Jamal Khashoggi

Sikap AS terhadap kasus tewasnya wartawan dan kolumnis The Washington Post di Istanbul, awal bulan ini—yang kemudian diakui oleh pemerintah Arab Saudi sebagai tewas dalam perkelahian di dalam Konsulat Arab Saudi di Istanbul, Turki—mempertegas bahwa dalam hubungan internasional, hubungan antara negara, masalah etik dan moralitas kalah dari kepentingan nasional.

Hans J Morgenthau, salah satu tokoh politik internasional yang dikenal dengan bukunya Politic Among Nations, berpendapat “realisme politik tidak memerlukan pembenaran moral, akan tetapi ia memerlukan pembedaan yang tajam antara apa yang dikehendaki dan apa yang mungkin, antara apa yang diharapkan di mana pun kapan pun” (Morgenthau, 1985: 7).

Pendapat Morgenthau itu menjelaskan bahwa di dalam ilmu hubungan internasional disodorkan gambaran yang anarkis, yakni tata politik internasional diatur oleh mulai dari pergulatan kekuasaan, peperangan, hingga aneksasi suatu bangsa terhadap bangsa lain. Dengan kata lain, menurut konsep realisme ini, di dalam politik internasional negara tidak memiliki moralitas.

Pada tataran konsep teori realisme, moralitas tidaklah dianggap penting untuk mendapatkan perdamaian, melainkan dengan melakukan keseimbangan kekuasaan (balance of power) –satu kekuasaan besar harus “ditandingi” oleh kekuasaan besar lainnya untuk menjaga perdamaian dunia. Berdasarkan pengertian tersebut, berarti bahwa tidak boleh terjadi situasi dimana hanya ada satu negara saja yang memiliki kekuasaan paling tinggi, tetapi negara tersebut harus ada pesaingnya yang juga memiliki kekuasaan pada level yang sama, setara.

Realisme adalah kerangka yang dominan dalam memahami hubungan internasional (Francis Fukuyama, 2003). Selain itu, secara virtual telah membentuk pemikiran mengenai setiap kebijakan luar negeri AS. Ketika menganlisis hubungan internasional, mereka yang menganut realisme politik selalu mendasarkan pandangan mereka pada realitas, pada apa yang ada, dan bukan pada apa yang seharusnya, seperti yang diklaim oleh kaum idealisme politik.

Di dunia nyata, menurut kaum realis, konflik sudah diambang pintu karena sifat kekerasan yang melekat di dalam diri manusia dan karena jalan yang dipilih oleh penduduk dunia lebih tertarik untuk mengorganisasikan bentuk negara yang berdaulat dan independen yang cenderung tidak menghormati otoritas di luar atau di atas negaranya. Pemikiran kaum realisdengan demikian berlandaskan pada pencarian kekuatan dan dominasi yang berasal dari sifat manusia sebagai alasan dasar bagi konflik (Sorensen, 2003: 205).

Hal tersebut dapat kita lihat dalam kasus Jamal Khashoggi. Dari sejak peristiwa hilangnya wartawan dan kolunmnis The Washington Post Jamal Khashogi setelah masuk ke Konsulat Arab Saudi di Istanbul, Turki, 2 Oktober lalu, sikap negara-negara besar, AS misalnya, yang memiliki hubungan dengan Arab Saudi tidak jelas, mendua.

Kepentingan AS

Business Insider/AFP Photo

Putera Mahkota Arab Saudi Mohammed bin Salman (MBS) dan Presiden AS Donald J Trump, bertemu di Riyadh, Arab Saudi, 20 Mei 2017 (Busines Insider/AFP Photo)

Arab Saudi bukan hanya sekutu dekat AS: Presiden Donald Trump dan anak menantunya Jared Kushner yang menjadi penasihat seniornya, memiliki hubungan yang dengan keluarga kerajaan. Selama ini, Trump juga pada umumnya diam terhadap represi yang terjadi di Arab Saudi, intervensi militer di Yaman, dan blokade terhadap Qatar. Tetapi, selain semua itu, apa yang membuat hubungan AS – Arab Saudi spesial?
Hubungan kedua negara, AS dan Arab Saudi yang sudah berlangsung sejak 75 silam dibangun di atas prinsip: AS membutuhkan minyak Arab Saudi dan Arab Saudi membutuhkan mesin perang AS. Dalam rumusan Presiden AS Donald Trump sangat sederhana: uang Arab Saudi untuk membeli senjata produksi AS dan ini berarti menciptakan lapangan kerja. Bila menyangkut soal penjualan senjata, hubungan AS-Arab Saudi tidak ada bandingnya. Artinya, Arab Saudi membeli lebih banyak senjata dari AS dibandingkan negara-negara lain. Menurut laporan Stockholm International Peace Research Institute, selama lima tahun terakhir (2013-2017), jumlah senjata yang dibeli Arab Saudi seperlima atau 18 persen dari seluruh ekspor senjata AS. Ekspor senjata AS ke Arab Saudi naik 448 persen antara 2008-2012 dan 2013-2017 (SIPRI, 2018). Transfer senjata ini seringkali digunakan sebagai alat kebijakan luar negeri AS untuk menempa kemitraan strategik baru.

Trump pernah mengatakan, “Kita (AS) memiliki sekutu-sekutu sangat baik baik di Timur Tengah, tetapi jika Anda melihat Arab Saudi: Mereka adalah sekutu dan mereka pembeli yang dahsyat tidak hanya perlengkapan militer, melainkan juga barang-barang lain” (TIME, Oktober 2018). Dalam kunjungan ke Arab Saudi selama dua hari, yang merupakan kunjungan ke luar negerinya yang pertama, bulan Mei 2017, Trump berhasil meyakinkan Arab Saudi untuk membeli senjata baru. Akhirnya disepakati, Arab Saudi membeli senjata senilai 110 miliar dollar AS. Hingga kini, Arab Saudi baru komit untuk membeli perlengkapan militer senilai 14,5 miliar dollar AS.

Menurut data yang dikumpulkan Center for Responsive Politics, sebuah watchdog pemerintah, tahun ini Arab Saudi (untuk memuluskan pembelian senjata) paling kurang menghabiskan dana 5,8 juta dollar AS untuk melobi Kongres. Tetapi, menurut Lydia Dennett dari Project on Government Oversight, dana yang sudah dikeluarkan Arab Saudi hampir 9 juta dollar AS. Sementara menurut The Foreign Influence Transparency Initiative, sebuah tanki pemikir berhaluan kiri di Washington, para pelobi Arab Saudi selama tahun 2017 telah mengkontak lebih dari 200 anggota Kongres, termasuk para Senat. Data tersebut juga mengungkapkan bahwa para agen Arab Saudi mengkontak para pejabat di Kementerian Luar Negeri, yang membawahi penjualan perlengkapan militer ke luar negeri, hampir 100 kali.

Arab Saudi menjadi mitra penting bagi AS dalam koalisi melawan agresi proksi Iran di Yaman, Irak, Suriah, Lebanon, dan Bahrain. Di masa pemerintahan Trump ini, hubungan AS dan Iran sangat buruk; sementara antara Arab Saudi dan Iran terus terlibat rivalitas memperebutkan pengaruh di Timur Tengah. Kedua negara ini, terlibat konflik baik langsung maupun tidak langsung di, misalnya, Suriah dan Yaman. Karena, bila terjadi ketegangan bahkan memburuknya hubungan antara AS dan Arab Saudi, maka yang diuntungkan adalah Iran. Dan, ini sangat merugikan baik baik bagi AS maupun Arab Saudi.

Senjata Minyak
Selama beberapa dekade, Arab Saudi menjadi produsen minyak terbesar di dunia dan de facto pemimpin negara-negara anggota OPEC, mengontrol pasokan minyal global. Ini berarti mengontrol harga dan pasar minyak global. Karena itu, beberapa kalangan khawatir bila Arab Saudi terus ditekan berkait dengan pembunuhan terhadap Khashoggi, maka Riyadh akan mengulang kebijakan yang pernah dilakukan pada tahun 1973-1974. Pada bulan Oktober 1973, Arab Saudi dan negara-negara produsen minyak lainnya mengumumkan bahwa mereka mulai mengurangi produksinya lima persen per bulan sampai pasukan Israel ditarik dari wilayah pendudukan Arab.

Namun, kebijakan pengurangan minyak itu telah mendorong dikembangkannya generasi baru pusat tenaga nuklir di AS, Perancis, Jepang, Inggris, dan beberapa negara lain mengurangi ketergantungannya mengimpor minyak. Kebijakan tersebut juga tidak berhasil, karena Israel tetap tidak mundur dari wilayah pendudukan.

Apakah sekarang kebijakan semacam itu akan diambil Arab Saudi. Pengurangan produksi minyak, misalnya oleh Arab Saudi, akan memberikan keuntungan pada Iran. Padahal, Arab Saudi menjadi komponen penting dari rencana Trump untuk mengisolasi Iran. Karena itu, Gedung Putih membutuhkan Riyadh untuk menstabilkan pasar energi saat sanksi AS terhadap produksi minyak Iran mulai diambil pada bulan November mendatang.

Tentu saja, Arab Saudi akan memainkan peran seperti yang diharapkan AS bila tidak terus ditekan. Kiranya, tidak masalah apa yang terjadi terhadap Khashoggi, pada akhirnya AS akan tetap mempertahankan hubungannya dengan Arab Saudi karena minyak. Meskipun, menurut “US Energi Information Administration”, AS merupakan produsen minyak mentah terbesar dunia, 10,7 juta barrel per hari, melampaui Rusia dan Aran Saudi (tahun 2017 tercatat 9,4 juta barrel).

Karena itu, sejak semula ketika kasus Jamal Khashoggi muncul dan memancing reaksi serta komentar dari berbagai kalangan, termasuk Sekjen PBB, AS mengambil sikap yang sangat hati-hati, bahkan mendua. Presiden Donald Trump pada mulanya mengatakan bahwa ia sangat prihatin mengetahui apa yang menimpa Khashoggi. Tetapi, Trump juga mengatakan bahwa ia dijamin bahwa Arab Saudi tidak mengetahui apa pun berkait dengan “hilangnya” Khashoggi itu (sebelum Arab Saudi mengakui bahwa Khashoggi dibunuh di dalam konsulat). Kemudian, dalam wawancara dengan kantor berita Associated Press (Kamis, 18/10), Trump mengatakan, elemen-elemen “jahat” (rogue) ada di balik kemungkinan pembunuhan itu.Setelah Arab Saudi mengakui bahwa Khashoggi dibunuh di konsulat, Trump mengatakan penjelasan Arab Saudi tentang bagaimana Khashoggi dibunuh dapat dipercaya, sambil menambahkan apa yang terjadi di konsulat “tidak dapat diterima.”

Dengan demikian, bila mengikuti fakta di atas, maka Trump bisa jadi tidak akan menangguhkan atau bahkan menghentikan penjualan senjata kepada Arab Saudi, meskipun ada kasus Khashoggi. Salah satu alasannya adalah karena Arab Saudi memainkan peranan kunci dalam usaha AS menghadapi Iran. Selain itu, Arab Saudi juga mempertahankan pasokan dan harga minyak, dan pada akhirnya akan mendukung rencana AS untuk mengupayakan perdamaian antara Israel dan Palestina.

Sama seperti yang dikatakan veteran diplomat AS, Christopher Hill, yang pernah menjadi duta besar AS untuk Irak, “AS telah memberikan sikap yang jelas karena pemerintah telah meletakkan semua kepentingan Timur Tengahnya ke dalam keranjang Arab Saudi…Membiarkan semua itu terungkap …menyangkut sekutu dekat adalah paling problematik” (The Atlantic, 17 Oktober 2018).

Pada akhirnya, benar yang dikatakan George F Kennan, “Ketika kita berbicara tentang penerapan standar moral untuk kebijakan luar negeri, oleh karena itu, kita tidak berbicara tentang kepatuhan dengan beberapa kode perilaku internasional yang jelas dan diterima secara umum. Jika kebijakan dan tindakan pemerintah AS harus dibuat untuk mematuhi standar moral, standar-standar itu harus menjadi milik Amerika sendiri, yang didasarkan pada prinsip-prinsip keadilan dan kesopanan tradisional Amerika. Ketika yang lain gagal menyesuaikan dengan prinsip-prinsip itu, dan ketika kegagalan mereka konformasi memiliki efek buruk pada kepentingan Amerika, yang berbeda dari selera politik, kami memiliki hak untuk mengeluh, dan, jika perlu, untuk mengambil tindakan balas dendam” (Foreign Affairs, 205 (1985-1986).
Keinginan pemerintah Trump sederhana, cerita tentang Jamal Khashoggi segera selesai dan berlalu. ***

*) Artikel ini sudah diterbitkan Harian Kompas, hari Kamis, 25 Oktober 2017, di halaman 7.