The Dome of the Rock (foto: istimewa)

Belum lama ini, Perdana Menteri Australia Scoot Morrison melemparkan gagasan kemungkinan Australia akan memindahkan kedutaan besarnya dari Tel Aviv ke Jerusalem. Rencana itu mengikuti AS yang sudah melangkah dan memindahkan kedutaan besarnya dari Tel Aviv ke Jerusalem, Mei silam.

Masih hangat dalam ingatan, langkah AS itu mengundang reaksi dari berbagai penjuru dunia, juga dari banyak tokoh dunia. Bukan itu saja. Tindakan AS itu telah memicu demonstrasi di mana-mana, termasuk di Palestina yang menelan 58 korban jiwa dan 1.200 orang lainnya terluka dalam demonstrasi di Gaza.

Kini, Australia ingin melakukan hal yang sama. Bahkan, Morisson menyatakan, selain memindahkan kedutaan besarnya, juga mempertimbangkan untuk mengakui Jerusalem sebagai ibu kota Israel. Meskipun, Morrison mengatakan bahwa Australia tetap komit terhadap solusi dua negara (two-state solution), tetapi perdana menteri Australia itu berpendapat bahwa selama ini tidak ada kemajuan dalam proses perdamaian konflik Israel-Palestina.

Karena itu, Morrison memilih mengikuti Presiden AS Donald J Trump memindahkan kedutaan besarnya, dengan harapan akan memberikan hasil baru bagi proses perdamaian.

Apakah benar demikian bahwa pemindahan kedutaan besar dan pengakuan Jerusalem sebagai ibu kota Israel akan mempercepat proses perdamaian?

Lebih Pragmatis

Memang, peta politik di Timur Tengah sekarang sudah berubah. Yang paling akhir, kita melihat bahwa Arab Saudi semakin dekat dengan AS. Koran Wall Street Journal (Mei 2017) melaporkan bahwa “hasil diskusi yang belum pernah dibagikan di antara negara-negara Teluk” menjelaskan sebuah tawaran, untuk menormalisasi hubungan dengan Israel yang menyatakan komitmennya untuk menyelesaikan konflik dengan Palestina serta membekukan pembangunan daerah-daerah tertentu di Tepi Barat. Diskusi itu dipimpin oleh Arab Saudi dan Uni Emirat Arab.

Hasil diskusi itu hanya contoh yang menunjukan adanya perubahan sikap negara-negara Arab karena berbagai pertimbangan. Negara-negara Arab, semakin pragmatis. Pada 2016, misalnya, Israel menandatangani kontrak gas senilai 10 miliar dollar dengan Yordania. Berdasarkan kesepaktan itu, Israel akan mengirimkan 1,6 triliun kaki kubik gas selama 15 tahun dari salah satu ladang gas di Mediterania. Pada bulan November 2017, sebuah delegasi yang mewakili ladang gas Tamar Israel datang ke Kairo untuk membahas kemungkinan impor gas ke Mesir.

Arab Saudi, misalnya, yang sekarang ini sedang direpotkan masalah dalam negeri, juga sibuk dengan perebutan kekuasaan regionalnya melawan Iran. Mereka juga memusatkan perhatian untuk memerangi perang proksi di Yaman dan mendorong kembali melawan aspirasi nuklir Iran yang tidak stabil dan mencari hegemoni regional. Sementara, Mesir terlibat dalam perang yang keras dan panjang melawan kelompok-kelompok bersenjata yang berafiliasi dengan ISIS di Sinia yang sudah kocar-kacir di Irak dan Suriah di Sinai.

Mesir juga direpotkan oleh tersebarnya kelompok bersenjata berhaluan keras di Libya yang tersebar dekat perbatasannya. Penguasa Yordania, berkonsentrasi penuh untuk menjaga stabilitas demi bertahannya rezim Hashemite. Selain itu, pemerintah Amman juga mencium gelagat bahwa ISIS yang meski melemah menanamkan sel-selnya di Yordania. Beban berat juga harus disangga Yordania, yakni keberadaan lebih dari sejuta—yang berarti lebih dari 15 persen dari jumlah penduduk negara itu–pengungsi Suriah.

Orang-orang Arab juga melihat masalah Palestina sebagai masalah yang kurang menekan. Sebuah survei tahunan terhadap orang-orang muda di dunia Arab, yang dilakukan oleh ASDA’A Burson-Marsteller, mengungkapkan bahwa responden menganggap ancaman utama di kawasan itu adalah ISIS, serta pengangguran yang tinggi, sebagian karena yang terakhir berkontribusi pada pertumbuhan . Ancaman utama lainnya adalah ekstremisme non-Salafi dari Ikhwanul Muslimin, sebuah kelompok yang didirikan di Mesir tetapi terutama disponsori oleh Turki. Sementara itu, konflik Israel-Palestina dinilai ada di peringkat kedelapan, turun dari tempat ketujuh dalam survei tahun lalu (Foreign Policy, 26 Januari 2018).

Abishai dan buku Jerusalem (foto: IAS)

Status Jerusalem

Apakah pragmatisme negara-negara Arab itu akan mempengaruhi masa depan Jerusalem, sehingga AS dan akan disusul Australia sudah melangkah lebih dahulu. Dan, apakah pragmatisme, lebih untuk kepentingan ekonomi itu akan melupakan atau mengabaikan status hukum Jerusalem yang hingga kini belum selesai?
Bila kita lihat ulang dari sisi sejarah, maka akan jelas tentang status Jerusalem, yang merupakan salah satu dari sekurang-kurangnya lima persoalan penghambat perdamaian. Kelima persoalan itu adalah status Jerusalem, perbatasan, pengungsi, keamanan, dan air.

Tentang status Jerusalem bisa kita lihat setidaknya setelah Perang Dunia I berakhir dan Ottoman kalah. Sejak saat itu, Jerusalem dikuasai Inggris atas nama Sekutu. Menurut kesepakatan perdamaian, Palestina diambil dari kekuasaan Ottoman dan diserahkan kepada Pemerintah Inggris di bawah mandat yang diberikan Liga Bangsa-Bangsa. Inilah yang disebut sebagai Mandat Inggris (1922-1948). Jerusalem sebagai ibu kota Palestina.
Setahun sebelum mandat berakhir, pada 29 November 1947, Majelis Umum PBB menerbitkan resolusi pembentukan negara Arab dan Yahudi di Palestina serta internasionalisasi Jerusalem.

Inilah yang disebut Resolusi 181 tentang Rencana Pembagian Palestina (UN Partition Plan for Palestine). Begitu Mandat Inggris dihentikan, kaum Yahudi memproklamasikan negara Yahudi dengan nama Israel, 14 Mei 1948. Namun, tak satu negara Arab pun mengakui proklamasi Israel itu karena mereka menentang Pembagian Palestina (Resolusi 181). Resolusi itu didukung oleh 33 suara, 13 menentang, 10 suara kosong, dan 1 abstain.

Menurut Resolusi 181, Jerusalem dinyatakan sebagai corpus separatum (entitas terpisah). Artinya, tidak menjadi bagian Arab ataupun Israel. Jerusalem, dengan demikian, ada di bawah rezim internasional khusus dan dikelola oleh Dewan Perwalian atas nama PBB. Tentang status Jerusalem sebagai corpus separatum itu ditegaskan kembali oleh Majelis Umum PBB lewat Resolusi 303 (1949).

Yang masuk dalam corpus separatum itu adalah wilayah Jerusalem dan daerah sekeliling Jerusalem yang terdiri dari Bethlehem dan Ain Karem. Sementara itu, tentang internasionalisasi Jerusalem (Resolusi 181), kedua belah pihak tidak memedulikannya. Karena, setelah proklamasi Israel (yang di mata Arab adalah awal penjajahan) langsung terlibat peperangan. Tetapi, Jerusalem secara militer diduduki oleh Jordania. Kekuasaan Jordania ini berakhir setelah Perang 1967 karena Jerusalem Timur (Kota Lama) direbut Israel. Sejak saat itu, Jerusalem secara keseluruhan di bawah kekuasaan Israel.

Setelah menganeksasi kedua wilayah—Jerusalem Timur (Kota Lama) dan Jerusalem Barat (Kota Baru)—Israel mengubah demografi, fisik, karakter sejarah, dan beberapa langkah yang melanggar status hukum Jerusalem, hukum internasional, dan resolusi PBB. Puncaknya, pelanggaran itu dilakukan pada 30 Juli 1980 ketika Israel menyatakan Jerusalem sebagai ibu kota Israel. Tindakan itu dikecam Dewan Keamanan PBB dalam Resolusi 478 (20 Agustus 1980), dikecam oleh Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) dalam pertemuan di Fez, Maroko (20 September 1980), dan juga oleh opini dunia (Henry Cattan: 1980). Keputusan Israel itu telah mengobarkan ketegangan serta mengancam perdamaian dan keamanan.

Pada tahun 2009, Majelis Umum PBB menegaskan kembali tentang status Jerusalem. Lewat Resolusi 623/30, menyatakan, “setiap tindakan yang diambil Israel, pendudukan, untuk memaksakan hukumnya, yurisdiksi dan administrasi di Kota Suci Jerusalem adalah ilegal dan karena itu batal demi hukum dan tidak memiliki validitas apapun, dan menyerukan kepada Israel untuk menghentikan semua tindakan ilegal dan langkah-langkah unilateral semacam itu . ”

Isu Kompleks

Hingga saat ini, status tersebut belum berubah. Artinya, status Jerusalem secara internasional tetaplah corpus separatum, entitas terpisah yang harus diselesaikan terlebih dahulu. Belum ada keputusan internasional yang disepekati kedua belah pihak yang bersengketa dan didukung masyarakat internasional menyangkut status akhir Jerusalem, hingga kini.

Masyarakat internasional, termasuk Indonesia, isu Jerusalem sangatlah kompleks karena pertama menyangkut kepentingan tiga agama Abrahamik: Yudaisme, Kristen, dan Islam. Kedua, kedua pihak yang berkonflik Israel dan Palestina sama-sama menuntut kota itu untuk dijadikan ibu kotanya. Dan, ketiga, adanya hubungan yang tak terpisahkan antara kehidupan penduduknya yang Yahudi dan Arab. Oleh karena ini, semua negara menghormati status itu, termasuk Indonesia. Tentu, kecuali AS, dan akan disusul Australia.

Selama ini, kebijakan luar negeri Australia didasarkan pada tiga prinsip yakni aliansi dengan AS, engagement dengan wilayah Asia, dan komitmen terhadap multilateralisme (Caitlin Byrne: 2018). Rencana pemindahan kedutaannya dari Tel Aviv ke Jerusalem, dilihat masih sejalan dengan fundamental tradisional kebijakan luar negeri dan cocok dengan kepentingan nasionalnya. Sikap Australia itu membingungkan, sebab Morrison menyatakan, tetap mendukung solusi dua negara sebagai penyelesaian konflik.

Sikap bipartisan itu bertentangan dengan sikap dan pandangan masyarakat internasional yang tetap berpandangan bahwa Jerusalem Timur sebagai wilayah pendudukan. Karena itu, banyak negara termasuk Indonesia, bersikap selama tidak ada penyelesaian antara Israel dan Palestina, akan tetap akan menahan diri untuk tidak mengakui Jerusalem Barat sebagai ibu kota Israel. Langkah Australia, mengikuti jejak AS, serta sikap pragmatism negara-negara Arab bisa jadi akan menambah keruwetan penyelesaian konflik Israel – Palestina yang sudah melintasi zaman ini.***

*) Artikel ini sudah dimuat di harian Kompas, 28 November 2018