
Via dei Condotti adalah salah satu jalan yang sangat eksklusif di Roma. Di sepanjang jalan itu berjajar toko-toko milik para designer kondang. Dan lewat jalan itu orang dapat pergi ke Spanish Steps, yakni tangga lebar yang sudah ada sejak 1723.
Tangga berkelok dengan jumlah total 174 anak tangga ini dirancang oleh Francesco De Sanctis. Spanish Steps, menghubungkan Piazza di Spagna di bagian bawah dengan Piazza Trinita dei Monti di atas. Di bagian atas itu yang paling menonjol adalah Trinita dei Monti Church. Tangga di bagian timur akan berakhir di kawasan kota tua Roma.
Di Via dei Condotti 86 itulah Kaffe 1760 Greco, berada. Caffe Greco, begitu dikenal meski di dinding depan bagian luar bangunan kafe ditulis “Antico Caffe Greco,” Inilah kafe tertua di Roma. Kafe ini sudah berumur 259 tahun. Angka 1760 yang antara lain dituliskan pada jendela kaca depan kafe, menunjukkan tahun kafe didirikan.
Meski sudah berumur 259 tahun, tetapi Kafe Greco bukan kafe tertua di Italia. Kafe tertua di Italia ada di Venetia, bekas kota dagang yang sangat kondang di masa lalu. Di kota ini, menurut cerita lahir pedagang sekaligus petualang kondang Marco Polo (1254-1324). Marco Polo pernah melakukan perjalanan dari Eropa ke Asia (1271-1295), dan tinggal di China selama 17 tahun. Kisah perjalanannya itu dibukukan dan diberi judul Travels of Marco Polo.
Sore itu, kami berlima—Duta Besar RI untuk Tahta Suci Agus Sriyono dan istri, Astuti Sriyono, saya dan istri, Atie Nitiasmoro, serta anak, Abishai Sahadeva—ke Kafe Greco. Ini kali yang kedua saya mengunjungi kafe kondang itu. Yang pertama dua tahun lalu bersama Duta Besar RI untuk Italia merangkap Siprus, Malta, San Marino, FAO, IFAD, WFP, dan UNIDROIT August Parengkuan.
Meskipun kami berlima, tetapi hanya saya sendiri yang minum kopi. Kendatipun saya bukan peminum kopi dalam kategori fanatik, seperti orang-orang yang fanatik dalam banyak hal dan tidak mempedulikan, menutup mata pada orang lain. Saya hanya termasuk peminum kopi dalam kategori pergaulan sosial saja.
Pak Dubes Agus, minum teh, karena dia memang tidak bisa minum kopi. Anak saya, minum es coklat, demikian pula Bu Astuti dan istri saya. Inilah demokrasi, di warung kopi yang sangat terkenal, yang sarat sejarah, tidak minum kopi, tetapi minum coklat dan teh.
Kafe memang telah sejak awal mula menjadi simbol dari demokrasi. Di kafe orang tidak hanya minum kopi tetapi juga bisa berdiskusi, membicarakan berbagai hal, ngobrol, mendengarkan musik, melihat pertunjukan seni, bahkan main catur, dan mencari informasi tentang berbagai perkembangan situasi. Itulah sebabnya, kafe pun menjadi tempat yang demikian penting untuk bertukar informasi. Karena itu, dulu kafe disebut sebagai “Sekolah Kebijaksanaan.”
Sejarah kopi dan kafe mengisahkan, minuman kopi (tanaman kopi ditemukan di Ethiopia, lalu sekitar abad ke-15 menyebar ke Semenanjung Arab, dan abad ke-16 dikenal di Persia, Mesir, Suriah, dan Turki) yang semula dinikmati di rumah-rumah saja, kemudian keluar rumah dan dinikmati warung-warung coffee (kopi, kaffee, qahwa, kahve, atau kofe), qahveh khaneh.
Makin lama, qahveh khaneh, kafe makin dikenal, terkenal, dan populer serta menjadi tempat berbagai kegiatan sosial. Dan, pada awal abad ke-16, telah menjadi meeting point, titik pertemuan banyak orang dari pelbagai lapisan masyarakat.
Pada awal abad ke-17, masuk ke Eropa melalui pedagang Venesia. Ketika itu, kalangan Gereja Katolik menentang minuman yang dikenal sebagai “anggur Arab” tersebut. Ketika Paus Clement (1536-1605) diminta untuk menyatakan “minuman hitam pekat” itu sebagai penemuan setan, Paus menjawab, “Biarkan aku mencicipinya terlebih dahulu.”
Setelah mencicipinya, Paus mengatakan, “Minuman iblis ini begitu lezat…” Sejak itu, kopi menyebar ke seluruh Eropa. Warung kopi, kafe, pertama dibuka di Venesia pada 1645. Di London kafe dibuka pada 1652 oleh Pasqua Rosee pembantu seorang pedagang dan imigran dari Smyrna Ottoman yang dikenal dnegan nama “TheTurks Head.” Dan, di Paris pada 1672 oleh Pascal yang berasal dari Armenia, meskipun kopi sudah dikenal di pelabuhan Marseille pada 1644.
Banyak literatur tentang para filsuf dan pemikir filsafat politik di Eropa yang menghasilkan gagasan-gagasan besarnya saat duduk ngopi di kafe. Jauh sebelumnya hal seperti itu terjadi di Timur Tengah. Tidak hanya di Eropa, dalam novelnya Karnak Café (1974), Naguib Mahfouz (1911-2006), sastrawan Mesir ini mengisahkan bagaimana anak-anak muda—antara lain tiga sekawan Hilmi, Ismail dan pacarnya Zaynab yan ditangkap polisi–ngobrol di kafe di Kairo dan menghasilkan gerakan revolusi yang teramat berbahaya bagi rezim.
Lebih dari 100 tahun kemudian, kafe memainkan peranan penting dalam Revolusi Perancis (1789). Jean-Jacques Rousseau (1712-1778) filsuf yang karya-karyanya mempengaruhi para pemimpin Revolusi Perancis dan generasi Romantik, Denis Diderot (1713-1784), dan François-Marie Arouet atau Voltaire (1694-1778) adalah sedikit dari banyak tokoh besar yang sering nongkrong di kafe, dan menghasilkan pikiran-pikiran besar di tempat itu.
Ini menjadikan kafe sebagai hotspot politik dan budaya. Ide-ide besar seperti liberté (kebebasan), ėgalité (keadilan), dan fraternité (persaudaraan), juga keinginan adanya pemerintahan konstitusional, serta kemarahan terhadap penyelewengan Gereja dan Negara, banyak dibicarakan di kafe.
Di kafe lah kerap terjadi perdebatan antara Jean-Paul Marat (1743-1793, seorang wartawan, politisi, dan ahli fisika), Maximilien Robespierre (1758-1794, pemimpin kaum Jacobin radikal, salah satu tokoh utama Revolusi Perancis), dan Napoléon Bonaparte (1769-1821) muda (Bonjourparis.com, 26 April 2016).
Bahkan, selama revolusi, Napoléon Bonaparte menjadi pelindung kafe. Ia bergabung dengan elite dan anggota masyarakat di kafe. Dan, kafe benar-benar menjadi tempat di mana orang membicarakan masalah-masalah besar yang tengah terjadi pada masa itu. Karena itu, Thomas Jefferson (1743-1826) perancang Deklarasi Kemerdekaan AS, yang bersama Benjamin Franklin (1706-1790) kalau ke Paris juga nongkrong di kafe kopi mengatakan, “Kopi adalah minuman favorit dunia beradab.”
Sejarawan Brian William Cowan (2005) mengatakan kafe sebagai “tempat orang berkumpul untuk minum kopi, mendengarkan berita, dan barangkali bertemu dengan warga lain untuk mendiskusikan hal-hal yang menarik banyak orang pada hari-hari itu.” Topik yang dibicarakan pun beragam.
Karena biasanya kafe tidak menyediakan minuman beralkohol—hanya teh, kopi, dan kadang soft drinks—maka terciptalah atmosfer yang memungkinkan orang bisa berbicara, berdiskusi secara serius ketimbang di pub atau bar, misalnya, yang menyediakan minuman beralkohol. Di kafe itulah muncul pikiran-pikiran, gagasan-gagasan cemerlang, karena pikiran orang masih waras.
Kini kalau kita masuk kafe kopi, kita akan menemukan banyak orang melakukan berbagai kegiatan: memeriksa berita, menulis esai, membaca cerita dan mengobrol dengan teman-teman. Sepanjang sejarah, ini adalah cara orang menghabiskan waktu mereka di kedai kopi.
Kita dapat memperoleh berita dari internet, bukan dari tetangga dan menulis di laptop, bukan lagi di atas kertas, mengirim WA ke teman alih-alih berbicara dengan seseorang di sebelah kita dan mengikuti kenalan lama di Facebook, berkabar melalui WA ke orang rumah.
Orang-orang kini, menggunakan kafe untuk mendapatkan berita, bertukar ide, membahas politik, mendengarkan cerita atau sekadar bercengkerama. Bahkan hanya sekadar nongkrong berjam-jam sambil menghabiskan waktu.
Hampir dua jam kami berlima nongkrong di Caffe Greco. Pak Dubes dan saya ngomong berbagai hal mulai dari pidato Cicero di depan Senat, Julius Caesar yang dikhianati Brutus, Niccolo Machiavelli, radikalisme, toleransi dan intoleransi, pemilu, sampai hal-hal kecil kenangan masa kuliah. Bu Astuti dan istri, entah ngobrolin apa. Sementara anak saya asyik sendiri.
Kami seperti mengikuti pemilu; pemilu adalah perayaan perbedaan. Dan, kami merayakan perbedaan, dalam hal minum, dengan penuh suka cita. Memulai dengan suka cita, dan mengakhiri pun dengan penuh suka cita. Sebenarnyalah, itulah demokrasi, suka cita dalam perbedaan yang menyatukan. ***
Terima kasih Mas Ias. Referensinya lengkap sekali. Sangat mencerahkan. Terima kasih Mas….
Sae sanget Mas Trias.
Enak dibaca sambil nyruput kopi anget.
Kapan yuk ngopi2.
Salam hangat.
Wow…apa kabar, Bung Kemal…saya cuma mengikuti dari jauh “sepak terjang” sampeyan. Hebat.
Matur nuwun.
Ayo, nyruput kopi bareng.
Bagus sekali Mas Trias. Sejarah dan kepustakaan yang kaya dilipat indah dalam tulisan ini.
Terima kasih sekali…semoga ada manfaatnya…
Terima kasih banyak, Mas Thy…semoga ada gunanya.
Salam.