
Alkisah, menurut sang empunya cerita, Dewa Perang, Mars, dan putri Rhea Silvia terlibat hubungan asmara. Dari hubungan itu lahirlah putra kembar laki-laki yang diberi nama Romulus dan Remus. Kakek Romulus dan Remus adalah raja di Alba Longa, bernama Numitor.
Pada suatu hari, Numitor digulingkan oleh oleh saudaranya sendiri, Amulius. Numitor tidak hanya digulingkan, tetapi juga diusir dari Alba Longa. Amulius khawatir bahwa di kemudian hari Romulus dan Remus akan menuntut balas. Maka untuk mencegah hal itu terjadi, dua bayi itu dibuang ke Sungai Tiber dengan harapan akan mati tenggelam.
Akan tetapi, kuasa kehidupan berkehendak lain. Romulus dan Remus ditemukan oleh seekor serigala, yang alih-alih memakannya tetapi justru merawatnya. Menyusuinya. Pada suatu hari seorang gembala, Faustulus, menemukan kedua bocah lelaki itu dan kemudian merawatnya.
Setelah dewasa, Romulus dan Remus bersepakat mendirikan sebuah kota di tempat mereka ditemukan oleh gembala itu. Setelah kota berdiri dan makin ramai, makmur, kedua saudara itu bertengkar. Mereka berebut siapa yang akan berkuasa atas kota itu. Kedua saudara kembar itu tidak hanya bertengkar tetapi bahkan berkelahi.
Demi kekuasaan, Romulus gelap mata. Dengan tega ia membunuh saudara kembarnya, Remus. Matilah Remus. Dan, Romulus menjadi penguasa di kota yang diberi nama Roma.
Apakah karena pernah disusui oleh seekor serigala, Romulus tega membunuh saudaranya sendiri? Barangkali dari sinilah Titus Maccius Plautus (254 SM – 184 SM), seorang komedian zaman Romawi, mendapatkan ide tentang ungkapan yang sangat terkenal hingga kini: Lupus est homo homini; non homo, quom qualis sit non novit yang kurang lebih berarti manusia serigala bagi sesamanya; ia bukan manusia apabila tidak paham hakihatkanya. Tentu hakikat sebagai manusia.
Ungkapan ini kemudian, lebih dari 1.500 tahun kemudian, dipopulerkan oleh filsuf Thomas Hobbes, menjadi homo homini lupus est, manusia serigala bagi sesamanya. Dengan ungkapan itu, Thomas Hobbes mempertegas bahwa manusia serigala bagi sesamanya.

Mengapa manusia melakukan kekerasan kepada sesamanya? Pentingkah pertanyaan itu? Kiranya penting. Sebab, kalau masyarakat tidak lagi mempersoalkan kekerasan, maka masyarakat itu sudah kehilangan keberadabannya (Budi Hardiman; 2011). Akan tetapi, anehnya, di negeri ini kekerasan—terutama kekerasan politik dalam beragam bentuk—oleh sementara pihak dianggap sebagai hal yang memang sudah demikian, bahkan diklaim atas nama kebebasan, atas nama demokrasi.
Para pelaku kekerasan itu—baik fisik maupun non fisik, termasuk politik—beranggapan bahwa apa yang mereka lakukan bisa dibenarkan. Mereka ini bisa digolongkan sebagai penganut eternity politics, seperti yang diajarkan oleh Ivan Ilyin (1883-1954), filsuf Rusia yang diyakini sangat mempengaruhi segala kebijakan dan tindakan Vladimir Putin, yakni dengan membuat pengecualian bagi diri mereka sendiri. Bila orang lain melakukan tindakan kekerasan itu adalah sebuah tindakan kejahatan, tetapi “bagiku dan kelompokku, tidak masalah, karena aku adalah diriku sendiri dan kelompokku adalah milikku” (Timothy Snyder: 2018) Itu credo mereka.
Inilah bentuk lain dari homo homini lupus est, seperti yang dipopulerkan Thomas Hobbes. Atau credo lain yang diyakini, meski ini salah kaprah, diperkenalkan oleh Niccolo Machiavelli, “menghalalkan segala cara” asal tujuan tercapai. Maka tindakan menghalalkan segala cara sering disebut sebagai Machevellian seperti yang dilakukan oleh Hitler, Stalin, Lenin, dan juga Mussolini di masa lalu, yang sekarang menjelma dalam sosok-sosok baru.
Di masa sebelumnya, hal seperti itu oleh Marcus Tullius Cicero (106-43 SM) seorang filsuf, politisi, ahli hukum, orator, dan juga ilmuwan politik Romawi dikatakan sebagai “politik mengalahkan rintangan apa pun yang pernah kuhadapi.” Pernyataan itu ingin menegaskan betapa dahsyatnya politik—dalam arti kekuasaan–yang tidak jarang menghalkan segala cara demi tercapainya tujuan.
Maka itu, manjadi sangat wajar kalau kemudian dalam dunia politik seperti sekarang ini, sangat sulit membedakan mana domba dan mana serigala. Bahkan, sulit pula membedakan mana kucing, mana serigala. Karena banyak serigala berbulu domba, dan banyak pula serigala berbulu dan berlaku seperti kucing. Orang melihat segerombolan serigala seperti melihat sekawanan domba. Lebih tragisnya lagi, sulit membedakan mana ayam, mana serigala.
Serigala yang menyusui Romulus dan Remus, beda dengan serigala zaman kini, yang tampil dalam berbagai wajah dan kostum. Di masa itu, serigala tidak memakan dua bayi kecil yang ditemukan di Sungai Tiber, melainkan bahkan menyusuinya, merawatnya. Kini, serigala memakan segala-galanya, dengan penuh ketamakannya dan benar-benar memperlihatkan naluri keserigalaannya.

Mengapa demikian? Karena ada dorongan kegelapan di dalam diri manusia. Begitu kata Krishna ketika ditanya Arjuna.
Suatu ketika, Arjuna bertanya kepada Sang Murshid, Krishna, “Kenapa aku masih saja berbuat yang tidak baik, tidak tepat? Seolah ada dorongan kuat untuk berbuat yang tidak baik, tidak tepat. Kenapa?’ Krishna menjawab, “Dorongan itu bukanlah karena Dewa Setan Mara, atau Iblis, atau Jin. Dorongan itu disebabkan oleh keinginanmu sendiri. Keinginan untuk apa? Untuk meraih keuntungan. Kemudian, kita menghalalkan segala macam cara untuk meraihnya. Keinginan untuk menjadi kaya, untuk hidup mewah–dan, kita pun membenarkan segala macam usaha walau ilegal.” (Anand Krishna; 2007).
Apakah dengan demikian, benarkah bahwa “kebrutalan (nafsu serigala) tidak bisa dilawan?” sehingga gerombolan serigala berkeliaran di mana-mana? Gerombolan serigala memang harus dilawan dengan segala cara. Karena mereka adalah perusak. Dalam mitologi Jawa yang dipungut dari epos Ramayana dan Mahabharata, kehidupan dilihat sebagai pertempuran antara kekacauan dan ketertiban. Dan, gerombolan serigala itu perusak ketertiban, keteraturan, perdamaian, dan harmoni dalam masyarakat.***
Enlightening!
Puji Tuhan….nuwun