
Suatu hari, pecah pertengkaran sengit antara Kuda dan Rusa. Karena merasa agak kerepotan menghadapi Rusa, Kuda mendatangi Pemburu, dan meminta bantuan untuk membalas dendam.
Pemburu bersedia membantunya tetapi mengatakan: “Jika Anda ingin menaklukkan Rusa, Anda harus mengizinkan saya untuk menempatkan sepotong besi ini di antara rahang Anda, sehingga saya dapat mengarahkan Anda dengan kendali ini, dan memasang pelana di punggung Anda sehingga saya selalu berada di sisimu saat menghadapi musuh. “
Sang Kuda menyetujui persyaratan itu. Pemburu itu segera memasa sepotong besi di mulut Kuda dan pelana di punggungnya. Dengan bantuan Pemburu, akhirnya Kuda segera dapat mengalahkan Rusa. Setelah berhasil mengalahkan Rusia, Kuda berkata kepada Pemburu: “Sekarang turun, dan lepaskan barang-barang itu dari mulut dan punggung saya.”
“Tidak secepat itu, kawan,” kata si Pemburu. “Aku sekarang mengendalikanmu dan akan tetap memilih untuk mempertahankan kondisi seperti sekarang ini: dengan sepotong di mulut dan pelana di punggung.” Kurdi tak mampu berbuat apa-apa mendengar jawaban pemburu itu.
Kisah “Kuda, Rusia, dan Pemburu” tersebut adalah salah satu dongeng yang dituturkan oleh Aesop, seorang tukang dongeng dari Yunani, yang lahir sekitar tahun 620 SM. Aesop, menurut cerita, dilahirkan sebagai budak. Akan tetapi, Aesop memiliki bakat yang sangat hebat dalam mendongeng. Ia lalu mengembangkan bakatnya itu untuk mendongeng tentang kebenaran dengan cara yang sangat sederhana dan mudah dimengerti.
Dongeng Aesop itu memiliki banyak interpretasi dan selalu diinterpreasikan macam-macam. Dalam How Democracies Die (2018), Steven Levitsky & Daniel Ziblatt, mengisahkan naiknya Benito Mussolini (1883-1945) di puncak kekuasaan Italia, bagaikan dongeng itu. Mussolini dipanggil Raja Victor Emmanuel III agar datang ke Roma untuk menyelamatkan negara.

Pada tanggal 30 Oktober 1922, Mussolini tiba di Roma. Ia diangkat menjadi perdana menteri dan diminta untuk membentuk kabinet. Inilah awal dari “March on Rome”, masuknya kekuatan kaum Fascis ke Roma dan akhirnya menguasai Italia.
Beberapa tahun sebelumnya di Piazza San Sepolcro, Milan, Mussolini mengumpulkan sekitar 200 republiken, anarkis, sindikalis, sosialis yang tidak puas, kaum revolusioner yang gelisah, dan tentara yang dipecat. Mereka membahas pembentukan kekuatan baru di panggung politik Italia.
Mussolini menyebut kekuatan ini fasci di combattimento (“kelompok pejuang”). Kelompok pejuang ini disatukan oleh ikatan erat seperti ikatan fasces (berkas ranting yang diikat menjadi satu dengan bebat warna merah; bila di luar kota di tengah berkas ranting itu ada kapak) yang dipakai oleh para lictores (bentuk jamak dari lictor yang berarti abdi pengawal atau pembantu. Ia bertugas menjaga keamanan atasannya) pejabat pemerintah. Fasces (bentuk tunggalnya fascis) adalah simbol otoritas Romawi kuno. Jadi fasisme diciptakan dan simbolnya dirancang.
Pada akhirnya, Mussolini bagaikan Pemburu yang dimintai tolong Kuda. Ia menguasai panggung politik. Italia segera menjadi kuda yang ditunggangi dan dikendalikan oleh Mussolini.
Naiknya Mussolini di puncak kekuasaan disambut gembira kalangan kelas menengah. Mereka bosan dengan aksi demostrasi, pemogokan, dan berbagai kerusuhan yang terus terjadi dan mengakibatkan krisis ekonomi. Bagi mereka, yang penting perekonomian pulih dan stabilitas nasional terjamin sehingga kepentingan mereka terjamin, tak peduli pada kediktatoran dan fascisme Mussolini. Tak peduli pada rakyat kecil.
Namun, ternyata, harga yang harus dibayar begitu mahal. Sistem demokrasi Italia yang memang sudah rapuh ketika itu, dihapuskan sama sekali dan digantikan dengan negara satu partai. Partai-partai oposisi, serikat pekerja, dan pers bebas dilarang. Tidak ada kebebasan menyatakan pendapat; juga tidak ada kebebasan untuk berkumpul dan berserikat. Pemerintah Mussolini membangun jaringan mata-mata dan polisi rahasia yang terus mengawasi dan memantau segala gerak-gerik, sepak-terjang anggota masyarakat.
Menurut Steven Levitsky & Daniel Ziblatt, tidak hanya Mussolini—orang luar elite politik–yang masuk ke puncak kekuasaan dengan cara seperti itu. Misalnya, Adolf Hitler, Getulio Vargas di Brasil, Alberto Fujimori di Peru, dan Hugo Chavez di Venezuela. Mereka berkuasa lewat jalur yang sama: dari dalam, melalui pemilihan atau aliansi dengan tokoh-tokoh politik yang kuat.
Mereka
adalah para tokoh “yang diundang masuk”
(atau masuk atas keinginannya sendiri), untuk bergabung dalam panggung politik.
Semula, mereka diundang untuk membangun sebuah “konspirasi politik” (mungkin
lebih halusnya, kekuatan politik) telah berbalik menjadi penguasa. Karena
adanya ambisi, ketakutan, dan perhitungan yang salah dalam membangun “koalisi”
(konspirasi), hasilnya justru terjerumus ke dalam lembah ke gelapan.

Undangan masuk itu sama saja menyerahkan kunci kekuasaan kepada “Sang Pemburu.” Undangan masuk atau mmembiarkan Sang Pemburu masuk—yang sekarang berkeliaran di mana-mana entah sendiri atau berkelompok, dalam berbagai wujud dan bentuk, dengan wajah bertutup topeng ksatria, dewi, hulubalang, cendekiawan, bahkan agamawan—sama saja membiarkan Sang Pemburu memasang sepotong besi di mulut sehingga bisa dikekang dan pelana di punggung sehingga bisa dikendalikan.
Apalagi ada keyakinan, tak mungkin Sang Pemburu bisa macam-macam, karena toh nasib pemerintah ada di tangan warga negaranya. Jika rakyat memegang teguh nilai-nilai demokrasi, maka demokrasi akan selamat, aman, lestari. Jika rakyat membuka pintu bagi masuknya sosok otoritatiran, maka cepat atau lambat, demokrasi akan menghadapi persoalan berat.
Tetapi, menurut Steven Levitsky & Daniel Ziblatt, anggapan itu salah. Menurut keduanya hal tersebut di atas mengasumsikan terlalu banyak demokrasi – bahwa “orang” dapat membentuk sesuka hati jenis pemerintahan yang mereka miliki. Menurut pengalaman yang terjadi di Italia dan Jerman, sulit untuk menemukan bukti adanya dukungan mayoritas terhadap otoritarianisme. Tetapi, nyatanya otoritarianisme, muncul dan berkuasa.
Bahkan, sebelum kaum Nazi dan Fasis merebut kekuasaan, kurang dari dua persen dari penduduk negeri itu anggota partai. Tidak satu pun partai meraih mayoritas suara dalam pemilihan umum yang bebas dan adil. Sebaliknya, mayoritas pemilih solid menentang Hitler dan Mussolini. Akan tetapi, akhirnya–sebelum keduanya mencapai kekuasaan dengan dukungan orang dalam politik yang buta akan bahaya ambisi mereka sendiri—mereka berkuasa.
Ambisi kekuasaan telah menutup mata hati (Mussolini dan Hitler dengan kelompoknya; mungkin juga orang-orang lain). Manusia, menurut para cerdik-cendikia, pada hakekatnya adalah makhluk yang memiliki hasrat dan keinginan abadi untuk mengejar kekuasaan. Hasrat dan keinginan itu baru akan berakhir bila kematian telah menjemputnya. Ambisi berlebihan itulah yang pada akhirnya “membunuh” mereka sendiri, seperti kuda yang ingin mengalahkan rusa, lalu meminta bantuan pemburu, yang pada akhirnya justru membelenggu dan menungganginya.***
Sangat-sangat menarik
Terima kasih banyak…semoga berguna
semoga jokwi (~kuda) tidak minta tolong pemburu untuk mengalahkan lawannya.
Amin…semoga demikian…
Salam kenal..Romo…
terima kasih