Pergolakan politik di dunia Arab, yang kemudian disebut Arab Spring, yang bermula pada tanggal 18 Desember 2010 di Tunisia, kemudian meluas ke sejumlah negara Arab dan menghasilkan perubahan rezim di Tunisia, Mesir, Libya, serta Yaman, represi  seperti di Bahrain dan Sudan, bahkan perang seperti yang terjadi di Suriah, telah mengubah banyak hal wajah Timur Tengah. Ada yang membandingkan Arab Spring 2011 (Musim Semi 2011) di Timur Tengah dengan revolusi di Eropa Timur yang mengakhiri komunisme pada tahun 1989.

Meskipun, hingga kini tetap menjadi bahan perdebatan, apakah yang terjadi di Timur Tengah adalah tepat disebut revolusi atau tidak.  Adeed Dawisha, profesor politik dari Universitas Miami, di Ohio lebih memilih menggunakan istilah “Arab Awakening”; Tariq Ramadan dari Universitas Oxford, juga lebih memilih menggunakan istilah “Arab Awakening” ketimbang revolusi. Akan tetapi, setahun setelah buku Ramadan, Islam and the Arab Awakening diterbitkan, tentara Mesir menyingkirka Presiden Mohammad Morsi dalam sebuah kudeta berdarah dan tidak demokratik.

Apa pun istilahnya, menurut Dr. Katz,  profesor politik dari Universitas George Mason di Timur Tengah sudah terjadi tujuh revolusi nasionalis-Arab dalam kategori berhasil antara tahun 1950-an dan 1960-an: di Mesir (1952), Suriah dan Irak (1958), Aljazair dan Yaman Utara (1962), dan Sudan serta Libya (1969). Tetapi, hal yang membedakan dengan apa yang terjadi pada tahun 2011 adalah revolusi nasionalis-Arab tersebut tidak sepenuhnya terjadi karena faktor internal melainkan ada faktor  eksternal-nya. Negara-negara yang “disapu” revolusi pada waktu itu adalah negara-negara yang berskutu dengan atau koloni dari Barat. Dan setelah revolusi, rezim baru yang muncul semua (lebih kurang) dekat dengan Uni Soviet, meskipun Mesir dan Sudan kemudian tidak bersahabat dengan Uni Soviet (Middle East Policy Council, Volume XXI, Summer, No.2).

Revolusi Iran (1979) menghasilkan jatuhnya rezim anti-Soviet dan pro-Barat (Shah Reza Pahlevi) serta naiknya rezim baru anti-Soviet dan anti-Barat di bawah kepemimpinan Ayatollah Rohullah Khomeini. Seperti Revolusi Perancis dan Rusia, Menurut Stephen M Walt, Revolusi Iran berdampak buruk terhadap kawasan (paling kurang oleh negara-negara kawasan dianggap dan dirasakan sebagai mengancam eksistensi mereka). Walt meneorikan bahwa revolusi di sebuah negara tidak hanya mengacaukan hubungan internasional, tetapi dapat menjadi penyebab pecahnya perang antar-negara. Revolusi Perancis (1789–1799) segera diikuti perang yang meliputi daratan Eropa. Revolusi Rusia (1917) juga segera disusul oleh keterlibatan sejumlah negara dalam perang saudara Rusia juga perang antara Rusia dan Polandia pada tahun 1920. Demikian pula, Revolusi China (1949) diikuti oleh Perang Korea (1950-1953). Dan, Revolusi Iran segera pula diikuti oleh Perang Irak-Iran 1980-1988 (Revolution and War,  Cornell University Press, 1996).

Tidak semua revolusi, memang, menjadi dadakan pecahnya perang. Karena itu, Walt menambahkan, “Revolusi mengintensifkan kompetisi keamanan dan meningkatkan risiko perang.” Ini yang terjadi di kawasan Timur Tengah setelah Arab Spring, yakni misalnya, meningkatnya kompetisi kekuatan, politik, dan pengaruh antara Arab Saudi dan Iran. Hal lain yan layak dicatat adalah  apa yang terjadi di Timur Tengah berbeda dengan yang terjadi di negara-negara Eropa Timur Komunis pada tahun 1989, yakni tidak ada konsensus mengenai model politik dan ekonomi yang akan menggantikan sistem politik dan ekonomi yang sudah ada. Para pemrotes monarki, misalnya, di Yordania serta Maroko ingin mereformasi sistem yang berlaku saat itu di kedua negara monarki tersebut. Beberapa demonstran menyerukan segera dilakukan transisi ke monarki konstitusional, yang lain menginginkan reformasi secara bertahap.

Yang terjadi di Suriah, Libya, dan Yaman juga tidak seperti yang diharapkan. Bahwa perubahan diharapkan akan melahirkan negara demokratik dan bebas, yang terjadi tidaklah demikian, negara-negara tersebut hingga kini justru masih dibelit peperangan serta menjadi ajang pertarungan negara-negara sekitar dan adikuasa. Negara-negara yang sudah mencoba melalui jalan demokrasi, terjerumus lagi ke lembah pemerintahan yang lebih represif, misalnya, di Mesir yang pekan ini menyelenggarakan pemilihan presiden malahan kembali ke pemerintahan otoritarian.

Dari Maroko di belahan barat hingga Yordania, Arab Saudi, dan keemiran Teluk di belahan timur, memberikan bukti bahwa monarki-monarki ternyata lebih stabil dibandingkan negara-negara yang mencoba menerapkan pemerintahan rakyat. Negara-negara non-monarki, misalnya Suriah dan Yaman, yang di masa lalu sebelum Arab Spring memiliki pemerintahan pusat meski represif, sekarang malah terjerumus dalam perang sektarian, dan menjadi mendan proxy war. Sementara, negara-negara yang mencoba melaksanakan pemilu bebas, seperti Irak dan Libya, juga tidak lantas bisa merasakan hasil pemilu bebas itu. Mereka justru masih terus kesulitan keluar dari jeratan pemilu sektarian dan kesukuan (Amy Chua, Political Tribes, Penguin Press, 2018). Dan, menghasilkan perang saudara berkelanjutan.

Pertanyaanya adalah apakah warisan (legacy) dari Arab Spring? Yang paling nyata adalah tiga perang saudara hingga kini—di Suriah, Libya, dan Yaman—yang menelan begitu banyak korban jiwa, mengakibatkan banjir pengungsi ke banyak negara terutama Eropa, dan mengacaukan stabilitas kawasan serta menjadi training ground kelompok-kelompok radikal, berhaluan keras. Konflik tersebut telah pula menjadi sarana meluasnya perdagangan gelap senjata ke seluruh kawasan dan meluasnya pula gerakan radikal, ekstremisme yang mendestabilisasi pemerintah-pemerintahan di kawasan Timur Tengah.

Akibat kedua dari Arab Spring yang sekarang dirasakan adalah stagnasi ekonomi di negara-negara seluruh Timur Tengah. Keadaan itu sebagian sebagai akibat dari kerusuhan politik. Meluasnya kelompok-kelompok radikal berhaluan ekstremisme juga berdampak buruk terhadap pertumbuhan ekonomi. Negara-negara yang sebelum Arab Spring mendapatkan devisa dari industry pariwisata seperti Mesir, Tunisia, dan Yordania merasakan akibat dari meluasnya radikalisme itu. Instabilitas politik telah pula memberi ruang lebar bagi kelompok-kelompok radikal untuk berkembang, dan bertumbuh.

Perubahan Konfigurasi

Selama beberapa dekade, banyak yang berpendapat bahwa konfigurasi penting Timur Tengah selalu menyebut konflik Israel-Palestina. Namun, setelah Arab Spring terjadi berbagai berbagai perubahan konfigurasi selain kekuatan juga persekutuan dan permusuhan. Beberapa musuh Israel selama ini, sudah bertumbangan, misalnya, Suriah, Irak, dan Libya. Ketiga negara tersebut masih jauh dari perdamaian dan kedamaian. Hingga kini, meskipun kelompok ISIS sudah berhasil diatasi, namun Suriah tetap dikuasai perang saudara dan menjadi mandala pertarungan kekuatan-kekuatan besar dan negara-negara lain dengan mendukung kelompok-kelompok oposisi dan juga mendukung rezim yang berkuasa. Sementara itu, Irak masih harus berjuang keras—walaupun juga sudah berhasil mengatasi ISIS—untuk membangun persatuan nasional; mengakhiri konflik sektarian yang menjadi persoalan utama negeri itu.

Setelah disapu Arab Spring, Libya menjadi negara gagal. Pertarungan kelompok milisi yang berebut kekuasaan menjadi penyebab utama hancurnya negara itu. Ada tiga pemerintah yang berebut kuasa di Libya: dua pemerintahan di Tripoli; yang salah satunya didukung PBB yakni Pemerintah Persetujuan Nasional (GNA).

Sebagian besar rezim Sunni (Arab Saudi, Mesir, dan Yordania) yang selama dari sapuan badai Arab Spring kini mulai bangkit; yang  secara de facto bersekutu dengan Israel. Meskipun banyak orang Mesir tetap memandang Israel sebagai ancaman dan simpati pada Palestina, namun di bawah pemerintahan  Presiden Abdel Fattah el-Sisi, hubungan kedua negara membaik lagi. Pada tahun 2015, Israel membuka kembali kedutaannya di Kairo, setelah empat tahun ditutup; setahun kemudian Mesir membuka kembali kedutaannya di Tel Aviv. Mesir juga memberikan suara dukungan pada Israel untuk menjadi anggota komite PBB (2015). Ini yang pertama kali Mesir memberikan suara kepada Israel di PBB sejak negara Yahudi itu berdiri 1948.

Tahun 2017, Sisi bertemu dengan PM Israel Benjamin Netanyahu, di New York menjelang Sidang Umum PBB ( Zena Tahhan, Al Jazeera,  20 Sept 2017). Ini pertemuan pertama pemimpin Israel dan Mesir sejak hampir empat dasa warsa silam setelah penandatangan Perjanjian Camp David. Kedua negara juga bekerja sama dalam memerangi pemberontakan di Sinai, yang dilakukan oleh kelompok bersenjata yang bersekutu dengan ISIS. Israel mengizinkan Mesir untuk menempatkan pasukannya lebih banyak dibanding yang disepakati dalam perjanjian perdamaian kedua negara (A Harel, Haaretz, 12 Juli 2016). Israel juga mengesampingkan utang Mesir yang jumlahnya hampir satu milliar dollar AS (D Wainer, Bloomberg, 18 Mei 2016). Secara teori, semakin eratnya hubungan antara Israel dan Mesir, adalah potensial untuk mendorong proses perdamaian Israel-Palestina.

Israel memainkan perpecahan regional di dunia Arab: antara negara-negara Teluk dan Iran. Apa yang secara tidak resmi disebut “poros moderat” negara-negara Arab—Mesir, Turki, Arab Saudi, dan beberapa negara Teluk, juga termasuk Yordania dan Maroko—dukungan Barat, telah menjalin hubungan dengan Israel, meski “di belakang panggung.” Poros moderat ini “memiliki musuh yang sama” yakni Suriah, Iran, ISIS, Hamas, dan Persaudaraan Muslim.

Menurut berita yang tersiar, Israel menyerahkan kepada Yordania satu skuadron helikopter serang (Reuters, 23 Juli 2015), yang bisa digunakan Yordania untuk menghadapi kelompok militan, selain itu Israel dan Yordania berkolaborasi berkenaan dengan hadirnya Rusia di Suriah (L Todd Wodd, Washington Times, 26 Maret 2016). Hubungan Arab Saudi dan Israel juga membaik, ditandai dengan kunjungan delegasi Arab Saudi ke Israel (Jerusalem Post, 7 Mei 2016). Hubungan ini didasari oleh aliansi untuk melawan “ancaman sama” yakni Iran. Ini merupakan bagian dari paradigm regional baru (Linah Alsaafin, Al Jazeera, 21 Nov 2017). Kedua  negara menyepakati sebuah dokumen yang menjamin komitmen Arab Saudi yang tidak memiliki kesepakatan formal dengan Israel, seperti kesepakatan yang dicapai antara Israel dan Mesir pada perjanjian perdamaian tahun 1979. Menurut dokumen itu, kedua negara  menyepakati untuk menjadikan Selat Tiran dan Teluk Aqaba sebagai perairan internasional yang terbuka dilayari dan dilewati penerbangan (Gili Cohen, Haaretz, 12 April 2016).

 

Arab Saudi dan Iran

Arab Saudi dan Iran, dua kekuatan besar dan bertetangga, di Timur Tengah, sudah lama terlibat dalam pertarungan untuk memperebutkan supremasi, dominasi pengaruh di Timur Tengah. Persaingan antara Arab Saudi dan Iran, tidak hanya dalam bidang politik dan dalam memperebutkan pengaruh, tetapi juga berdimensi sektarian.  Arab Saudi memandang dirinya sebagai kekuatan Muslim Sunni terbesar, sementara Iran sebagai kekuatan Muslim Shiah terbesar. Dimensi sektarian ini telah memberikan andil besar dalam persaingan kedua negara (House of Lords, The Middle East: Time for New Realism: 2 Mei 2017).

Persaingan untuk memperebutkan hegemoni regional antara Arab Saudi dan Iran, sebagian disebabkan oleh persepsi ancaman bersama (saling merasa terancam), karena konflik politik dan sektarian yang menyebabkan ketidakstabilan Bahrain, Irak, Yaman, dan Suriah. Ali Anshari, profesor sejarah Iran dari Universitas St Andrews menyebut persaingan antara Arab Saudi dan Iran sebagai “perang dingin.” Sementara Neil Crompton, Direktur Afrika Utara dan Timur tengah, Kantor Kementerian Luar Negeri Inggris malah menyebutnya sebagai “perang panas yang sesungguhnya,” karena selama tiga atau empat tahun terakhir keduanya terlibat dalam konflik di Yaman dan Suriah. Kedua negara, menurut Richard Haass, Presiden Dewan Hubungan Luar Negeri (House of Lords), melakukan “perang tidak langsung atau proxy war” di Yaman, Bahrain, dan Suriah. Yang dikhawatirkan, “perang tidak langsung atau proxy war” itu bisa menjadi perang langsung.

Hal itu yang menjadi penyebab konflik antara keduanya belakangan ini adalah dukungan Iran terhadap milisi Shia (Irak) dan intervensi langsung oleh Garda Revolusi Iran dalam perang di Suriah dan Irak; dukungan terhadap proksinya (proxy) di Suriah (Hezbollah) dan Yaman. Persaingan geopolitik antara Arab Saudi dan Iran sebenarnya bukanlah hal baru. Sebelum tahun 1979, bahkan, Iran di bawah Shah Reza Pahlevi dipandang di dunia Arab sebagai saingan regional, selain itu, Iran juga menjalin hubungan dengan AS dan Israel.

Padahal, Riyadh dan Teheran, dengan dukungan Washington, pada tahun 1960-an pernah berusaha untuk meningkatkan hubungan mereka. Raja Arab Saudi Faisal dan Shah Reza Pahlevi dari Iran saling melakukan kunjungan ke negaraan. Pada akhir tahun 1960-an, Shah Reza Pahlevi pernah mendesak Raja Faisal agar memodernisasi Arab Saudi dalam kerangka nilai-nilai budaya Barat. “ Saudaraku, ayolah modernisasi Arab Saudi. Bukalah negara Anda. Bangunlah sekolah-sekolah campuran, laki dan perempuan. Izinkahlah kaum perempuan menggunakan rok mini. Bukalah diskotek. Jadilah moderen. Sebaliknya, bila tidak, saya tidak bisa menjamin Anda akan tetap berkuasa” Raja Faisal menjawab surat Shah Iran itu dengan mengatakan, “Yang mulia, Saya mengapresiasi nasihat Anda. Boleh saya ingatkan bahwa Anda tidak menjadi shah Peranci. Anda tidak di Elysee. Anda di Iran. Penduduk Anda 90 persen Muslim. Jangan lupa itu” (Lewis Sanders IV,  Deutsche Welle, 8 November 2017).

Persaingan antara kedua negara semakin nyata setelah Presiden AS Richard Nixon, memperkenalkan kebijakan “pilar ganda” pada tahun 1970-an, yang berarti menawarkan dukungan material kepada rezim Shah Iran, sementara pada saat yang bersamaan terus mempertahankan ikatan strategic dengan Riyadh. Situasi berubah secara fundamental setelah  Revolusi Iran 1979, di bawah pimpinan Ayatollah Khomeini, persaingan Arab Saudi dan Iran diperkuat oleh dimensi ideologik dan bahkan sektarian: antara kerajaan mayoritas penduduknya Islam Sunni dan republik Islam yang didominasi Muslim Shiah. Ketika pecah Perang Irak – Iran (1980-1988), Arab Saudi bersama AS mendukung Irak di bawah Saddam Hussein; dan malahan mendesak negara-negara Teluk untuk mendukung Baghdad. Persaingan dan pertarungan geopolitik dan ideologik untuk memperebutkan kekuasaan dan pengaruh di Timur Tengah terus berlanjut hingga sekarang dalam berbagai bentuk dan tingkatan. Bahkan, dapat dikatakan, ketegangan antara keduanya sekarang ini mencapai tingkat yang belum pernah terjadi sebelumnya, sangat tinggi (Maysam Behravesh, Middle East Eye, Sabtu,16 Desember 2017)

 

 

Bisa dikatakan dalam 15 tahun terakhir, perbedaan antara Arab Saudi dan Iran menjadi semakin tajam. Hal itu terlihat dalam banyak peristiwa dan tempat. Ketika pada tahun 2003, pasukan koalisi pimpinan AS menyingkirkan Saddam Hussein, Arab Sunni menjadi musuh utama Iran. Tersingkirkan Saddam segera disusul masuknya pengaruh militer dari Iran di Irak yang terus berkembang dan hingga kini makin nyata. Persaingan strategic tersebut semakin lama semakin panas karena Iran dalam banyak hal memenangi pertarungan regional. Di Suriah, misalnya, Iran (bersama dengan Rusia) mendukung pemerintahan Presiden Bashar al-Assad menghadapi kelompok-kelompok  oposisi bersenjata dukungan Arab Saudi.

Di Yaman, Arab Saudi juga berhadapan dengan Iran yang mendukung Houthi, dalam perang hampir empat tahun ini. Sementara itu di Lebanon, Arab Saudi pernah mencoba untuk menekan PM  Lebanon Saad Hariri, dengan tujuan untuk menciptakan instabilitas Lebanon, namun gagal. Iran memiliki kepentingan di Lebanon yakni mendukung Hezbollah. Usaha Arab Saudi untuk memblokade Qatar—yang mendapat dukungan Iran—juga merupakan ungkapan pertarungannya dengan Iran.  Akhirnya, Arab Saudi tidak dapat memenangi persaingannya (pertarungannya) dengan Iran, karena sekutu Barat dan regionalnya yang adikuasa, terutama Israel dan AS, tidak ingin melakukan pengorbanan besar demi kepentingan strategik jangka panjangnya. Meskipun demikian, Arab Saudi dan Israel, belakangan ini, menjalin kerja sama karena kepentingan mereka bertemu: memandang  Iran sebagai ancaman dan musuh mereka.

Pada akhirnya, ketegangan, persaingan dan pertarungan antara Arab Saudi dan Iran akan sangat mempengaruhi situasi, perdamaian, dan stabilitas di Timur Tengah. Apalagi sekarang setelah tercepainya kesepakatan nuklir antara Iran dan AS serta negara-negara Barat (2015), Iran yang selama ini terkena sanksi terbuka kemungkinannya untuk terus mengembangkan diri, dan membuka diri bagi masuknya investasi, serta berdagang dengan negara-negara lain. Karena, Israel dan Arab Saudi adalah dua negara yang menentang kesepakatan nuklir tersebut.

 

 

 

Masa Depan

Melihat perkembangan sejak Arab Spring  hingga kini, bukan tidak mustahil bahwa ke depan lima kekuatan (negara) akan mendominasi percaturan di kawasan Timur Tengah: Mesir, Arab Saudi, Israel, Turki, dan Iran. Selain kelima besar itu, masih akan kita saksikan peran dari aktor-aktor non-state dan aktor global (Ron Tira: 2016). Dari dua kelompok besar itu bisa dikelompokkan menjadi tiga kelompok besar.

Kelompok pertama—berdasarkan perimbangan kekuatan militer—yakni Mesir, Israel, Turki, dan Iran. Meskipun masing-masing negara menghadapi tantangan signifikan, tetapi mereka mampu mengatasinya. Misalnya, Iran tahun 1979 disapu revolusi; Mesir dalam dasawarsa ini dua kali mengadapi pergolakan politik, tahun 2011 dan 2013; Turki sedang mengalami “revolusi” lamban setelah usaha kudeta gagal yang oleh rezim yang berkuasa sekarang (Erdogan) disebut dilakukan oleh kelompok Fethullah Gulen, pada bulan Juli 2016; persoalan utama yang dihadapi Israel tetap proses perdamaian dengan Palestina, meski diwarnai gejolak-gejolak politik di dalam negeri yang sebenarnya kurang berarti.

Kelompok kedua adalah negara-negara monarki yakni Yordania, Arab Saudi, dan sejumlah negara yang tergabung dalam Dewan Kerja Sama Teluk (Gulf Cooperation Council/GCC): Bahrain, Kuwait, Oman, Qatar, dan Uni Emirat Arab. Meskipun negara-negara tersebut selamat dari sapuan badai Arab Spring, akan tetapi mereka menghadapi persoalan lain yakni lemahnya kohesi, identitas nasional yang belum bulat disepakati. Arab Saudi—meski dapat dikatakan agak terlambat—kini sedang giat melakukan reformasi politik dan ekonomi. Meskipun Arab Saudi dapat dimasukkan dalam kelompok yang akan mendominasi percaturan di masa depan, bersama empat negara lainnya (4N+1: Mesir, Israel, Turki, dan Iran + Arab Saudi), dan juga dapat dipandang sebagai representasi dari GCC, akan tetapi, apakah “House of Saud” akan mampu bertahan satu dekade mendatang?

Kelompok ketiga adalah aktor-aktor lain antara lain aktor non-state dan juga aktor anti-state. Sementara itu, peranan perkerabatan lokal dan suku-suku, juga kelompok-kelompok etnik tidak bisa diabaikan begitu saja. Mereka ini antara lain aktor non-state misalnya Shiah yang sering kali menjadi bagian dari sistem supranasional yang dimainkan oleh Iran. Aktor lainnya yang berdasarkan ikatan etnis dan teritorial misalnya Hamas, aktor global antara lain Al-Qaeda, juga ISIS (yang sekarang sudah tercerai berai baik di Irak maupun Suriah). Ada yang mengakui negara-bangsa, misalnya, Persaudaraan Muslim; yang tidak mengakui negara-bangsa, misalnya, Hizbut Tahrir  dan menegakkan kembali kekhalifahan Islam (Mohammad Nuruzzaman:2017). Ini juga dicita-cita oleh ISIS. Juga aktor non-state yang digunakan untuk kepentingan politik negara, seperti Hezbollah yang ada hubungannya dengan kepentingan politik Iran; dengan kata lain Hezbollah adalah bagian dari permainan politik (political game).

Selain tiga kelompok tersebut di atas, ada hal lain yang akan mempengaruhi situasi, terutama menyangkut keamanan dan perdamaian, adalah hubungan dan persaingan antara Arab Saudi dan Iran; masalah proses perdamaian Israel – Palestina; perang di Suriah yang belum menunjukkan tanda-tanda berakhir sekaligus masa depan Suriah akan menjadi seperti apa; juga masa depan Libya; tidak kalah penting adalah persoalan Turki dengan Kurdi. Tentu, situasi di Timur Tengah tidak bisa dilepaskan dari persaingan dan campur tangan kekuatan luar, seperti AS dan Rusia serta China.

Dengan kata lain, di masa-masa mendatang, kita masih akan menyaksikan kawasan Timur Tengah yang tetap panas, tegang, dan menjadi pusaran konflik. Yang dikhawatirkan adalah dampak dari konflik di Timur Tengah akan meluas ke negara-negara lain di luar kawasan termasuk Indonesia, baik karena sentimen ideologis, emosional, maupun religius yang sekarang getarannya sama-sama kita rasakan. Karena itu dibutuhkan ketegasan sikap dan tindakan dari pemerintah juga organisasi-organisasi masyarakat dan keagamaan yang tetap menjunjung Pancsila sebagai dasar dan pemersatu negara, untuk tidak hanya membendung segala akibat langsung dan tidak langsung dari konflik serta kemelut di Timur Tengah tetapi menyingkirkannya.

*) artikel ini pernah saya sampaikan dalam kuliah umum pascasarjana di UIN Sunankalijaga, Yogyakarta