Antara gelap dan terang (Istimewa)

Paulo Coelho dalam Ser Como O Rio Que Flui (Seperti Sungai yang Mengalir:2006) mengulang cerita yang dituturkan oleh Peraih Hadiah Nobel Perdamaian (1994) Shimon Peres pada acara World Economic Forom di Davos, Swiss. Ia memulai ceritanya demikian.

Suatu hari, Guru bertanya kepada para murid-muridnya.

“Bagaimana kita bisa mengetahui, kapan secara persisnya malam telah berlalu dan siang hari dimulai”

Seorang murid menjawab, “Kalau sudah cukup terang untuk membedakan antara domba dan anjing.”

Tetapi, jawaban itu dibantah oleh murid yang lain. “Tidak begitu. Tetapi, kalau sudah cukup jelas untuk membedakan antara pohon zaitun dan pohon kurma.”

“Ah, jawaban itu juga tidak tepat,” kata murid lain lagi.

Mendengar perbantahan itu, murid yang sedari awal diam saja, tiba-tiba berkata sambil memandang Sang Guru, “Kalau demikian, lantas apa jawaban yang benar?”

Mendengar pertanyaan itu, Guru tidak segera menjawab. Ia diam. Menutup matanya. Menarik nafas panjang. Baru sesaat kemudian, setelah membuka matanya dan memandang dengan penuh kasih kepada para muridnya, Guru menjawab, “Kalau seorang asing mendatangimu dan kau menganggap orang asing itu sebagai saudaramu, dan semua perselisihan, perbedaan pendapat, perseteruan, percekcokan, dan konflik tiada,  lenyap, pada saat itulah, malam yang gelap gulita berakhir dan muncullah terang hari.”

Gereja yang menjadi sasaran pengeboman bunuh diri di Sri Lanka (Istimewa)

Akan tetapi, mengapa manusia cenderung memilih malam yang gelap gulita ketimbang siang yang benderang? Meskipun, bulan tetap terang ketika tidak menghindari malam. Mengapa memilih kekerasan dan bukannya kelemah-lembutan. Apa yang terjadi di Sri Lanka—serangan bom yang menewaskan paling kurang 290 orang dan melukai sekurang-kurangnya 500 orang– pekan lalu salah satu contohnya, orang memilih jajaran kekerasan ketimbang jalan kelemah-lembutan, kebencian dan bukannya cinta kasih.

Inilah horor yang paling menakutkan di negeri yang pernah disandera perang saudara demikian lama. Kalau serangan bom itu dilakukan atas nama agama, sungguh sudah hancur dunia ini: kasihanilah agama. Bukankah tidak ada satupun agama di dunia ini yang menganjurkan untuk saling membunuh, bahkan untuk membenci orang lain sekalipun? Bukankah semua agama mengajarkan perdamaian dan hidup baik, saling hormat-menghormati, kasih-mengasihi.

Apapun alasannya, serangan bom di Sri Lanka adalah potret kekejian manusia terhadap manusia lain. Inilah kekejian yang membinasakan. Kekejian itu muncul di tempat kata-kata kehilangan dayanya. Sebab, kata-kata tak mampu lagi untuk melukiskan betapa dahsyatnya kekejian itu. Kata-kata tak mampu lagi melukiskan penderitaan yang disandang oleh para korban dan keluarga korban. Bahkan, kata-kata tak memiliki tenaga lagi untuk mengambarkan seperti apa kekejian, kebengisan para pelaku serangan bom itu.

Dalam bahasa Paus Santo Yohanes Paulus II (1920-2005), mereka itu—para pengebom—dirasuki kultur kematian (culture of death). Ini adalah kultur barbaritas yang menyembah atau memuliakan kematian, mendewakan kematian. Namun, bukan kematian yang membangkitkan. Kultur kematian adalah daya negatif yang merusak dunia.

Bagi para pengebom, kematian telah kehilangan ciri khasnya yakni menakutkan. Kematian, bagi mereka telah menjadi sebuah tujuan; bahkan diyakni sebagai tujuan suci. Kematian bagi mereka telah menjadi mempesona, kalau kematiannya juga menyebabkan orang lain mati. Kematian itu menjadi tujuan suci, kalau bisa memaikan orang lain.

Jalaluddin Rumi (Istimewa)

Mengapa manusia memilih jalan itu? Jalan kegelapan? Karena tidak ada cinta. Demikian jawaban teolog dari Persia Jalaluddin Rumi (1207-1273). Menurut Rumi, cinta membawa perubahan-perubahan bagi siang dan malam. Dan, cinta-lah yang mengubah kekasaran menjadi kelembutan, mengubah orang tak berpendirian menjadi teguh berpendirian, mengubah pengecut menjadi pemberani, mengubah penderitaan menjadi kebahagiaan.  Cinta pula, menurut Lord George Byron (1788-1824) penyair dari Inggris, yang membuatnya bisa memandang langit dengan jelas di malam hari.

Bahkan, dunia politik pun kalau kehilangan cinta akan menjelma menjadi mahkluk yang sangat ganas dan kejam. Politikus sekaligus filsuf, konsul Romawi Marcus Tullius Cicero (106-43 SM) pernah mengatakan, politik adalah mahkluk hidup. Bahkan dapat dikatakan mahkluk paling hidup yang ada, dengan beribu-ribu otak, kaki, tangan, mata, pikiran, dan keinginan.

Dengan semua itu, ia akan menggeliat, berputar, dan berlarih ke arah yang gak pernah dikira orang. Terkadang semata-mata demi memuaskan diri sendiri, untuk membuktikan bahwa orang-orang  yang sok tahu tenang dirinya itu keliru. “Politik mengalahkan rintangan apa pun yang pernah kuhadapi,” kata Cicero  suatu ketika.  Pernyataan itu hanya mempertegas bahwa betapa dahsyatnya politik, yang tidak jarang menghalalkan segala cara demi tercapainya tujuan.

Padahal, sekarang ini, dunia politik—bentuk usaha yang paling baik untuk mencapai suatu tatanan sosial yang baik dan berkeadilan—membutuhkan sifat manusia, yang tahu malu, tahu diri, welas asih, kalau salah mengaku salah, kalau kalah mengaku kalah, tetapi kalau menang tidak lantas jumawa, membusungkan dada, dan menjujung nilai-nilai kejujuran.

Simbol kekuasaan (Istimewa)

Namun, semua itu tidak akan ditemukan dalam dunia politik di sekitar kita sekarang ini. Sebab, yang kita saksikan sekarang ini benar-benar politik dalam arti yang sebenar-benarnya, arti telanjang, politik riil, yakni pertarungan kekuatan untuk memperebutkan kekuasaan, yang berkecenderungan untuk menghalalkan segala cara. Politik, akibatnya, telah pula kehilangan martabatnya.

“Mungkin terlihat suram malam ini,” begitu kata Barack Obama suatu ketika, “namun, jika kita terus berpegang pada harapan, hari esok akan menjadi lebih cerah.” Itu sikap orang yang optimistis. Sikap optimistis itu memang perlu dibangun. Sebab, membiarkan siang dan malam berjalan, sebagaimana mestinya adalah sebuah mukjizat luar biasa yang hanya bisa dinikmati oleh mereka yang masih punya hati. ***