Seorang sahabat yang pernah lama tinggal di Roma, selama 12 tahun, suatu ketika bercerita: Pada awal tahun 2018, Tahta Suci Vatikan mencetak kartu bergambar seorang anak Jepang korban bom nuklir Nagasaki 1945. Kartu bergambar itu kemudian disebarluaskan.
Kartu itu bergambar seorang bocah Jepang, berkepala plontos, yang menggendong jenazah adiknya di punggung. Kepala jenazah si adik, terkulai ke belakang. Si bocah lelaki itu berdiri membisu, menunggu diliran kremasi bagi jenazah adiknya. Sangat jelas tergambar wajah kesedihan bocah kecil: menggigit bibir bawahnya dengan pandangan mata menanggung kesedihan.
Foto hasil jepretan fotografer marinir AS, Joseph Roger O’Donnell, diambil setelah AS menjatuhkan bom atom atas Nagasaki pada tanggal 9 Agustus 1945. Inilah bom yang mengakhiri PD I (sebelumnya AS sudah menjatuhkan bom atom di Hiroshima). Ada tertulis keterangan foto pendek, “Kesedihan bocah terungkap dari cara ia menggigit bibirnya yang mengalirkan darah.”
Di balik kartu bergambar itu, Paus Fransiskus membubuhkan tulisan singkat, “…il frutto dela Guerra”, yang artinya “…inilah buah-buah peperangan.” Di bawah tulisan itu, ada tanda tangan Paus Fransiskus yang terbaca jelas, “Franciscus.”
Buah-buah peperangan begitu banyak: kematian, kesengsaraan, kelaparan, kehancuran, perpisahan antara anak dan orangtua, trauma berkepanjangan, hancurnya perekonomian, rusahnya sarana pendidikan, kesehatan, sarana-sarana kepentingan umum, dan membanjirnya pengungsi ke berbagai penjuru dunia untuk mencari tempat yang aman dan damai. Dan, permusuhan tidak berhenti karena peperangan karena dendam yang membara.
Berapa banyak orang yang tewas karena perang di Suriah, sebagai contoh. PBB, hingga April lalu memberikan angka 400.000 orang tewas. Sekarang bulan Desember, dan perang masih terus berkecamuk. Sudah barang tentu, jumlah korban tewas pasti bertambah. Sebulan sebelumnya, “The Syrian Observatory for Human Rights,” sebuah lembaga pemonitor perang yang berpusat di Inggris, malah sudah menyebut angka 511,000 orang yang tewas di Suriah, sejak perang pecah tujuh tahun silam.
Menurut UNHCR, lembaga pengungsi PBB, paling kurang 5,6 juta orang mengungsi meninggalkan Suriah. Dan, di Suriah paling kurang 6,2 juta orang tercerai-berai, di banyak kamp pengungsian. Turki, misalnya, menampung sekitar 3,3 juta jiwa; Lebanon sejuta pengungsi; Yordania menampung lebih dari 655.000 pengungsi; bahkan lebih dari 246.000 pengungsi masuk ke Irak negeri yang juga belum stabil. Dan, lebih sejuta pengungsi masuk Eropa.
Buah perang juga “berjatuhan” di Yaman. Menurut laporan Unicef (20 November 2018), setiap 10 menit seorang anak mati di Yaman karena sebab-sebab yang tidak bisa dicegah seperti malnutrisi akut. Negeri itu tidak lagi memiliki air bersih, layanan kesehatan yang memadai, dan sanitasi buruk. Semua itu karena perang. Sebuah lembaga non-partisan, “Armed Conflict Location and Event Data Project” (ACLED), Oktober lalu menyebut korban tewas akibat perang sejak Januari 2016 mencapai 56.000 orang!
Mimpi Perdamaian
Mengapa orang berperang? Padahal semua orang memimpikan suatu dunia yang bebas dari kekerasan. Dunia dengan keadilan dan harapan. Semua orang menginginkan keadilan, harapan, damai, persaudaraan, dan bebas dari kekerasan. Itulah kerinduan hati terdalam setiap pribadi manusia.
Akan tetapi, ternyata, tidak mudah mewujudkan keadilan, harapan, damai, persaudaraan, dan bebas dari kekerasan. Rasanya, selama dunia masih menganggap perdamaian bisa tegak justru dengan peperangan, sebagaimana adigium: “si vis pacem para bellum”, jika engkau menghendaki kedamaian maka siapkanlah perang, sulit tercipta perdamaian.
Adalah Publius Flavius Vegetius Renatus, ahli militer Romawi yang hidup sekitar abad keempat Sebelum Masehi (ada yang nulis abad kelima), lewat karyanya, Rei militaris institute (Lembaga Kemiliteran) yang juga disebut Epitoma rei militaris (Lambang Kemiliteran), yang menyodorkan adagium si vis pacem para bellum. Pandangan ini adalah pandangan dari mereka yang kurang memikirkan peradaban manusia. Karena, perang adalah penghancuran peradaban manusia.
Mereka mengartikan perdamaian secara unilateral, yakni menang dan berkuasanya kita atas dunia. Padahal, perdamaian sejati bersifat multilateral, yakni hidupnya kita bersama dalam hubungan persaudaraan, persatuan, dan saling bermanfaat di tengah perbedaan agama, ras, suku, etnis, kebangsaan, strata sosial, dan lain-lain.
Perdamaian, seperti dikatakan Augustinus (396-430), teolog dan filsuf besar dari Hippo, Aljazair, adalah situasi ketika pada akhirnya kebenaran akan kemanusiaan sejati dihargai. Dengan demikian, perdamaian adalah hadirnya hidup bersama yang harmonis di tengah masyarakat yang dikelola berdasarkan prinsip keadilan sehingga tiap pribadi dapat mewujudkan dambaanya akan kebaikan, baik pribadi maupun bersama.
Akan tetapi, bagaimana mungkin bisa hidup dalam harmoni seperti bermiliar bintang ketika kebanyakan orang hampir tidak dapat berjalan bersama untuk semenit saja, tanpa mengumumkan perang dalam benak mereka, kata Thomas Aquinas (1225-1274), seorang teolog dan filsuf (Basis, 2012).
Benar, perdamaian memang tidak mudah diwujudkan, di tengah orang lebih mementingkan egonya, kelompoknya, dan juga golongannya. Karena itu, kesadaran dan keikhlasan menerima sesama manusia yang berbeda-beda merupakan sarat mutlak untuk membangun “hidup bersama”, untuk membangun “rumah bersama”, untuk menciptakan perdamaian, untuk membangun harmoni kehidupan.
Membangun “rumah bersama?” Apakah itu hanya mimpi? Seperti impian yang diungkapkan oleh Andrea Bocelli (versi Italia) dan Céline Dion (versi Inggris) dalam “The Prayer.”
“Sognamo un mondo senza piu violenza/Un mondo di giustizia e di speranza/Ognuno dia la mano al suo vicino, simbolo di pace e di fraternita (Kita memimpikan suatu dunia yang bebas dari kekerasan. Dunia dengan keadilan dan harapan. Setiap orang hendaknya mengulurkan tangan kepada sesamanya, tanda perdamaian dan persaudaraan).
Sekarang semua memang masih mimpi. Bagaimana tidak. Dunia di sekitar kita dikuasai peperangan: bukan dengan meriam, tank, peluru kendali, bom, dan sebagainya, tetapi oleh ujaran kebencian, oleh caci-maki, oleh fitnah-fitnah, oleh hoax, berita yang tidak berdasarkan kebenaran, dan sebagainya lewat media sosial. Perang semacam ini tidak mematikan raga, melainkan mematikan kemanusiaan.
Wajarlah kalau orang bertanya: Apakah negeri dan bangsa ini akan runtuh karena kehilangan rasa cinta, rasa saling mengasihi, rasa kepedulian, toleransi, semangat saling menghormati, sehingga yang tinggal adalah saling membenci, saling tidak peduli, intoleransi, saling mencaci, dan saling menghinakan.
Padahal, kita semua adalah “anak-anak Abraham,” anak-anak terang seterang Natal yang walaupun sebenarnya adalah kesunyian, tetapi kesunyian yang memancarkan cinta kepada sesama; kesunyian yang memberikan kedamaian, “et in terra pax hominibus bonae voluntatis”, dan damai di bumi kepada orang yang berkenan kepada-Nya. ***

Seorang sahabat yang pernah lama tinggal di Roma, selama 12 tahun, suatu ketika bercerita: Pada awal tahun 2018, Tahta Suci Vatikan mencetak kartu bergambar seorang anak Jepang korban bom nuklir Nagasaki 1945. Kartu bergambar itu kemudian disebarluaskan.
Kartu itu bergambar seorang bocah Jepang, berkepala plontos, yang menggendong jenazah adiknya di punggung. Kepala jenazah si adik, terkulai ke belakang. Si bocah lelaki itu berdiri membisu, menunggu diliran kremasi bagi jenazah adiknya. Sangat jelas tergambar wajah kesedihan bocah kecil: menggigit bibir bawahnya dengan pandangan mata menanggung kesedihan.
Foto hasil jepretan fotografer marinir AS, Joseph Roger O’Donnell, diambil setelah AS menjatuhkan bom atom atas Nagasaki pada tanggal 9 Agustus 1945. Inilah bom yang mengakhiri PD I (sebelumnya AS sudah menjatuhkan bom atom di Hiroshima). Ada tertulis keterangan foto pendek, “Kesedihan bocah terungkap dari cara ia menggigit bibirnya yang mengalirkan darah.”
Di balik kartu bergambar itu, Paus Fransiskus membubuhkan tulisan singkat, “…il frutto dela Guerra”, yang artinya “…inilah buah-buah peperangan.” Di bawah tulisan itu, ada tanda tangan Paus Fransiskus yang terbaca jelas, “Franciscus.”
Buah-buah peperangan begitu banyak: kematian, kesengsaraan, kelaparan, kehancuran, perpisahan antara anak dan orangtua, trauma berkepanjangan, hancurnya perekonomian, rusaknya sarana pendidikan, kesehatan, sarana-sarana kepentingan umum, dan membanjirnya pengungsi ke berbagai penjuru dunia untuk mencari tempat yang aman dan damai. Dan, permusuhan tidak berhenti karena peperangan karena dendam yang membara.
Berapa banyak orang yang tewas karena perang di Suriah, sebagai contoh. PBB, hingga April lalu memberikan angka 400.000 orang tewas. Sekarang bulan Desember, dan perang masih terus berkecamuk. Sudah barang tentu, jumlah korban tewas pasti bertambah. Sebulan sebelumnya, “The Syrian Observatory for Human Rights,” sebuah lembaga pemonitor perang yang berpusat di Inggris, malah sudah menyebut angka 511,000 orang yang tewas di Suriah, sejak perang pecah tujuh tahun silam.
Menurut UNHCR, lembaga pengungsi PBB, paling kurang 5,6 juta orang mengungsi meninggalkan Suriah. Dan, di Suriah paling kurang 6,2 juta orang tercerai-berai, di banyak kamp pengungsian. Turki, misalnya, menampung sekitar 3,3 juta jiwa; Lebanon sejuta pengungsi; Yordania menampung lebih dari 655.000 pengungsi; bahkan lebih dari 246.000 pengungsi masuk ke Irak negeri yang juga belum stabil. Dan, lebih sejuta pengungsi masuk Eropa.
Buah perang juga “berjatuhan” di Yaman. Menurut laporan Unicef (20 November 2018), setiap 10 menit seorang anak mati di Yaman karena sebab-sebab yang tidak bisa dicegah seperti malnutrisi akut. Negeri itu tidak lagi memiliki air bersih, layanan kesehatan yang memadai, dan sanitasi buruk. Semua itu karena perang. Sebuah lembaga non-partisan, “Armed Conflict Location and Event Data Project” (ACLED), Oktober lalu menyebut korban tewas akibat perang sejak Januari 2016 mencapai 56.000 orang!
Sebuah Impian

Mengapa orang berperang? Padahal semua orang memimpikan suatu dunia yang bebas dari kekerasan. Dunia dengan keadilan dan harapan. Semua orang menginginkan keadilan, harapan, damai, persaudaraan, dan bebas dari kekerasan. Itulah kerinduan hati terdalam setiap pribadi manusia.
Akan tetapi, ternyata, tidak mudah mewujudkan keadilan, harapan, damai, persaudaraan, dan bebas dari kekerasan. Rasanya, selama dunia masih menganggap perdamaian bisa tegak justru dengan peperangan, sebagaimana adigium: “si vis pacem para bellum”, jika engkau menghendaki kedamaian maka siapkanlah perang, sulit tercipta perdamaian.
Adalah Publius Flavius Vegetius Renatus, ahli militer Romawi yang hidup sekitar abad keempat Sebelum Masehi (ada yang nulis abad kelima), lewat karyanya, Rei militaris institute (Lembaga Kemiliteran) yang juga disebut Epitoma rei militaris (Lambang Kemiliteran), yang menyodorkan adagium si vis pacem para bellum. Pandangan ini adalah pandangan dari mereka yang kurang memikirkan peradaban manusia. Karena, perang adalah penghancuran peradaban manusia.
Mereka mengartikan perdamaian secara unilateral, yakni menang dan berkuasanya kita atas dunia. Padahal, perdamaian sejati bersifat multilateral, yakni hidupnya kita bersama dalam hubungan persaudaraan, persatuan, dan saling bermanfaat di tengah perbedaan agama, ras, suku, etnis, kebangsaan, strata sosial, dan lain-lain.
Perdamaian, seperti dikatakan Augustinus (396-430), teolog dan filsuf besar dari Hippo, Aljazair, adalah situasi ketika pada akhirnya kebenaran akan kemanusiaan sejati dihargai. Dengan demikian, perdamaian adalah hadirnya hidup bersama yang harmonis di tengah masyarakat yang dikelola berdasarkan prinsip keadilan sehingga tiap pribadi dapat mewujudkan dambaanya akan kebaikan, baik pribadi maupun bersama.
Akan tetapi, bagaimana mungkin bisa hidup dalam harmoni seperti bermiliar bintang ketika kebanyakan orang hampir tidak dapat berjalan bersama untuk semenit saja, tanpa mengumumkan perang dalam benak mereka, kata Thomas Aquinas (1225-1274), seorang teolog dan filsuf (Basis, 2012).
Benar, perdamaian memang tidak mudah diwujudkan, di tengah orang lebih mementingkan egonya, kelompoknya, dan juga golongannya. Karena itu, kesadaran dan keikhlasan menerima sesama manusia yang berbeda-beda merupakan sarat mutlak untuk membangun “hidup bersama”, untuk membangun “rumah bersama”, untuk menciptakan perdamaian, untuk membangun harmoni kehidupan.
Membangun “rumah bersama?” Apakah itu hanya mimpi? Seperti impian yang diungkapkan oleh Andrea Bocelli (versi Italia) dan Céline Dion (versi Inggris) dalam “The Prayer.”
“Sognamo un mondo senza piu violenza/Un mondo di giustizia e di speranza/Ognuno dia la mano al suo vicino, simbolo di pace e di fraternita (Kita memimpikan suatu dunia yang bebas dari kekerasan. Dunia dengan keadilan dan harapan. Setiap orang hendaknya mengulurkan tangan kepada sesamanya, tanda perdamaian dan persaudaraan).
Sekarang semua memang masih mimpi. Bagaimana tidak. Dunia di sekitar kita dikuasai peperangan: bukan dengan meriam, tank, peluru kendali, bom, dan sebagainya, tetapi oleh ujaran kebencian, oleh caci-maki, oleh fitnah-fitnah, oleh hoax, berita yang tidak berdasarkan kebenaran, dan sebagainya lewat media sosial. Perang semacam ini tidak mematikan raga, melainkan mematikan kemanusiaan.
Wajarlah kalau orang bertanya: Apakah negeri dan bangsa ini akan runtuh karena kehilangan rasa cinta, rasa saling mengasihi, rasa kepedulian, toleransi, semangat saling menghormati, sehingga yang tinggal adalah saling membenci, saling tidak peduli, intoleransi, saling mencaci, dan saling menghinakan.
Padahal, kita semua adalah “anak-anak Abraham,” anak-anak terang seterang Natal yang walaupun sebenarnya adalah kesunyian, tetapi kesunyian yang memancarkan cinta kepada sesama; kesunyian yang memberikan kedamaian, “et in terra pax hominibus bonae voluntatis”, dan damai di bumi kepada orang yang berkenan kepada-Nya. ***
- Artikel ini sdh dimuat di Kompas.id tgl 24 Desember 2018
Mas Trias, terima kasih. Renungan yg indah didalam suasana memperingati kelahiran-Nya tahun ini.
Terima kasih telah menyempatkan membaca, Mgr Boen…Selamat Natal
Tulisan singkat namun comprehensive dan mendalam tepat sebagai refleksi tiap insan.
Matur nuwun, Pak…