William “Bill” Shankly (1913-1981) adalah salah seorang manager sepak bola Inggris yang sangat berhasil dan dihormati. Ia juga pemain bola yang hebat. Shankly hampir 300 kali main di Liga Sepakbola Inggris untuk membela Preston North End, dan mewakili Skotlandia tujuh kali, juga bermain untuk Patrick Thistle dan Carlisle United.
Akan tetapi, yang sangat diingat publik pecinta sepak bola di Inggris adalah prestasinya ketika memegang Liverpool. Ia behasil mengangkat Liverpool dari dasar Divisi Dua menjadi salah satu kekuatan besar di liga Inggris. Selama 15 tahun melatih Liverpool, ia berhasil membawa kesebelasannya memenangi tiga piala liga, dua Piala FA, dan Piala UEFA. Shankly, pada tahun 1974 mengundurkan diri setlah Liverpool memenangi Piala FA.
Pada bulan September 1981, Bill Shankly meninggal karena serangan jantung. Suatu ketika, saat masih menjadi Manajer Liverpool, Bill Shankly pernah melemparkan pertanyaan: Apa beda antara sepak bola dan politik? Menurut Bill Shankly, sepak bola bukan soal hidup dan mati, melainkan lebih dari semua itu. Sementara, politik adalah soal hidup dan mati.
Mengapa, politik adalah soal hidup dan mati? Bila dilihat dari motif berpolitik, menurut Hans Joachim Morgenthau seorang ilmuwan politik Jerman-Amerika (1904-1980), pada dasarnya adalah tiga: untuk mempertahankan kekuasaan, untuk menambah kekuasaan, dan untuk menunjukkan kekuasaan. Untuk ketiga hal itu, mengutip pendapat Niccolo Machiavelli (1469-1527), harus dilakukan segala cara dan upaya demi tercapainya tujuan.
Karena itu, menurut Machiavelli, kekuasaan harus dilepaskan dari moral dan teologi. Kekuasaan dan etika politik adalah dua dunia yang berbeda. Jadi, Machiavelli berkeyakinan bahwa tidak ada hukum yang bisa memaksakan, kecuali kekuasaan. Karena itu, kekuasaan atau memiliki kekuasaan menjadi tujuan utama dan diraih dengan segala cara. Itulah tujuan politik kekuasaan.
Maka dari itu, Morgenthau berpendapat bahwa orang yang sifatnya murni politik akan menjadi binatang buas. Sebab seperti pepatah lama, Mater saeva Cupidinum yang secara bebas dapat diartikan, nafsu itu bisa menjadi sangat kejam. Apalagi nafsu berkuasa. Nafsu berkuasa yang berlebih itu seringkali membuat seseorang buta atau menjadi tidak rasional dan bodoh. Tidak mampu mengukur dirinya; baik dari sisi kompetensi maupun akseptabilitasnya di daerah pemiliham. Bahkan lebih dari itu, tidak jarang dia akan berbuat segala sesuatu yang melanggar etika dan moral guna menjatuhkan lawannya demi meraih kemenangan, seperti dikatakan Machiavelli.
Jika demikian, maka politik tidak bisa lagi disebut sebagai seni, seperti definisi selama ini. Paling tidak menurut Otto von Bismarck (1815-1898) Perdana Menteri Prussia, politik adalah seni kemungkinan, yang bisa dicapai-seni terbaik berikutnya. Politik disebut seni, karena membutuhkan kemampuan untuk meyakinkan melalui wicara dan persuasi, bukan manipulasi, bukan pula kebohongan, dan bukan melalui kekerasan (Haryatmoko: 2003), ancaman, teror, fitnah, berita hoax, memutar-balikan fakta.
***

Foto Antara/ Hasan Sakri
Politik seperti itulah—yang penuh manipulasi, penuh kobongan, disertai ancaman dan teror, diwarnai fitnah, memutar-balikan fakta, menyebarkan hoax, tanpa etika dan moral, yang menutup mata dan hati terhadap kemanusiaan serta tidak merayakan kemanusiaan, tetapi semuanya semata-mata demi kekuasaan; dan untuk meraih kekuasaan itu menghalalkan segala cara—yang disebut sebagai “politik sontoloyo.”
Mengapa “sontoloyo”? Karena berpolitik seperti itu, mengingkari mission sacre tugas suci politik yakni tanda dan sarana keselamatan; membawa kebajikan untuk banyak orang, bukan hanya untuk pribadi, keluarga, golongan, kelompoknya atau segelintir orang, namun untuk seluruh lapisan masyarakat yang menjadi ruang lingkup tugasnya. Kesalehan politik adalah kesalehan yang amat tinggi sebab ia mencakup kesalehan pribadi, kesalehan sosial, kesalehan lingkungan, dan kepedulian terhadap segenap bangsa dan kemanusiaan.
Kata “sontoloyo” berarti “tidak baik”, “jelek”, dan “konyol” (Badudu-Zain, Kamus Umum Bahasa Indonesia,1996). Sementara menurut Berdasarkan ‘Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)’ Kemendikbud, kata “’sontoloyo” memiliki beberapa arti, yakni “konyol”, “tidak beres”, “bodoh”. Semua kata tersebut, memiliki makna negatif. Karena itu, politik sontoloyo adalah politik yang tidak baik, yang jelek, yang konyol, yang tidak beres, yang bodoh.
Padahal, arti kata awal dari “sontoloyo” tidaklah bermakna negatif. “Sontoloyo” adalah kata dalam bahasa Jawa, yang dipakai untuk menyebut orang yang berprofesi sebagai penggembala bebek. Seorang sontoloyo biasanya tidak hanya menggembalakan, menggiring tiga atau empat sampai sepuluh ekor bebek, tetapi puluhan. Tidak mudah menggiring bebek dari rumah hingga sawah. Bebek digiring sepanjang jalan dari rumah (kandang) hingga sawah. Arak-arakan bebek itu, kadang membuat pengguna jalan lain kerepotan, mungkin harus berhenti untuk memberi kesempatan rombongan bebek, misalnya, memotong jalan; jalan terganggu.
Saat itulah, muncul umpatan dari pengguna jalan lain, yang nadanya menyalahkan penggembalanya, “Dasar sontoloyo” karena jalannya terganggu. Mungkin, seorang petani juga marah-marah karena padinya yang sudah mulai menguning atau yang barusan ditanam dirusak bebek yang turun ke sawah. Nah, saat itulah muncul ucapan atau bahkan makian, “sontoloyo”; lagi-lagi menyalahkan penggembala yang tidak membiarkan bebeknya merusak tanaman padinya.
Dari sinilah kata sontoloyo bermakna negatif, bermulai. Dan, kemudian, masuk menjadi kosa kata dalam bahasa Indonesia pun, bermakna negatif.
***
Karena itu, hanya di tangan para politikus yang memiliki etika dan moral baik sajalah, politik yang tidak sontoloyo, politik itu menjadi seni. Di tangan para politikus yang memiliki etika dan moral baik itulah, tujuan politik yang sesungguhnya, yang bener yakni terwujudnya bonum commune, kemaslahatan bersama, kebaikan bersama, yang adil dan merata menjadi kenyataan. Itulah tujuan politik yang bener. Dari sini jelaslah bahwa tujuan berpolitik bukan demi kekuasaan pada dirinya sendiri, melainkan demi merayakan kemanusiaan, terutama kelompok massa yang dimarginalisasikan oleh kemiskinan, kebodohan, ketidakadilan, dan diskriminasi.
Adakah politik sekarang adalah demi merayakan kemanusiaan? Praktik politik selama ini, jelas, tidak untuk merayakan kemanusiaan, melainkan untuk memenuhi nafsu, memuaskan nafsu kekuasaan. Maka, menurut Morgenthau, terjadilah perebutan kekuasaan. Sebenarnya, “perebutan kekuasaan adalah universal dalam ruang dan waktu dan merupakan fakta pengalaman yang tidak bisa dibendung”; politik selalu kembali ke sifat manusia, atau “dorongan bio-psikologis” untuk hidup, berkembang biak, dan mendominasi.
Untuk memperebutkan kekuasaan itu, membutuhkan energi. Politik dapat memperoleh energinya dari usaha manusia yang paling bervariasi, dari agama, ekonomi, moral dan antithesis lainnya. Ini tidak menggambarkan substansi sendiri, tetapi hanya intensitas asosiasi atau disosiasi manusia (Carl Schmitt, 2007). Sudah menjadi sifat manusia, kata Edmund Burke, filosof politik abad ke-18, bahwa manusia ingin mengambil bagian dalam kekuasaan. Tetapi, (biasanya) tidak ingin mengambil bagian dalam tanggung-jawab terhadap penggunaan kekuasaan. Politikus semacam ini, juga politikus sontoloyo. Mencari enaknya sendiri.
Oleh karena, jelaslah bahwa politik adalah segala kegiatan manusia yang berorientasi kepada masyarakat secara keseluruhan, atau yang berorientasi kepada negara; bukan untuk kepentingan diri, kepentingan kelompok sendiri, kepentingan golongan sendiri, atau partainya sendiri. Sebuah keputusan disebut keputusan politik apabila diambil dengan memperhatikan kepentingan masyarakat sebagai keseluruhan. Suatu tindakan disebut politis apabila menyangkut masyarakat sebagai keseluruhan. ***
Brilliant.?????
Terima kasih, Pakde
Mas Trias, besutan yang sungguh bernas tentang sontoloyo dan realitas kehidupan masa kini. Semoga tulisan ini bisa menyadarkan kita dan utamanya para pemimpin untuk senantiasa berupaya mewujudkan bonum commune. Bravo…ditunggu tulisan bernas berikutnya.
Pak Mantoro, matur nuwun…semoga demikian…tidak sontoloyo
Muantab…terima kasih atas pencerahan yg lugas dan tepat waktu..Mudah2an para politisi busuk membaca dan merefleksikan pesan moral yg disampaikan mas Trias dalam tulisan tadi
Mas Heru, terima kasih…kita harus terus berteriak….
Sedikit tentang kata sontoloyo, almarhum maestro dalang Ki Nartosabdhan pernah membuat “geculan” yang ditembangkan dengan amat indah atau dialog lucu di sela-sela pertunjukannya. Bunyinya kurang lebih begini :
“ojo nglokro koyo sontoloyo, yen ngono yen ngono kowe kebajut ngono. Jo sontoloyo jo sontoloyo, tumandang makaryo pamrihé ojo rekoso….”
Maknanya kurang lebih, jangan putus asa (nglokro) seperti sontoloyo dalam mengerjakan tugas (tumandang makaryo) agar supaya (pamrihé) hidup ini bahagia, tidak susah (rekoso).
Di negeri ini, tidak sulit mencari mana politisi sontoloyo mana yang bukan. Parameternya cukup jelas dan sangat terang benderang diulas pada tulisan di atas. Luar biasa mas Ias.
“Sontoloyo tenan ogh cah-cah kaé…” .. ha ha …
*Ki Nartosabdhan harusnya Ki Nartosabdho
Baru tahu, kalo Sontoloyo itu adalah nama pengembala bebek…hehehe. nuwun Mas Ias…
Tulisan yg sangat menyentuh mengkritik nurasi politisi,..tapi jika tirai nurani sudah tertutup oleh kebencian, dendam dan nafsu setan, terkadang hanya Allah yg bisa mengingatkan…
Padahal Allah sdh berkali kali mengingatkan juga…Siapa lg yg harus mengingatkan?
Semoga Tulisan ini paling tidak bisa mengingatkan kita semua…
“Tuhan pasti akan melindungi kebenaran dan keadilan, Tuhan akan menghancurkan kebohongan dan kebatilan, hingga nanti pada waktunya’
Amin, Luk….terima kasih…kita yg waras harus terus berteriak..didengar atau tidak..tp someday…pasti akan ada hasilnya.
Koekoeh…nuwun…wah, baru tahu aku soal itu
Judeg aku Mas. Kebanyakan ngeliat yang sontoloyo (mending kalo pengangon beben) alias Machiavellian
Hehehe…memang gila dan bikin gila…tp nggak usah ikut ngedan…biar saja mereka yg edan…sontoloyo…
Mas Trias, terima kasih bahan permenungannya di akhir pekan ini dan tulisan yang indah ini juga mengingatkan kita semua didalam beraktivitas. Salam
Pak Boen, terima kasih…semoga kita tidak juga menjadi sontoloyo.
Otak, jiwa dan.batinnya sudah suloyo. Parah. Salam
Bener….pancen sontoloyo. Tengkiu.
Ias, apik apik banget tulisanmu dan menggelitik. Kata Sontoloyo itu kayaknya identik dengan sosok seorang laki-laki. Kalau santalaya atau sintiliyi itu pasti perempuan. Hehe. Komen boleh aja ya rada cemen.
Gendut, sip….bebas…nuwun..sdh meluangkan waktu
Memamg sontoloyo politikus di negeri ini, ngangon bebek malah lebih pintar bebeknya…dasar sontoloyo hahaha. Mantap luar biasa mas Trias, mencerahkan Sabtu pagi yg mendung.
Pak Haji…tulisan Pak Haji, top juga..saya sdh baca…sontoloyo!
Lha iya kalau segala sesuatu sudah tidak pd substansinya,sudah dimelencengkan-seperti “politik”- cara apapun ya ditempuh..
Saya kira bagi para politikus harus berani keluarga dari lingkaran setan,dan mendasarkan perjuangannya dng Etika Berpolitik..agar tidak menjadi Politikus Sontoloyo..
Salam mas Trias..
Berpolitik sdh jadi tempat cari nafkah, Pakde…jadi yo begitulah…Sontoloyo
Tulisan njenengan iki apik tenan mas… ning nek sing moco termasuk golongan sontoloyo pasti tetep ora mudeng ??
Sukses ya mas… sehat selalu ??
Hahaha…cen sontoloyo….nuwun..
Mencerahkan mrk yg eaton dikata. Politikus sontoloyo=politikus yang hanya punya keinginan berkuasa, lupa bahwa kekuasaan itu mestinya digunakan sebesar-besarnya utk kemakmuran n kesejahteraan rakyat. Org Jawa bilang melik nggendhong lali…
Betul, melik nggendhong lali…akeh banget..malah nggendhong duweke wong liyo…nuwun
Keep up the good work, Excellency, especially since both the ‘sontoloyos’ and the ‘ducks’ need to be enlightened
Exccelency, thank you so much…I will..
Moral dan etika hakekatnya adalah milik pribadi manusia. Manusialah sesungguh yg mengisi udara politik akan berbau apa. Selama moral dan etika tertanggalkan oleh pribadi pribadi manusia, maka hawa politik yg lahir adalah sontoloyo.
Betul Den…berpolitik untuk cari makan…nggak ada pengabdian..Sontoloyo
Keren mas ??
Nambah rujukan dikit – https://historia.id/agama/articles/sukarno-bilang-islam-sontoloyo-vxJmA
Masih soal sontoloyo,pak karno saja sdg gemes dulu ?
Terima kasih, Nel…tambahan bahan…sip..
Tulisan mas Ias punya gaya menulis yang khas: reflektif, tajam, kritis, tetapi tidak menggurui sebagaimana dulu ketika mengajar kami di kelas jurnalistik maupun saat kami menjadi reporter dan editor.
Dari tulisan-tulisannya yang muncul, termasuk soal politik ini, terekam betul kalau pisau analisisnya selalu diasah setiap saat dengan berbagai referensi. Teruslah berefleksi untuk Indonesia mas. Salam sanitas, sanctitas, scientia (agak belok dikit gpp ya haha)
Bung, terima kasih banyak…semoga dengan cara ini bisa memberikan sumbangan….meski kadang seperti berteriak di tengah padang gurun..
Mas Ias, tulisan yang sangat indah. Dari sepakbola, filsafat politik sampai pengangon bebek,mengalir lancar dan kaya referensi. Akhirnya menggugah rasa kebangsaan kita untuk terus mencintai bangsa ini. Terima kasih Mas Ias
Mas Thy, tulisan wartawan Mas…semoga bermanfaat…terima kasih sudah meluangkan waktu untuk kasih komentar…
Kala SD saya sudah baca kata sontoloyo dlm buku Sarinah-nya Bung Karno, milik ayah. Kemudian, th 70an Kris Biantoro juga bikin film dgn tokoh bernama Paul Sontoloyo. Ooalah..Cen sontoloyo…!
Matur nuwun sampun paring seserepan ingkang jangkep punika, Om ias.
Wah, Mas AWD saya malah blm pernah baca dan nggak tahu Paul Sontoloyo….tp matur nuwun informasinya….nuwun sampun paring komen..nuwun.
Analisis multidimensional yang mencerminkan luasnya schemata penulis …
Saestu Sae Sanget, masbro Trias
Matur nuwun, Dimas Jokri…salam.
Ias , tulisanmu semoga dibaca TOKOH TOKOH DI PARTAI agar mereka bila sadar , apakah mereka termasuk TOKOH SONTOLOYO
Semoga…semoga …mereka masih doyan bacaan…hanya berharap…trima kasih banyak..
Teruskan tulisan2 mas Trias disamping akan menambah wawasan saya juga utk mengingatkan para politikus2 yg tidak santun dlm berpolitik utk menjadi lebih santun lagi, jangan cuma hanya mengejar kekuasaan tanpa mempedulikan aspek kesantunan. Bravo mas Trias.
Terima kasih, Mas…perhatian dan apresiasinya…semoga bisa terus memberikan sumbangan pada negeri ini, lewat tulisan2 saya,walaupun hanya kecil sekali…salam.
setuju sekali mas. Politisi sontoloyo dan matinya kemanusiaan. Mayoritas politisi kita mengabaikan tugas profetiknya sebagai elite, sebagai wakil rakyat. Bereka berjuang demi dirinya sendiri. Hanya sedikit yang masih berusaha menjadi baik.
Mungkin malah nggak tahu atau nggak mudeng tugas ptofetiknya itu…
setuju sekali mas. Politisi sontoloyo dan matinya kemanusiaan. Mayoritas politisi kita mengabaikan tugas profetiknya sebagai elite, sebagai wakil rakyat. Mereka berjuang demi dirinya sendiri. Hanya sedikit yang masih berusaha menjadi baik.
Begitulah yg terjadi…berpolitik untuk cari penghidupan..
Terima kasih Faiq.
Banyak yg lupa atau pura-pura lupa, politik itu tujuan akhirnya bonum commune
Pura-pura lupa….
setuju mas. Kita kebanjiran politisi sontoloyo yang lupa tugas-tugas profetik sebagai elite.
Benar…
Udah lama saya nggak baca tulisan yg berat seperti ini. Tapi sangat mencerahkan.
Hermas apa kabar?
Ya, sekadar berbagi…semoga ada gunanya.
terima kasih.