Katedral Notre-Dame, Paris, Perancis (Istimewa)

Ketika kapal kecil yang kami tumpangi menyusuri Sungai Saine berhenti persis di depan Katedral Notre-Dame, mendadak seperti melihat kebesaran masa lalu Perancis. Meskipun katedral saksi kebesaran masa lalu Perancis itu telah hangus karena terbakar pada 15 April 2019.

Namun, hangusnya katedral bergaya gotik yang dibangun mulai tahun 1163-1345 itu tak kuasa jua menghapus kebesaran masa lalu Perancis. Persis seperti kebesaran Majapahit juga tak mungkin dihapus. Ia adalah bagian dari sejarah. Masa lalu selalu mengikuti masa kini, dan juga bagian dari masa depan. Masa depan tak pernah ada kalau tidak ada masa lalu, dan masa kini.

Katedral Notre-Dame itu mengingat akan Victor Marie Hugo (1802 – 1885) seorang novelis, penyair, dan juga dramawan zaman Romantik. Dia dicatat sebagai salah seorang penulis terbesar dan tersohor Perancis. Karyanya yang sangat kondang antara lain Les Misérables (1862) dan The Hunchback of Notre-Dame (1831).

Novel Hunchback of Notre-Dame ini bercerita tentang kondisi sosial masyarakat Notre-Dame kota Paris pada abad ke-15 (1482 M). Di masa itu, Paris seperti terbelah menjadi dua kelompok: kaum penguasa, gereja, dan borjuis dalam satu kelompok, dan kelompok lainnya adalah masyarakat bawah termasuk gelandangan, kaum miskin, dan gipsi. Keadaan ibu kota Perancis saat itu sangat kumuh, kaum miskin dan gelandangan berserakan di mana-mana.

Dikisahkan adalah Claude Frollo, seorang romo yang menemukan seorang bocah lelaki kecil yang diletakkan di depan pintu gereja. Penampilan bocah itu sangat buruk. Wajahnya mengerikan seperti monster, tubuhnya berbonggol-bonggol, tulang tubuhnya bengkok, hingga tubuhnya bongkok. Semua orang ngeri melihatnya. Bahkan, banyak yang menganggapnya bocah itu sebagai jelmaan setan.

Tetapi, tidak demikian dengan Claude Frollo. Ia memungut bocah itu, dan mengasuh serta mendidiknya dengan penuh cinta. Bocah lelaki itu diberi nama Quasimodo. Ia tumbuh menjadi besar, tetapi tetap berwajah buruk dengan tubuh semakin bongkok. Kalau berjalan kakinya diseret-seret.

Ketika Claude Frollo diangkat menjadi vikaris (wakil) uskup Paris, ia tinggal di kompleks katedral; demikian juga Quasimodo yang diberi tugas membunyikan lonceng gereja di menara katedral, setiap hari pukul 06.00, lalu 12.00, dan 18.00. Setiap jam yang ditentukan itu, Quasimodo menarik tali lonceng dan berdentanglah lonceng yang ada di puncak menara gereja. Tetapi, ternyata dentang lonceng yang begitu keras itu lama-lama merusak pendengaran Quasimodo. Ia menjadi tuli.

Alkisah di luar tembok kompleks gereja hiduplah seorang gadis gipsi nan cantik jelita. Dialah Esmeralda, yang pandai menari dan menyanyi, selalu berpembawaan riang. Ke mana-mana Esmeralda ditemani kambingnya yang diberi nama Djali.

Kecantikan Esmeralda telah memikat mata dan hati banyak lelaki dari berbagai golongan. Lelaki yang jatuh hati pada Esmeralda antara lain Pierre Gringoire, seorang penyair, penulis naskah sandiwara, dan filsuf yang jatuh miskin dan jadi gelandangan; Jehan Frollo, si badung dan berandalan, adik Claude Frollo; bahkan juga Claude Frollo yang seharusnya silibat; lalu si buruk muka Quasimodo.

Tetapi, Esmeralda justru tertarik pada Kapten Phoebus de Chateaupers yang sudah punya tunangan. Phoebus pura-pura menanggapi cinta Emeralda yang menjadi pusaran pertarungan cinta dalam berbagai makna.
Secara luar biasa, Victor Hugo menuntun para pembaca The Hunchback of Notre-Dame untuk memahami makna cinta yang beragam-ragam.

Cinta tidak harus selalu memiliki unsur seksual. Mengagumi seseorang, menyayangi tanpa alasan dan tanpa berharap balasan. Cinta tanpa rasa romantis. Itulah cinta milik Gringoire yang akhirnya menikah dengan Esmeralda tetapi dengan pernjanjian tidak boleh menyentuh. Esmeralda percaya kutuk akan menimpa dirinya bila ia bercinta dengan lelaki yang tidak dicintainya.

Boleh dikata Gringoire suami imajiner Esmeralda. Sebab, Esmeralda sesungguhnya sangat mencintai Phoebus. Namun sebaliknya, Phoebus hanya menginginkan tubuh dan kecantikan perempuan itu, tanpa hati. Puncak cerita hadir ketika Phoebus ditemukan tewas dan warga menuding Esmeralda adalah pembunuhnya. Esmeralda diancam akan dihukum digantung.

Lain lagi cinta Claude Frollo. Nafsu badani dan keinginan untuk memiliki merasuki, bahkan, menguasai hati dan pikiran Claude Frollo yang seharusnya hidup jauh dari semua itu. Claude Frollo tak peduli dengan sumpah selibatnya. Ia berbuat apa saja untuk menghalangi Esmeralda jatuh ke tangan lelaki lain, termasuk berusaha membunuh Phoebus. Ia juga tidak peduli apa yang dilakukannya mencemari lembaga Gereja, apalagi namanya sendiri.

“Neraka bersamamu, tempat itu menjadi surga bagiku, melihatmu lebih memesona daripada pesona Tuhan,” kata Claude Frollo yang sudah gelap mata dan hati oleh kecantikan dan kemolekan Esmeralda.

Cinta Quasimodo, berbeda lagi. Quasimodo tahu diri. Siapa sih perempuan yang mau dengannya yang buruk muka, lagi pula bongkok? Maka cinta Qasimodo adalah cinta murni, cinta yang tidak ingin memiliki. Tetapi, cinta yang memberi.

Bagi Quasimodo, kasih itu sabar; kasih itu murah hati; ia tidak cemburu. Kasih itu tidak memegahkan diri dan tidak sombong. Kasih itu tidak melakukan yang tidak sopan dan tidak mencari keuntungan diri sendiri. Kasih tidak pemarah dan tidak menyimpan kesalahan orang lain. Kasih tidak bersukacita karena ketidakadilan, tetapi bersukacita karena kebenaran. Kasih tidak berkesudahan.

Karena itu, Quasimodo merasa cukup puas memandang Esmeralda dari jauh, walau hatinya begitu dekat. Dan, Quasimodo, tidak pernah menuntut balasan apapun dari gadis yang dicintainya. Ada kebaikan, ketulusan, kejujuran, dan keluhuran hati dalam diri si buruk muka Quasimodo.

Novel Victor Hugo, lewat The Hunchback of Notre-Dame menegaskan bahwa sejak dahulu berbagai masalah sosial-politik-kemasyarakatan, berkisar di seputar perseteruan akibat penegasan identitas yang berlainan antar-kelompok yang berbeda-beda.

Masyarakat Perancis terpecah menjadi dua kelompok besar: kaum penguasa, gereja, dan borjuis dalam satu kelompok, dan kelompok lainnya adalah masyarakat bawah termasuk gelandangan, kaum miskin, dan gipsi.

Konsepsi tentang identitas ini memengaruhi pikiran dan tindakan manusia, yang tidak jarang memicu terjadinya konflik dan kekejaman di banyak belahan dunia, termasuk di negeri ini, Indonesia. Pembelah-mbelahan manusia ke dalam kategori-kategori yang ketat dan kaku, bisa dieksploitir untuk menggerakkan pertikaian antar-kelompok.

Padahal, “semua manusia sama; yang membedakan bukan keturunannya, tapi kebaikannya.” Begitu kata Voltaire (1694-1778), filsuf dan penulis Perancis, negeri Quasimodo berasal. ***