
Tiba-tiba Pak Er We menghentikan pidatonya. Diam. Tampak ia berusaha sekuat tenaga untuk tidak membiarkan air matanya berjatuhan. Lirih tapi pasti dari pengeras suara terdengar suara isaknya. Semua peserta upacara terdiam. Tidak tahu apa yang terjadi. Semua pandangan mata tertuju pada Pak Er We yang masih diam, berdiri di depan mike. Mengapa Pak Er We, menangis?
Pak Er We, memang menangis, di tengah upacara 17 Agustusan. Ia memang menangis di saat berpidato. Padahal, ia tampil begitu gagah dengan pakaian adat Sumatera Barat. Semua peserta upacara, pagi itu, mengenakan pakaian adat daerah dari Sabang sampai Merauke.
“Maaf…” kata Pak Er We kemudian. “Saya, semakin tua semakin mudah terharu, kalau mengingat perjalanan warga er we kita ini.”
Kami semua peserta upacara tidak tahu apa yang membuat Pak Er We terharu. Apa karena ada rumah warga yang kemalingan? Apa karena sampah yang di beberapa bak sampah tidak rajin diambil oleh para petugas sampah? Apa karena jalan di depan kompleks yang makin hari makin macet? Apa karena ada warga yang kurang toleran terhadap warga lain yang beda agama? Kami tidak tahu.
Pak Er We, terharu mungkin juga sedih mungkin seperti sedihnya R. Ng Ranggawarsita (1802-1873) pujangga dan sastrawan besar Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat pada masa itu. Kesedihan R.Ng Ranggawarsita diungkapkan lewat tembang Gambuh dalam Serat Sabda Tama:
Ilang budayanipun, Tanpa bayu weyane ngalumpuk, Sakciptane wardaya ambebayani, Ubayane nora payu, Kari ketaman pakewoh, Lenyap kebudayaannya.
(Hilanglah kemuliaan akhlaknya, tiada lagi kebaikan, selalu buruk sangka, Apa yang dipikir serba membahayakan, Sumpah dan janjinya tiada yang percaya, Akhirnya menanggung malu sendiri, Lenyaplah keluhuran budinya).
Di zaman R.Ng Ranggawarsita, di Kadipaten Mangkunegaran yang bertahta adalah Kangjeng Gusti Pangeran Aryo Adipati Mangkunegara IV (1809-1881). Mangkunegara IV juga dikenal sebagai seorang pujangga besar. Karyanya antara lain adalah Serat Wedhatana dan Serat Tripama.
Karya-karya R.Ng Ranggawarsita, banyak yang diakui sebagai ‘warisan ajaran kehidupan yang sangat berharga’. Salah satunya, selain Sabda Tama adalah Serat Kalatida (Masa Suram). Serat ini, ditulis pada masa bertahtanya Pakubuwono IX (1861-1894).
Ketika itu, kemerosotan, dekadensi moral dan nafsu keserakahan begitu meraja-lela, mewabah di kalangan elite yang berkuasa. Karena itu, lewat salah satunya pupuh (bait) ketujuh dari tembang Sinom Serat Kalatida (Masa Suram), R.Ng Ranggawarsita, menulis:
Menangi jaman edan/ ewuh aya ing pambudi/melu edan nora tahan/Yen tan melu anglakoni/boya keduman melik/kaliren wekasanipun/ndilalah kersaning Allah/begja-begjane kang lali/luwih begja kang eling/lan waspada.
(Terjemahan bebas: Menghadapi zaman gila/suasana memang menjadi sulit/ikut gila tidak tahan/tetapi kalau tidak ikut melakukan/lenyaplah segala kemungkinan untuk mendapatkan, kelaparan/kesengsaraan jadinya/untunglah, sudah menjadi kehendak Allah/seberuntung-bertungnya orang yang lupa/lebih beruntung orang yang sadar/dan waspada).
Bait demi bait di dalam Serat Sabda Tama sarat petunjuk dan petuah dalam menjalani kehidupan, agar manusia tidak tergelincir dan masuk ke dalam kubangan kehidupan yang salah. Dalam bahasa Thomas Aquinas, orang harus bonum est faciendum et malum vitandum, melakukan yang baik, dan menghindari yang jahat.
Seperti dikatakan oleh Aristoteles, in medio stat virtus, keuatamaan berdiri di tengah. Dengan demikian, jika seseorang mau melakukan yang baik, maka harus memilih jalan tengah. Jalan tengah sering disebut sebagai jalan emas, karena akan mengantar seseorang menuju kesempuranaan sebagai manusia.
“Sabda” berarti ucapan, petunjuk atau juga petuah. Sedang “Tama” berarti utama, berharga, dan penting. Jadi Sabda Tama bisa diartikan sebagai ucapan atau petunjuk yang utama.
Menurut catatan sejarah, Serat Sabda Tama ditulis di zaman yang disebut Zaman Kala Bendu. Yakni, zaman serba tidak menentu. Zaman yang penuh dengan kesulitan. Zaman Kala Bendu adalah salah satu dari tiga zaman menurut pembagian yang dibuat oleh Maharaja di Kerajaan Kediri bergelar Sang Mapanji Sri Aji Jayabaya (memerintah sekitar tahun 1135-1157).
Tri Kali atau tiga Zaman Besar itu terdiri dari : Kali Swara (zaman penuh suara alam), Kali Yoga (zaman pertengahan), dan Kali Sangara (zaman akhir). Zaman Kali Sangara dibagi menjadi tujuh Zaman Sedang (Saptakala) yang salah satunya adalah Zaman Kala Bendu. Dan, Zaman Kala Bendu dibagi menjadi tiga Zaman Kecil (Mangsa Kala) yakni Mangsa Kala Artati (uang/materi), Mangsa Kala Nistana (tempat nista), dan Mangsa Kala Justya (kejahatan)
Di zaman seperti itulah, R.Ng Ranggawarsita mengingatkan agar orang—terutama para elite penguasa—tetap hidup jujur, menggendalikan hawa nafsu, tidak mementingkan diri dan merugikan orang lain. Dan, para elite, penguasa tidak “mentang-mentang berkuasa” lalu menyalahgunakan kekuasaan untuk kepentingan diri, kepentingan kelompok, atau kepentingan golongan.
Ketika itu, R.Ng Ranggawarsita melihat ada persoalan besar dalam etika publik, terutama menyangkut masalah integritas publik para pejabat. Etika publik berawal dari keprihatinan publik terhadap pelayanan publik yang buruk karena konflik kepentingan dan korupsi (seperti zaman kini, korupsi menjadi-njadi meskipun tindakan pemberantasannya tak kurang-kurang).
Mengapa korupsi sulit sekali diberantas? Ada yang mengatakan, karena sudah berurat akar di masyarakat. Korupsi sudah ada sejak zaman pra-kolonial, zaman penjajahan, terus berlanjut hingga zaman kemerdekaan dan sampai zaman kini, ketika orang sudah mulai bicara tentang Revolusi 4.0.
Setiap hari, berbagai media baik yang konvensional maupun yang moderen, menurunkan berita tentang korupsi, tentang operasi tangkap tangan (OTT) terduga korupsi, tentang pemeriksaaan tersangka korupsi di KPK, tentang pengadilan atas tersangka korupsi, dan sebagainya. Pendek kata, berita tentang korupsi tidak pernah tidak ada di media saban hari.
Diskusi, seminar, saresehan, dan apa pun namanya yang membahas tentang korupsi tak kurang-kurang sudah diadakan oleh baik universitas-universitas, lembaga-lembaga pusat studi, organisasi-organisasi kemasyarakatan, dan bahkan lembaga-lembaga pemerintah. Buku-buku tentang korupsi pun banyak dicetak. Tetapi, korupsi tetap saja ada bahkan seperti tidak berkurang, meskipun sudah begitu banyak orang yang ditangkap, diadili, dan akhirnya dipenjara.
Berapa banyak anggota legislatif yang dipenjara karena korupsi? Berapa banyak pejabat eksekutif yang diadili dan dipenjara karena korupsi? Berapa banyak pejabat yudikatif yang tahu tentang hukum, yang dihukum karena korupsi? Berapa banyak aparat keamanan yang juga dihukum karena terlibat korupsi. Juga berapa banyak orang swasta yang juga terseret dalam tindakan rasuah ini?
Memang, kadang kala, korupsi sulit dilacak. Sebab, tidak mudah mengindentifikasi pelaku dan korbannya. Kalau menyangkut uang negara, korban cenderung anonim, tidak dikenali karena jarang yang langsung merasa dirugikan. Pelakunya baisanya kelompok. Mereka berkolusi karena memiliki kepentingan yang sama. Oleh karena itu, mereka akan sangat ketat menjaga kerahasiaan tindak korupsi. Kecuali ada yang kecewa, lantas bernyanyi. Dan terbongkarlah tindak korupsi itu.
Ada yang berpendapat bahwa korupsi terjadi karena tiadanya integritas. Istilah “integritas” biasanya dikontraskan dengan “korupsi.” Kata “korupsi” (berasal dari bahasa Latin, corrumpere) yang berarti “membusuk, merusak, memburuk, atau menyeleweng.” Korupsi dipahami sebagai “ancaman yang membusukkan masyarakat melalui penyalahgunaan kekuasaan yang dipercayakan.” Sedangkan “integritas” yang juga berasal dari bahasa Latin (integer) yang berarti “tidak rusak, murni, utuh, jujur, lurus, dan dapat dipercaya atau diandalkan.” (Haryatmoko, 2011).
Pada umumnya, integritas dihubungkan dengan suatu keutamaan/kebajikan (virtue) atau karakater yang baik. Integritas semacam ini tumbuh dari pendidikan keluarga, berkembang di sekolah, lingkungan masyarakat, dan teruji dalam kehidupan profesional.
Dengan kata lain, integritas adalah hasil dari pendidikan, pelatihan, dan pembiasaan tindakan yang diarahkan ke nilai-nilai etika publik. Jelaslah kiranya bahwa pembentukan habitus, lingkungan berintegritas bukan sekadar niat baik, tetapi harus ditopang oleh lingkungan (mulai keluarga hingga masyarakat) dan pengalaman.
Sifat orang yang berintegritas adalah jujur. Bukankah tidak mungkin orang memiliki integritas tanpa mempraktikkan kejujuran. Seorang yang berintegritas memang tidak akan kompromistis ketika dihadapkan pada kesulitan, termasuk kesulitan menjatuhkan pilihan antara yang baik dan yang tidak baik.
Kalau dalam konteks aparatur birokrasi dan pejabat publik, maka integritas berarti keteguhan diri aparatur birokrasi dan pejabat publik untuk tidak meminta atau menerima apapun dari siapapun. Dengan demikian, integritas merupakan antitesis dari korupsi yang merupakan penggunaan kekuasaan untuk tujuan-tujuan tidak sah atau ilegal baik oleh individu maupun kelompok yang memegang kekuasaan, otoritas dan wewenang.
“Saudara-saudara,” kata Pak Er We, saat melanjutkan pidatonya, “seluruh biaya acara hari ini dari warga. Swadaya! Tidak ada bantuan dari keluarahan. Tidak ada bantuan dari Kecamatan. Apalagi bantuan dari pemerintah Depok. Padahal ada uang dari pemerintah. Entah ke mana. Saya tidak tahu. Tetapi, saya bangga, bisa menyelenggarakan upacara peringatan hari kemerdekaan bangsa, hari ini semua dari keringat warga. Merdeka!!!”
Dengan demikian, benarlah kiranya yang dituliskan oleh R.Ng Ranggawarsita bahwa “inilah zaman edan” dan “hilanglah kemuliaan akhlak” orang. ***
Mantab mas Trias.. pinjam tangis pak RW utk menohok para Koruptor agar mereka sadar diri dan stop tingkah laku koruptif
Makasih Mas Heru…ya, sekadar catatan kecil
“Integritas adalah antithesis dari korupsi” saya berusaha untuk mendalami. Benar bahwa kalau ada integritas korupsi mengecil, kalau integritas memudar tentu korupsi merak.
Integritas mengandaikan “Moral atau Moralitas”. Di sinilah sering mulai munculnya persimpangan jalan. Sebab dari persimpangan adalah “Identitas Sempit” membuat Integritas jadi relatif dan semakin menjauh. Apalagi kalau fanatisme menguasai diri, maka Integritas bisa bias ke mana2. Akhirnya apakah “Integritas” masih mampu jadi “Antithesis” terhadap Korupsi?, atau bahkan Korupsi menggerus Itegritas Bangsa.
Itulah yang menjadi pertanyaan kita semua. Dan, selama ini kita lihat korupsi telah menggerus integritas.
Tetapi, pada saat yang sama, lemahnya integritas memberi jalan mulus untuk melakukan tindak korupsi.
Selama ini “integritas” hanya menjadi pupur dari para pejabat. Bahkan Tuhan pun ditipu. Saat diambil Sumpah nya dgn menyatakan tidak akan mengambil keuntungan pribadi dari jabatannya tapi tetap kena OTT KPK
Iya, Pak…Begitulah yang selama ini terjadi. Orang dengan gagah berani mengucapkan sumpah…dan dengan gagah berani pula melanggar sumpah itu.
Terima kasih banyak, Pak August sudah meluangkan waktu untuk membaca tulisan ini. Salam.