
Ingat kisah Pinokio, boneka kayu ciptaan Kakek Geppeto?
Demikianlah kisahnya. Sahdan menurut cerita, Kakek Geppeto yang hidup sendiri, merasa sangat kesepian. Lalu ia membuat boneka kayu. Ia berdoa dalam hatinya semoga boneka kaya buatannya, bisa hidup dan menjadi anak kecil.
Dan, alangkah terkejutnya Kakek Geppeto, doanya terkabul. Boneka kayu buatannya, hidup! Bisa berjalan. Bisa berbicara. Dengan kegembiraan yang meluap-luap dalam hatinya, Kakek Geppeto memberi nama boneka kayu yang hidup itu Pinokio.
Harapan dan impian tidak berhenti sampai di sini. Ia ingin sekali Pinokio menjadi anak pintar. Karena itu, Pinokio yang memanggil Kakek Geppeto sebagai ayah, didaftarkan untuk masuk sekolah. Kakek Geppeto menjual pakaiannya dan dengan uang itu, ia membelikan Pinokio sebuah buku. “Belajarlah baik-baik dengan buku ini,” nasihat Kakek Geppeto.
“Terima kasih, Pak. Aku akan pergi ke sekolah dan belajar giat, biar menjadi anak pintar,” kata Pinokio.
Dan, suatu hari Pinokio berangkat ke sekolah. Tetapi, ia tidak berjalan menuju sekolah, setelah mendengar suara tambur bertalu-talu. Ketika Pinokio mendekat, ternyata suara tambur itu berasal dari sebuah tenda sandiwara boneka. Tergoda ingin melihat sandiwara, Pinokio menjual bukunya dan membeli karcis masuk.
Ia melanggar janjinya pada ayahnya, Geppeto. Singkat cerita, akibat perbuatannya itu, setiap kali berbohong, hidung Pinokio bertambah panjang. Karena berkali-kali berbohong, hidung Pinokio terus bertambah panjang, sampai-sampai badannya tak mampu berdiri tegak, akibat saking panjangnya hidung. Sebaliknya, kalau ia berkata jujur, maka panjang hidung Pinokia berkurang. Ia pun gembira karenanya.
Di akhir cerita, menurut Carlo Collodi penulis kisah Pinokio (1818) asal Italia ini, Pinokio mengalami musibah hingga tenggelam di lautan. Meski akhirnya diselamatkan oleh Kakek Geppeto yang merasa sedih kehilangan kabar dari Pinokio. Berhari-hari pergi tanpa jejak, hingga memutuskan mencari Pinokio di manapun ia berada. Karena kegigihan Kakek Geppeto, dan Pinokio yang menyadari tentang makna kejujuran serta betapa tak enaknya ketika berbohong, telah menjadi satu titik balik perjalanan. Pinokio yang semula berwujud boneka kayu, berubah menjadi seorang anak laki-laki yang betulan.
Tetapi, para peneliti di Spanyol dari University of Granada mengungkapkan kisah sebaliknya sebagai akibat dari kebohongan. Menurut menurut mereka, ketika berbohong, hidung bukan memanjang, selainkan menyusut sedikit alias memendek. Apa pun, akibat dari kebohongan itu ada!
Politik Kebohongan

Joseph Goebbels (Istimewa)
Seorang penyair dan pengarang dongeng dari Yunani Claudius Aesopus (620-564 SM), pernah mengatakan, “Seorang pembohong tidak akan dipercaya bahkan ketika ia berbicara tentang kebenaran.”
Di zaman yang lain, Robert Green Ingersoll seorang pengacara dan politikus dari AS (1833-1899) mengatakan hal yang hampir sama dengan rumusan yang lain, “Sebuah kebohongan tidak akan cocok dengan apapun, kecuali dengan kebohongan lainnya.”
Friedrich Nietzsche (1844-1900), ilmuwan dan filsuf asal Jerman yang hidup sezaman dengan Robert Green Ingersoll juga berbicara soal kebohongan. “Saya tidak sedih kalau Anda telah membohongi saya, tapi saya justru sedih karena sejak saat itu saya tidak bisa percaya lagi kepada Anda.”
Tetapi, petinggi Partai Nazi yang juga tangan kanan Adolf Hitler, Paul Joseph Goebbels (1897-1945), tidak peduli dengan omongan Nietzche itu walau sama-sama orang Jerman. Goebbels bahkan mengatakan, “Kebohongan yang diucapkan terus-menerus, niscaya akan dipercaya sebagai sebuah kebenaran”.
Hasilnya? Kebohongan kepada publik sekarang ini meluas. Kebenaran pun, menjadi barang mewah. Menurut J Sudarminta SJ, seorang rohaniwan dan doktor lulusan Fordham University, AS, kalau kebohongan kepada publik diterus-teruskan, akan membuat bangsa ini hidup dalam kepura-puraan. Bangsa ini berkembang menjadi bangsa yang tidak pernah dewasa karena terbiasa bohong. Bahkan, untuk persoalan-persoalan yang seharusnya dikatakan apa adanya.
Kebohongan meluas karena pengaruh pasar yang didominasi nafsu memperoleh keuntungan dengan cepat. Segala cara dihalalkan, termasuk lewat kebohongan. Kini bahkan, kebohongan politik yang berbaur dengan politik kebohongan tampak kian mewarnai lanskap politik Indonesia menjelang pemilihan presiden 17 April 2019.
Menurut guru besar UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, Azyumardi Azra (Kompas, Sabtu, 12 Mei 2007), political lies dan lies politics itu justru melanda banyak kalangan elite politik yang mengimbas ke lingkungan pemilih akar rumput. Kasus kebohongan publik yang menjadi kebohongan politik terlihat jelas dalam kasus Ratna Sarumpaet (RS) yang menghebohkan masyarakat. Yang baru adalah kasus penyebaran berita tujuh kontener yang berisi surat suara yang sudah dicoblos.
Kebohongan politik ini segera menjadi sarat dan tumpang tindih dengan politik kebohongan. Yang dimaksud dengan politik kebohongan, mudahnya, adalah politik tanpa bukti, tanpa verifikasi kebenaran atau ketidakbenaran informasi, fakta, dan data terkait. Tanpa proses ini, politik menjadi sarat kebohongan dan manipulatif—mengarah untuk menyerang lawan politik.
Berangkat dari kondisi seperti itu, maka sebenarnya, berpolitik secara santun adalah sebuah keniscayaan. Apalagi saat ini. Berpolitik secara santun mudah diucapkan sulit diwujudkan. Oleh karena, berpolitik secara santun mendasarkan diri pada keutamaan moral, beretika dalam tindak dan tanduk, kebijakan dalam bertutur kata, menanamkan obyektivitas, rendah hati, dan open mind.
Semua itu dimaksudkan untuk menuju terciptanya, meminjam istilah yang dikemukaman filsof Yunani, Plato, perfect sosiety, masyarakat yang sempurna. Itu artinya orientasi utama politik adalah pada kemaslahatan rakyat dan kemajuan negara.
Tidak akan yang ada membantah bahwa berpolitik secara santun adalah sebuah keniscayaan. Mengapa berpolitik secara santun menjadi kiniscayaan. Sebab, sejatinya berpolitik adalah panggilan untuk melayani sesama. Melayani sesama dalam berbagai aspek kehidupan adalah suatu hal yang tidak mudah dilakukan. Hanya mereka, politisi, yang memiliki integritas diri, komitmen yang kuat, dan moralitas yang baik yang mampu untuk melaksanakan panggilan politik itu.
Kebohongan, pemutar-balikan fakta, berita-berita hoaks dan semacamnya menimbulkan dampak buruk di masyarakat. Misalnya, memunculkan sifat saling membenci, tidak percaya, dan kesombongan. Bahkan, mengutip Paus Fransiskus, berita hoaks itu “membunuh” karena lidah bisa membunuh seperti pisau. Hoaks adalah terorisme karena dengan lidah, mereka menjatuhkan bom lalu pergi tanpa bertanggung jawab.
Bahkan, bom yang pelaku penyebar hoaks jatuhkan bisa menghancurkan reputasi seseorang di mana-mana. “Berita palsu mengindikasikan sikap intoleran dan hipersensitif, dan hanya menyebarkan kebencian dan arogansi. Itu adalah akibat dari sebuah kebohongan.”
Dalam konteks seperti itulah, maka politik yang bermartabat sangatlah penting. Tentang politik yang bermartabat ini, Niccolo Machiavelli, tokoh yang buah-buah pikirannya sering disalah-tafsirkan pernah mengatakan, ”Membunuh sesama warga, mengkhianati kawan, curang, keji, tak peduli agama, tidak dapat disebut kegagahan. Cara-cara macam ini dapat memenangkan kekuasaan, tetapi bukan kemuliaan.”
Karena itu, politik santun, politik bermartabat adalah sebuah pilihan bagi para politik bermartabat, beretika, beritegritas, dan bermoralitas tinggi. Kecuali, mereka memilih “Politik Pinokio”, dengan konsekuensi hidungnya bertambah panjang atau bertambah pendek. ***
*) Tulisan ini sudah dimuat di Kompas.id pada tanggal 16/2/2019
Sungguh sangat relevant dengan kondisi politik saat ini. Semoga banyak orang terinspirasi melakukan politik yang santun.
Terima kasih, Mas Titing…semoga demikian..meski kadang2 seperti berteriak di padang gurun….
Proficiat Pak Trias. Sy suka dg statemen ini: “Tidak akan yang ada membantah bahwa berpolitik secara santun adalah sebuah keniscayaan. Mengapa berpolitik secara santun menjadi kiniscayaan. Sebab, sejatinya berpolitik adalah panggilan untuk melayani sesama. Melayani sesama dalam berbagai aspek kehidupan adalah suatu hal yang tidak mudah dilakukan. Hanya mereka, politisi, yang memiliki integritas diri, komitmen yang kuat, dan moralitas yang baik yang mampu untuk melaksanakan panggilan politik itu”.
Terima kasih, Romo
Semoga demikian…meskipun tidak mudah tetapi kalau ada kemauan, ada niat…pasti bisa.
Sel jujur itu ada ndak ya dalam tubuh manusia? Di otak apa di hati?
Kalau ada, jangan2 sel jujur cacat gara2 air kemasan dan makanan jajan ha….ha….
Hahaha..cacat karena air kemasan, Romo…padahal, kan pada mulanya baik adanya…
Mas ias, matur nuwun rakyat sampun dipun emutaken lumantar seratan artikel punika. Menjaga nalar dan akal sehat, memang tidak mudah dan ternyata jadi barang asing dalam dunia pendidikan. Maju terus. Salam.
Mas Agus, matur nuwun….semoga demikian..ini bagian dari partisipasi pendidikan politik, walaupun sangat kecil..nuwun. salam.
Menyenangkan membaca dgn alur alur cerita menarik dengan korelasi realita sekarang…menggelitik..joss Mas Ias,…maaf baru sempat baca…maturnuwun
Kebenaran sejati pasti akan ditunjukan Tuhan, dan sebaliknya kebohongan pasti akan di tenggelamkan pada waktunya…