Rahwana (https://wayang.wordpress.com/2010/07/18/rahwana-sang-angkara-murka/)

Begawan Wisrawa, tahu benar bahwa putranya, Prabu Danaraja, Raja Negeri Lokapala, jatuh hati pada Dewi Sukesi, putri Raja Alengka, Sumali. Bagi Danaraja, tidak ada perempuan lain yang ada di hatinya kecuali Dewi Sukesi. Mengetahui perasaan anaknya, Begawan Wisrawa pun ingin mewujudkan keinginan anaknya. Ia menemui Sumali, sahabatnya, untuk mengutarakan niat anaknya. Sumali mengatakan bahwa putrinya, bersumpah hanya mereka yang mampu mengupas ajaran Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu– lah, yang akan dijadikan suaminya. Begawan Wisrawa pun bersedia untuk mengupasnya.

Ajaran Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu, adalah ajaran ilmu kesempurnaan; sebuah ajaran tentang penguasaan pancaindera. Yakni tentang bagaimana manusia mengendalikan hawa nafsu yang dianalogikan lewat pancaindera, dan upaya mengendalikan hawa nafsu itu tidak mudah dan menimbulkan berbagai persoalan lainnya. Perwujudan hawa nafsu itu nantinya tergambar melalui empat anak Wisrawa dan Sukesi yang kemudian menjadi simbol sifat dasar manusia, yakni angkara yakni Rahwana, penyesalan yakni Kumbakarna, nafsu seks disimbolkan dalam diri Sarpakenaka, dan kebijaksanaan serta cinta, yakni Gunawan Wibisana (Sindhunata, Anak Bajang Menggiring Angin, 1983).

Barang siapa yang menyadari dan menaati benar makna yang terkandung di dalam ajaran Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu itu, akan dapat mengenal watak (nafsu-nafsu) diri pribadi. Nafsu-nafsu ini selanjutnya dipupuk, dikembangkan dengan sungguh-sungguh secara jujur, di bawah pimpinan kesadaran yang baik dan bersifat jujur. Yang bersifat buruk jahat dilenyapkan dan yang bersifat baik diperkembangkan sejauh mungkin. Kesemuanya di bawah pimpinan kebijaksanaan yang bersifat luhur.

Karena itu, sering pula dijelaskan sebagai sebuah ilmu yang menjadi kunci bagi seseorang untuk dapat memahami isi dari indraloka – pusat tubuh manusia – yang berada di dalam rongga dada, yaitu pintu gerbang atau kunci rasa sejati yang bersifat gaib. Ilmu ini adalah sebagai sarana “pemusnah” segala bahaya. Sebab segalanya sudah tercakup di dalam ilmu ini. Itulah sebabnya disebut sebagai puncak dari segala macam ilmu. Ilmu Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu disebut juga dengan Sastra Cetho. Suatu hal yang mengandung kebenaran, keluhuran, dan keagungan akan kesempurnaan penilaian terhadap hal-hal yang belum nyata bagi manusia biasa. Karena itu, ilmu ini disebut pula sebagai ilmu atau pengetahuan tentang rahasia seluruh alam semesta beserta perkembangannya.
***

Alkisah menurut sang empunya cerita, ketika Dewi Sukesi dan Wisrawa hampir menghayati Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu, Batara Guru dan Dewi Uma menggagalkan usaha mereka, dan yang terjadi justru Begawan Wisrawa jatuh cinta pada Dewi Sukesi. Amor vincit Omnia, cinta mengalahkan semuanya. Cinta yang seharusnya tumbuh sebagai cinta agape, telah tergelincir ke dalam jurang cinta eros yang terlarang! Dan, Dewi Sukesi pun mengandung anak Begawan Wisrawa. Setelah mengetahui pengkhianatan ayahnya, Danareja mengusir Dewi Sukesi dan Wisrawa dari Kerajaan Lokapala.

Di tengah hutan, Dewi Sukesi melahirkan. Tetapi, yang keluar dari rahimnya bukannya anak manusia melainkan darah, telinga, dan kuku manusia. Darah tumbuh menjadi manusia bermuka sepuluh yang diberi nama Rahwana (Dasamuka) sebagai simbol angkara, telinga yang merupakan simbol penyelesalan tumbuh menjadi raksasa sebesar Gunung Anakan yang diberi nama Kumbakarna, dan kuku yang merupakan lambang nafsu seks tumbuh menjadi raksasa wanita (raseksi) tidak sedap baunya yang diberi nama Sarpanaka. Anak-anak tersebut merupakan wujud dosa-dosa mereka. Kemudian, mereka pun kembali ke Alengka dan melahirkan seorang manusia sempurna yang lahir dari cinta sejati keduanya. Anak tersebut diberi nama Gunawan Wibisana, seorang kstaria yang luhur budinya.

Nafsu-nafsu itu, ada dalam diri setiap manusia, tanpa kecuali. Tidak peduli, manusia itu raja atau presiden, atau perdana menteri, atau kanselir; apakah manusia itu resi atau pertapa, atau begawan, pemimpin agama, para ksatria negara, pejabat negara, atau rakyat jelata. Bahkan, nafsu itu ada pula pada binatang. Di dalam diri ciptaan itu, entah itu manusia atau binatang, ada nafsu amarah, nafsu birahi, nafsu kerakusan, nafsu ketamakan, nafsu kebencian, nafsu iri, nafsu pendendam, nafsu kelicikan, dan juga nafsu kekuasaan.

Menurut Imam al Ghazali (450 H/1058 M – 505 H/1111 M), nafsu kekuasaan, misalnya, itu ada beberapa tingkat yaitu : hubbul istiela ( nafsu ingin menaklukkan ), hubbul isti’la ( nafsu ingin ingin menundukkan orang lain ), takhsis ( nafsu meminta hak pregroratif ), dan hubbul isti’bad ( nafsu memegang seluruh kekuasaan ditangannya, otoriter). Jika seorang pemimpin pada awal pemilihan sudah memiliki nafsu kekuasaan, maka lambat laun nafsu kekuasaan itu akan meningkat menjadi nafsu penaklukan (nafsu istiela) , kemudian nafsu itu meningkat menjadi nafsu ingin menundukkan (hubbul isti’la) , kemudian naik menjadi tingkat nafsu takhsis ( meminta keistimewaan ) dan terakhir meningkat menjadi nafsu isti’bad yang akan menjadikan pemimpin itu menjadi pemimpin yang diktator dan otoriter. Akhirnya pemimpin itu menjadi pemimpin yang dzalim akibat nafsu kekuasaan dalam dirinya.

Nafsu kekuasaan itulah yang mendorong orang untuk melakukan segala cara demi terwujudnya kekuasaan itu, termasuk korupsi. Kekuasaan dan korupsi, ibarat dua sisi dari sekepeng mata uang. Korupsi selalu mengiringi perjalanan kekuasaan dan sebaliknya kekuasaan merupakan “pintu masuk” bagi tindak korupsi. Inilah hakikat dari pernyataan Lord Acton (1834-1902), guru besar sejarah modern di Universitas Cambridge, Inggris, dengan adagium-nya yang terkenal yakni, “Power tends to corrupt, and absolute power corrupt absolutely” (kekuasaan itu cenderung korup, dan kekuasaan yang absolut cenderung korup secara absolut).

Korupsi adalah wujud dari nafsu ketamakan. Kerakusan. Korupsi, yang diambil dari bahasa Latin yakni corrumpere, bisa diartikan antara lain sebagai “menyusup, merusak, mengotori, menghancurkan, dan membinasakan.” Dan, korupsi bukanlah fenomena baru. Dua ribu tahun silam, Kautilya (350-275 SM), perdana menteri seorang raja di India, menulis buku berjudul Arthashastra, yang membahas korupsi. Dalam bahasa Sanskerta korupsi disebut bhrash; kata bhrash ini berarti gagal, menyimpang dari, atau terpisah dari, tercerabut dari, busuk, hilang, jahat, ganas, dan merusak akhlak (Priti Phohekar, 2014).

Menurut Kautilya, sifat dasar manusia cenderung korupsi. Korupsi itu merupakan psyche manusia. Korupsi adalah tindakan yang bertentangan dengan kemurnian. Dalam arti ini, jiwa adalah sesuatu yang murni, sementara tubuh, dan semua materi fisik, adalah hal-hal yang korup. Yang diperlukan untuk mencapai kebijaksanaan dan pencerahan adalah menyangkal fisik dan materi serta mencari kebenaran di dalam jiwa. Korupsi juga bisa identik dengan kematian dan dekadensi moral. Oleh Aristoteles hal itu disamakan dengan hedonisme, yakni hidup yang tujuan utamanya adalah mencari nikmat badaniah semata.

Kautilya mengatakan, adalah tidak mungkin orang menelan madu, tetapi lidah tidak merasakan manisnya. Kecuali lidah sudah mati rasa. Bukankah lidah adalah indra pengecap. Mana mungkin, lidah tidak merasakan manisnya madu yang mengalir lumer masuk ke kerongkongan. Karena itulah, adalah tidak mungkin pegawai pemerintah termasuk pejabatnya; demikian juga pejabat lembaga-lembaga pemerintah, lembaga negara, lembaga legislatif, dan juga yudikatif tidak mencicipi meski hanya satu gigitan ”roti pemerintah”, kekayaan negara. Pegawai pemerintah, termasuk pejabatnya, seperti ikan di air. Tidak seorang pun dapat mengatakan, kapan ikan itu minum air atau berapa banyak air yang diminum ikan?

Itulah sulitnya mendeteksi korupsi. ”Seperti ikan yang berenang di bawah dekat dengan dasar, tidak mungkin dapat diketahui apakah ikan itu minum atau tidak. Demikian pula, tidak mudah pula mengetahui apakah pejabat atau pegawai itu korup atau tidak,” kecuali ada yang bernyanyi karena ”mendapatkan bagian yang kurang” (Trias Kuncahyono, Kredensial, 2018). Tujuh abad silam, Dante Alighieri (1265-1321) dalam salah satu karyanya, Inferno, juga sudah bicara soal korupsi. Machiavelli menyebut korupsi sebagai “proses pembusukan moral.”

Sebagai gambaran, betapa korupsi meraja-lela, bisa dilihat dari data yang ada. Sejak berdiri pada tahun 2004, KPK sudah memproses hukum 554 orang dari berbagai kalangan. Meraka antara lain, 205 anggota legislatif, baik pusat maupun daerah, 100 kepala daerah, 204 orang dari pihak swasta, 22 hakim, 7 jaksa, dan 10 pengacara. Sebanyak empat korporasi juga telah diproses hukum (Kompas, 27 Oktober 2018). Sebanyak 61 anggota DPR dan DPRD telah menjadi tersangka kasus korupsi sepanjang Januari-Mei 2018. Terakhir, beberapa hari lalu, Wakil Ketua DPR, Taufik Kurniawan dinyatakan sebagai tersangka korupsi.
***

Rahwana alias Dasamuka

Nafsu bersemayam di setiap diri manusia. Di sana ada nafsu amarah, nafsu birahi, ataupun nafsu kekuasaan. Itulah perwujudan dari sifat Rahwana, yang banyak kita saksikan dewasa ini, di negeri ini. Rahwana, seorang raja yang begitu digdaya. Kekuasaan dan kedigdayaannya itu digunakan untuk ambisi pribadinya; untuk memuaskan hawa nafsunya; untuk memuaskan kenikmatan raganya. Rahwana dipercaya mewakili segala macam keburukan–dalam bahasa Sanskerta namanya berarti “yang menyebabkan tangis”.

Di tangan Rahwana, kedigdayaan dan kekuasaan menjadi sesuatu yang membahayakan pihak lain. Karena ia biasa menggunakan segala macam cara, dengan menggunakan kedigdayaannya–kalau perlu dengan senjata, intrik, teror, tipu muslihat, pemutarbalikan fakta, dan kebenaran, yang putih dikatakan hitam dan yang hitam dikatakan putih–guna memenuhi ambisi kekuasaannya.

Pada saat itulah nilai-nilai kemanusiaan dihilangkan, dianggap tidak ada; bela-rasa, belas-kasih, menghormati dan menghargai yang kecil, yang minoritas, yang tidak berdaya, semuanya tidak ada. Yang diutamakan adalah ambisi pribadi, kepentingan pribadi, kepentingan kelompok, dan kepentingan golongannya. Semua demi kekuasaan. Rahwana dengan sepuluh wajah kejahatannya itu telah menyusup ke dalam hati dan pikiran kita dalam wujud tujuh akar dosa: kesombongan, ketamakan, kedengkian, kemurkaan, percabulan, kerakusan, dan kelambanan (Santo Yohanes Kasianus dan Santo Gregorius Agung). Atau dalam tiga penyebab dosa: lobha, kemelekatan tinggi kita terhadap harta benda, kekuasaan, seseorang; dosa, kebencian yang menjadi penyebab paling besar dalam suatu kejahatan; dan moha, kebodohan batin, orang yang tidak bisa membedakan mana yang baik dan yang buruk. (ajaran Budha).

Maka benar kiranya, yang dikatakan oleh Titus Maccius Plautus (2005- 184 SM) seorang penulis drama komedi Romawi, “Modus omnibus in rebus optimum est habitu”, dalam semua keadaan yang paling baik adalah tahu batas. Sebab, radix omnium malorum est cupiditas, akar dari segala kejahatan adalah nafsu keserakahan. Dan, nafsu keserakahan itu ada, serta hidup di sekitar kita, yang kadang dibungkus wujud  ksatria, yang santun, yang saleh, yang pandai, yang ramah, yang bersahaja, yang sederhana, dan penuh perhatian.***

 

*) Judul tulisan di atas “Rahwana-rahwana” pernah digunakan dalam tulisan yang lain dan dimuat di harian Kompas, 2014.