Rusia yang sangat dipengaruhi oleh Georg Wilhelm Friedrich Hegel (Hegel), demikian juga Aleksandr Kozhevnikov.
Setelah selesai studinya, Aleksandr Vladimirovich Kozhevnikov (1902-1968) pindah ke Perancis. Di Perancis inilah namanya diubah menjadi Alxandre KojΓ¨ve, agar lebih berbau Perancis. Dan antara tahun 1933 hingga 1939, ia mengajar diΒ ΓcoleΒ pratiqueΒ desΒ Hautes Γtudes di Paris. KojΓ¨ve bertanggung jawab memperkenalkan secara serius pemikiran-pemikiran Hegel ke filsafat Perancis Abad ke-20, dengan mempengaruhi para intelektual Perancis terkemuka yang menghadiri seminarnya mengenai The Phenomenology of Spirit di Paris pada tahun 1930-an. Ia fokus pada filsafat sejarah Hegel dan sangat dikenal dengan teorinya βakhir sejarahβ (the end of history).
Teori itu pula, βakhir sejarahβ yang kemudian diadopsi dan dipopulerkan oleh Francis Fukuyama. Pada pertengahan 1989, Francis Fukuyama yang pernah bekerja sebagai pakar kebijakan luar negeri Uni Soviet di RAND Corporation, sebuah tanki pemikir di Santa Monica, AS, menulis sebuah esai yang diberi judul The End of History? Β Esai tersebut dimuat di jurnal masalah-masalah internasional The National Interest. Lalu muncul bukunya The End of History and the Last Man pada tahun 1992. Belakangan Fukuyama (2018) menjelaskan kata βendβ bukan dalam arti βkesudahanβ (termination) tetapi βsasaranβ (target) atau βtujuanβ (obyective).
Seperti sebuah rangkaian, esai itu diterbitkan setelah ia memberikan ceramah tentang masalah-masalah internasional di Universitas Chicago, Februari 1989; dua bulan sebelumnya, 7 Desember 1988 pemimpin Uni Soviet Mikhail Gorbachev dalam pidatonya di Sidang Umum PBB melemparkan pernyataan yang mengejutkan. Ketika itu, Gorbachev mengatakan, bahwa Uni Soviet tidak akan lagi mencampuri negara-negara satelitnya di Eropa Timur. Tidak ada yang pernah menduga bahwa pernyataan itu Gorbachev itu menjadi awal dari akhir Perang Dingin. Inilah akhir sejarah (The New Yorker, 3 September 2018).
Argumen Fukuyama adalah bahwa, dengan kolapsnya Uni Soviet, ideologi terakhir alternatif terhadap liberalisme dilenyapkan. Fascisme dibunuh dalam Perang Dunia II, dan kemudian giliran Komunisme meledak. Ketika itu, Uni Soviet gagal dalam persaingan ekonomi dengan negara-negara kapitalis. Mengapa? Ekonomi komunis berlangsung tanpa adanya pasar, seluruhnya ditentukan oleh fungsionaris-fungsionaris pusat. Pusat yang menentukan harga gandum, paku, sepeda motor, balok baja. Di negara-negara Soviet berkembangan ekonomi barter. Negara komunis secara mencolok tidak berhasil membangun civil society. Dengan demikian, seluruh produksi sosial membebani negara. Dan, beban itulah yang menghancurkan. Tetapi, alasan utama keambrukan komunisme adalah kegagalannya untuk membangun perekonomian yang tangguh (Franz Magnis-Suseno, 2013).Β Β
Β Β Β ***
Baik KojΓ¨ve maupun Fukuyama berbicara tentang βakhir sejarah.β Akan tetapi, akhir sejarah yang dijelaskan KojΓ¨ve dan Fukuyama, berbeda tentu. Akhir sejarahnya-nya KojΓ¨ve bukan kemenangan demokrasi liberal Barat. Ia menggambarkan pertempuran antara pasukan Napoleon dan gabungan Prussia dan Saxon di Jena dan AuerstΓ€dt, Saxony (sekarang wilayah Jerman), pada tanggal 14Β Okgober 1806, sebagai βakhir sejarah.β Ketika itu–122.000 tentara Perancis bertempur melawan 114.000 tentara gabungan PrussiaΒ dan Saxonsβ, βsejarah seperti berakhir.β Pasukan Prussia separoh-patrimonial warisan Raja Frederick II Agung, dikalahkan tentara Napoleon yang sudah menggunakan mesin perang moderen (menurut ukuran kala itu) dan menerapkan prinsip-prinsip birokratik moderen. Pada waktu itu, filsof muda Georg Wilhelm Friedrich Hegel yang menyaksikan Napoleon masuk Jena, melihat kemenangan negara moderen (Francis Fukuyama, 2014).
Semua itu, cerita masa lalu, yang sebenarnya bisa menjadi pelajaran. Lalu, bagaimana cerita masa kini. Apa yang dialami rakyat Suriah, misalnya, adalah akhir dari sejarah mereka karena perang yang tak berkesudahan; juga rakyat Yaman; atau rakyat Nigeria, serta sejumlah negara di Afrika. Nasib, rakyat Afganistan pun tidak jauh berbeda. Mereka menghadapi βakhir sejarahβ.
Apakah situasi dan kondisi, sosial, politik, ekonomi, kemasyarakatan, termasuk hubungan antar-anak bangsa, antar-agama dan golongan, serta keamanan di negeri kita akan menjadi awal berakhirnya sejarah. Ada yang mengatakan βsejarah (juga) akan berakhirβ pada tahun 2030 atau lebih cepat lagi, yakni pada tahun 2019? Rasanya, tidak ada alasan bahwa βsejarah akan berakhirβ pada tahun itu. Keculi, bangsa ini tidak mampu mempertahankan kebhinnekaannya, pluralitasnya, kemajemukannya yang selalu dikatakan sebagai rahmat, sebagai kekuatan, dan bukannya Β kelemahan. Bukan, kebhinnekaan, pluralitasn, kemajemukan, keragaman itu adalah demokrasi. Demokrasi, arti yang paling sederhana, adalah βperayaan perbedaanβ, meminjam istilahnya Sindhunata. Bukankah Indonesia adalah contoh sebuah negara di mana berbagai budaya yang berbeda-beda tetapi tetap bisa hidup bersama dalam kesatuan; sebuah kesatuan yang pernah diikrarkan bersama pada tanggal 28 Oktober 1928. Ketika itu, para pemuda yang berasal dari berbagai latar belakang budaya yang berbeda, bersumpah setia, berikrar untuk ber-satu Nusa, satu Bangsa, dan satu Bahasa. Padahal, negara Indonesia pada waktu itu de iure belum mewujud.
Demokrasi hidup karena menerima identitas kelompok yang berbeda-berbeda, tentu dengan batasan-batasan. Sebab, bila βatas nama demokrasiβ kemudian saling menonjol-nonjolkan perbedaan, identitas masing-masing, bahkan menebarkan fitnah, cacian, pernyataan-pernyataan yang memecah-belah, ujaran-ujaran kebencian, menyebar berita hoax, maka pada ujungnya justru akan membahayakan demokrasi. Bila mengkingkari kemajemukan dan lalu memaksakan diri untuk melakukan pengelompokan berdasarkan suatu sistem pemilahan yang sifatnya tunggal dan serba mutlak, maka saat itulah tanda-tanda akhirnya sejarah menjadi jelas. Inilah yang oleh Amartya Sen (2006) disebut sebagai pendekatan βsoliterisβ terhadap identitas manusia. Yakni, pendekatan yang memandang manusia hanya sebagai bagian dari satu kelompok semata (dalam hal ini berdasarkan peradaban atau agamanya).
Bila demikian, kekhawatiran bahwa βsejarah akan berakhir,β tidak berlebihan. Kecuali, bangsa ini mau dan berani melawannya; melawan segala gerak, upaya oleh siapa pun, oraganisasi apa pun, dalam bentu apa pun yang berusaha βmengakhiri sejarah bangsa ini.β Biarlah “sejarah berakhir di Prussia” saja dan di Uni Soviet.***
Setuju, Mas. Jangan sampai sejarah Indonesia justru berarkhir di …ah entahlah. Heheheh
Sekadar mengingatkan, Kang….nuhun
Kerennn … Siap edarkan
Sip…tengkiu..Koekoeh…salam
yess….tulisane ciamik mas. jangan sampai “akhir seharah” terjadi di indonesia
Yesss…sekadar berteriak, Ki Ageng…
membaca tulisan Romo itu seperti belajar sejarah dengan cara yg lebih menyenangkan. andaikan dulu guru sejarahku di sekolah seperti Romo hehehe
Hehehe…kamu …biar nggak lupa. Tengkiu, Luk
.
Spechless.. asliiii.. aku nangis… aku gak kuat, βjagat cilik, locus saat iniβ jangan berakhir di telan gemuruh prahara tanpa tepi…
Mas Ias, bisakah virus prahara itu kita kunci ??
#merenung
HEhehehehee……ono kacu ora? Aku sekadar berbagi…
Asyiiiik…lanjut di sini…mantap kang…
hehehehe…..biar ada paksaan untuk mbaca buku dan nulis…,Jo.
tengkiu, yo..
Tulisan yg sangat bagus mas Trias mengingatkan kita untuk waspada pada hal2 yg bisa menghancurkan sejarah mll prnyebaran hoax,ujaran kebencian, provokasi dll. Mari kita gunakan medsos dg arif dan santun untuk membangun sejarah.
Terima kasih, Mbak Niken…setuju sekali dengan ajakannya itu. Semoga, teriakan ini ada gunanya. Nuwun.
Selalu mengalir dengan deras infonya ππΎππΎππΎ
Pak Haji, sekadar berbagi pandangan….nuwun
Mantab Ias.., πππ
nuwun, Dunk…
Nyimak, tulisan tulisan mas Trias yg selalu mencerahkan
sip..nuwun nggih….
Mengingatkan kita untuk bersama-sama merawat dan menjaga kemajemukan Indonesia. Tulisan yang sangat dalam dan berlimpah data. Ciri tulisan Mas Ias yang sangat saya suka. Matur nuwun sanget Mas Ias. Sangat mencerahkan….
Matur nuwun Mas Thy, sudah meluangkan waktu di tengah kesibukan, untuk membaca….saya sekadar berbagi…
Mantaps Mas… Setiap ada awal (sejarah), haruskah selalu ada akhir???
Nah, itulah Wo, pertanyaannya. ….Ada Alpha dan ada Omega..ada awal dan akhir…hanya akhirnya seperti apa dan kapan?
90 tahun membelai dan dibelai nafas kita. Soempah Pemoeda. Perayaan Perbedaan. Di saat jadulnya teknologi informasi dan komunikasi justru gagasan kesatoean dan persatoean menjadi peristiwa (sejarah). Tidak ada yang berubah atau berbeda antara 90 tahun lalu dan 90 tahun kemudian setelah Soempah Pemoeda, bahwa kemajemukan atau pluralitas ada dulu dan sekarang. Hal yang membedakan adalah perkembangan (pembangunan) manusia (nation) Indonesia-nya. Mungkin saya salah. Terima kasih, Mas Trias.
Anda benar…bahwa Indonesia itu majemuk..dan pembangunan semestinya tidak melindas dan mengingkari kemajemukan itu…salam.
Thx a lot mas Trias. Membawa petualangan imajinasi ke masa lalu. Bgmn dg tinjauan ttg the end of each of us mas ?
Tengkiu, Bud…mari kita lihat sama2..
Matur Nuwun Mas Sinuwun pencerahanipun..Luar biasa dan inspiratif
Mas Kris, matur nuwun sanget…apresiasinya…
Waauow..tulisan ini bukan hanya mengingatkan sejarah kehidupan, melainkan menyadarkan keter’tidur’an saya bahkan membangkitkan kembali/mengajakku utk berbuat sesuatu utk melestarikan kehidupan agar tidak punah…
Sejarah kehidupan manusia yang terus menjadi berkat bagi generasi berikutnya, melalui karya yg semakin bermartabat..
Makasih mas Ias..salam
Mari, Pakde..kita memberikan sumbangan dam berperan sesuai kemampuan kita untuk ikut melahirkan sejarah baru yg berguna bagi manusia dan alam seisinya…
From this day; From this hour begins a new era in the history of the world and you [defeated Prussian generals] can say that you were there!β (HW Goethe to the defeated Prussian generals after the Battle of Valmy near the Franco-German border in September 1792. So even contemporaries had a clear idea that one age was ending and another beginning (an age transformed by the twin industrial [ British] and political [ French] revolutions.
Terima kasih banyak, Pak Peter, tambahan informasi dan pengetahuan…π
Mantap tulisannya, Mas Trias..π Sembari Menemani perjalanan ke kampus.. Reflektif..
Terima kasih, Mas Agung…selamat berbagi ilmu…
Mas Hegel ini bukannya aliran yg mbahnya marx ya. Aku juga pingin sampeyan nulis soal kashogi yg dimutilasi di konjen arab di Turki. Ada apa ya mas
Nu, matur nuwun…soal Khashoggi lagi tak tulis…belum rampung…semalam keburu ngantuk…tunggu yo…semoga sore nanti rampung….salam.
Tapi itu dugaan versi intelijen turki. Kebenarannya seperti apa ya mas?
Mas foto tentang trias ganti dong biar keren.
Siap, Nu…hari ini tak ke studio foto..π
Tulisan dgn permenungan, memang selalu hadir dalam lanskap yg lebih luas & mendalam. Matur nuwun Om ias, paringipun seserepan punika. Rahayu…
Matur nuwun, Mas AWD sudah meluangkan waktu untuk membaca….salam.
membuat menjadi lebih semangat lagi menjalani pilihan ini….
Semangat….sekali layar terkembang, pantang biduk surut ke pantai..
Biarlah angin membawa ke tengah samudra tujuan…