Jenderal Qassem Soleimani (Foto: Istimewa)

Ibarat “melemparkan api ke tumpukan jerami”, itulah yang dilakukan Presiden AS Donald Trump dengan memerintahkan untuk menghabisi Komandan Pasukan Quds Korps Garda Revolusioner Republik Islam Iran, Jenderal Qassem Soleimani.  Pesawat nirawak AS menembak iring-iringan mobil yang salah satunya dinaiki  Soleimani, saat keluar dari  Bandara Internasional Baghdad, Irak, Jumat lalu.

Apa yang mendorong Presiden Donald Trump mengambil langkah lebih nekad dibanding dua pendahulunya, Presiden George W Bush dan Presiden Barack Obama? Kedua presiden itu pernah mempertimbangkan untuk menyingkirkan Soleimani. Akan tetapi, langkah itu tidak diambil karena mempertimbangkan dampak, konsekuensi yang akan membuat kawasan Timur Tengah semakin tidak stabil. Selain itu, juga akan semakin meningkatkan keterlibatan militer AS, dengan risiko hilangnya nyawa banyak tentara AS.

Berbagai teori dimunculkan di media berkait dengan keputusan Trump memerintahkan untuk pembunuhan terhadap Soleimani tersebut. Salah satunya teori berusaha menjawab mengapa baru saat ini Trump memerintahkan untuk mengakhiri hidup Soleimani, saat ini.  Setahun sebelum Obama terpilih kembali sebagai presiden (2011), Trump mengatakan, “Dalam usaha untuk terpilih kembali, Obama akan memulai perang dengan Iran.”

Apakah “cara” itu yang dipilih Trump agar terpilih kembali? Karena itu, Trump perlu menunjukkan keberanian dan ketegasannya dengan menyingkirkan Soleimani—yang oleh AS disebut lebih berbahaya dibandingkan Osama bin Laden dan Abu Bakr al-Baghdadi pemimpin ISIS; karena Soleimani mendapat dukungan kekuatan penuh negara. Soleimani, selama ini dipandang sebagai tokoh sentral dalam berbagai peristiwa di Yaman, Irak, dan Lebanon serta bertanggung jawab atas kematian banyak tentara AS di Timur Tengah.

Teori lainnya berdasarkan skenario “wag the dog” (kibasan “ekor” anjing). Yakni istilah bagi presiden yang menciptakan krisis di luar negeri untuk mengalihkan perhatian dari rasa malu di dalam negeri. Trump, kini sedang bersiap-siap menghadapi pemaksulan (impeachment) karena dianggap menyalahgunaan kekuasaan.

Hal yang sama pernah dilakukan Bill Clinton pada tahun 1998, ketika tersangkut skandal seks dengan Monica Lewinsky. Bulan Agustus 1998, ketika skandal itu sudah terbongkar, Clinton memerintahkan penyerangan pabrik obat al-Shifa di Sudan. Dan, pada Desember 1998, ketika menghadapi pemaksulan (impeachment), Clinton memerintahkan serangan udara terhadap Irak.

Puluhan ribu orang menghantar pemakaman Soleimani di Mashad (Foto: Istimewa)

Apa pun teorinya,  tewasnya Soleimani yang disebut sebagai  “jenderal paling berkuasa di Timur Tengah saat ini,” memancing berbagai reaksi. Keputusan Trump itu memunculkan ketegangan baru di kawasan Timur Tengah dan Teluk. Teheran segera menyatakan akan membalas tindakan AS itu. Rakyat di beberapa negara Timur Tengah, termasuk Irak, ada yang merasa lega atas tewasnya Soleimani, tetapi parlemen mengambil keputusan agar AS menarik pasukannya dari Irak. Negara-negara Eropa sekutu AS—juga Indonesia, meskipun bukan sekutu–menyerukan agar semua pihak menahan diri.

Seruan negara-negara Eropa dan Indonesia itu, masuk akal. Kehilangan Soleimani bagi Iran sangat berarti. Soleimani sebagai komandan Pasukan Quds menduduki posisi sangat tinggi di Iran, hanya dikalahkan posisi oleh para ayatollah. Apa yang akan terjadi setelah tewasnya Soleimani? Berbagai kemungkinan bisa terjadi, bila pihak-pihak yang berseteru tidak menahan diri: perang, pembalasan terbatas, atau khaos, atau mungkin justru sebaliknya karena berbagai pertimbangan tidak terjadi apa-apa. Namun, kecil sekali kemungkinannya tidak terjadi apa-apa, mengingat arti pentingnya Soleimani bagi Iran dan dia tewas di tangan “setan besar” AS musuh utama Iran.

Perang Bentuk Baru

Tentara AS di Suriah (foto: istimewa)

Akan tetapi, kemungkinan kalaupun terjadi pembalasan dari Iran, tidak akan terjadi perang frontal seperti Perang Teluk 200 ketika AS menginvasi Irak. Sudah lama Iran memilih pendekatan asimetrik dalam konfrontasi dengan AS. Dalam perang seperti ini, disrupsi digital dapat menjadi salah satu senjatanya. Para ahli mengatakan itu kemungkinan akan menjadi semacam konflik tersembunyi yang tersebar di wilayah dan dunia, di mana Iran berusaha mengejutkan dan menyerang dengan cepat musuh, melalui peretas, milisi proksi, atau cara tidak langsung lainnya (The Christian Science Monitor, 6/1).

Perang cyber telah terbukti sangat menarik bagi Iran, sejak embargo senjata selama empat dekade membuat militer konvensionalnya tidak mampu mengikuti perkembangan kekuatan negara lain di kawasan Timur Tengah dan Teluk. Meskipun kemampuannya belum sebanding dengan Rusia dan China dalam kemampuan cyber, tetapi Iran telah menunjukkan peningkatan kemampuan dan kemauan untuk menggunakan cara digital.  

Menurut laporan International Institute for Strategic Studies (IISS) November 2019, “Antara 2009-10 dan 2019, dan seringkali melalui proksi non-negara seperti Tentara Cyber Iran, Iran telah banyak berinvestasi dalam mengembangkan dan menggunakan kemampuan cyber, untuk propaganda, eksploitasi intelijen dan gangguan.”

Akan tetapi, AS tidak hanya memiliki kemampuan unggul dalam peperangan konvensional, AS juga memiliki keunggulan di dunia maya. Virus Stuxnet, yang diyakini dikembangkan oleh AS dan Israel, sangat berkemampuan merusak program nuklir Iran. Tentu, hal ini menjadi pertimbangan Iran bila memilih perang cyber. Meskipun, Iran memiliki pengalaman pada tahun 2012 berhasil menghancurkan data pada paling tidak 30.000 komputer personal milik Aramco, perusahaan minyak Arab Saudi.

Sementara itu, andaikan Iran memilih pembalasan terbatas, maka bentuknya pun bisa macam-macam. Misalnya, penyerangan terhadap fasilitas AS di Timur Tengah: bisa kedutaan besar, staf kedutaan,  orang AS, atau pangkalan angkatan udara AS al-Udeid di Qatar, markas besar Armada Kelima AS di Bahrain, pangkalan pasukan AS di Kuwait.

Bisa juga pembalasan terbatas itu berupa penutupan Selat Hormuz. Selat Hormuz adalah satu-satunya pintu masuk ke Teluk Persia, yakni perairan yang merupakan halaman depan  Iran, Irak, Arab Saudi, Bahrain, Qatar, Uni Emirat Arab (UEA), dan Oman. Teluk itu meliputi area seluas sekitar 87 ribu mil persegi dengan kedalaman maksimum 100 meter, dan titik tersempit selat adalah 34 kilometer.

Bila tindakan ini dilakukan akan mengganggu pasukan minyak dunia. Sebab, lebih dari sepertiga ekspor minyak mentah diangkut kapal tanker lewat selat ini. Setiap hari sekitar 21 juta barrel minyak mentah disalurkan lewat Selat Hormuz. Lewat selat ini pula dikapalkan gas alam cair lebih dari seperempat pasokan dunia, terutama dari Qatar (U.S. Energy Information Administration).

Meskipun, penutupan Selat Hormuz juga akan merugikan Iran sendiri, sebab mereka tidak bisa mengekspor minyak. Sembilan puluh persen ekspor minyak Irak lewat selat ini. Negara lain, Kuwait, Qatar, dan Bahrain juga menggunakan selat ini untuk mengekpsor minyaknya. Karena itu, penutupan Selat Hormuz akan berdampak banyak.

Bila tidak menutup Selat Hormuz, Iran juga bisa memanfaatkan proksinya di Lebanon yakni Hezbollah membalas tindakan AS dengan menyerang Israel; Iran juga bisa menyerang tentara AS di Afganistan, dan juga menyerang pangkalan militer AS di Arab Saudi atau Uni Emirt Arab, perang cyber. Apa pun bentuk balasan yang mungkin akan dilakukan oleh Iran, yang pasti akan menambah ketidakamanan dunia, gara-gara ulah Donald Trump.

Jaringan Proksi

Menurut peringkat kekuatan militer dunia yang dibuat oleh Global Firepower—peringkat pertama diduduki AS—Iran menempati urutan ke-14 sebagai negara paling kuat militernya di dunia, antara Brasil dan Pakistan. Iran memiliki program nuklir, tetapi belum memiliki senjata nuklir. Mereka memiliki program rudal balistik, tetapi tidak memiliki rudal balistik yang jangkaunnya mencapai AS. Iran memiliki hubungan baik dengan Rusia dan China, tetapi apakah kedua negara mau melibatkan dalam konflik dengan AS, andaikan terjadi.

Akan tetapi, meski kalah dalam kekuatan militer dari AS, menurut sebuah studi yang dilakukan oleh think thank  militer (The Guardian, 7 November 2019), Iran sekarang memiliki keunggulan militer yang efektif atas AS dan sekutunya di Timur Tengah. Hal itu, karena kemampuan Iran untuk berperang menggunakan pihak ketiga seperti milisi Shiah dan kelompok pemberontak.

Dalam salah satu penilaian (assessment) paling rinci tentang strategi dan doktrin Iran di seluruh Lebanon, Suriah, Irak dan Yaman, Institut Internasional untuk Studi Strategis (IISS) menyimpulkan “kemampuan pihak ketiga” Iran telah menjadi senjata pilihan Teheran. Ini yang tidak dimiliki oleh negara-negara lain di kawasan.

Studi IISS tersebut menyatakan, Jaringan Pengaruh Iran lebih penting bagi kekuatan Iran daripada program misil balistiknya, program nuklir atau pasukan militer konvensionalnya (Iran memiliki 523.000 personel militer aktif dan cadangan 350.000 personel).  Meski demikian, menurut laporan itu, secara keseluruhan, keseimbangan militer konvensional masih berpihak pada AS dan sekutu-sekutunya di kawasan itu. Tetapi, keseimbangan kekuatan efektif kini mendukung Iran.

Jaringan kekuatan proksi tersebut, menghilangkan kendala geografis bagi Iran. Misalnya, Iran “hadir” lewat Pasukan Mobilisasi Rakyat Irak, Hezbollah di Libanon, Ansarullah di Yaman, Front Nasional Suriah, Jihad Islam Palestina dan Hamas. Suatu ketika pemimpin Hezbollah, Hassan Nasrallah menyatakan bahwa perlawanan di kawasan itu memiliki satu pemimpin dan pemimpin itu adalah pemimpin tertinggi Revolusi Islam Iran.

Dari sini tergambar jelas bahwa jaringan proksi tersebut menyebar di berbagai negara di Timur Tengah dan sudah mulai dibangun Iran setelah Revolusi Iran 1979. Setelah revolusi, pemimpin tertinggi Iran Ayatollah Ruhollah Khomeini mulai membangun jaringan rezim non-negara. Khomeini menyerukan kepada “orang-orang tertindas” di dunia untuk bersatu, mendorong kaum Shiah di kawasan untuk bangin melawan para penguasa dukungan Barat, dan memimpin rezimnya untuk bekerja sama dengan mitra-mitra non-negara, terutama kelompok Shiah di Lebanon dan Irak (Becca Wasser dan Ariane M Tabatabai, Mei 2019).

Iran memperkuat ikatannya dengan kelompok-kelompok ini pada 1990-an melalui penyediaan pelatihan, senjata, dan uang. Taktik untuk mendapatkan pengaruh berbeda-beda di setiap negara (IISS). Di Irak, Tehran menggunakan para pemberontak untuk menyerang tentara AS. Di Suriah, pasukan al-Quds di bawah komandan Jenderal Soleimani (yang pekan lalu tewas), mendukung pasukan regular Suriah untuk menghadapi pemberontak multinasional dukungan AS.

Di Lebanon, hubungan Iran dengan Hezbollah terus berkembang. Iran memasok roket, senjata anti-tank, dan juga peluru kendali kepada Hezbollah. Selain itu, juga memperkuat Hezbollah dengan menggerahkan 25.000 personal pasukan cadangan.

Menurut IISS, tidak ada negara yang seaktif atau seefektif Iran dalam konflik regional di zaman modern. Total biaya yang dikeluarkan Iran dari kegiatannya di Suriah, Irak, dan Yaman adalah  16 dollar AS miliar. Sementara, Hezbollah menerima  700 juta dollar AS setiap tahun dari Iran.

Setelah peristiwa 9/11 dan invasi AS ke Afganistan, Teheran mulai memaksimalkan penggunaan proksi-proksinya tersebut. Tujuannya adalah untuk melemahkan pengaruh AS di wilayah tersebut. Sepanjang tahun 2000-an, pasukan yang didukung Iran memperluas pengaruhnya di negara-negara utama di kawasan dan, kadang-kadang, menargetkan pasukan AS.

Dengan kenyataan seperti itu, apakah Trump tetap akan nekad menggerakkan tentara dan mesin perangnya menyerang Iran? Apakah Trump bersikukuh akan mengubah shadow war (perang bayangan) dan perang ekonomi antara AS dan Iran yang sudah berlangsung selama empat dasawarsa, menjadi perang nyata?

Tentu, siapa pun yang masih mencintai perdamaian dunia tidak menginginkan pecahnya perang. Sebab, perang tidak bisa menciptakan apapun kecuali penderitaan. Senjata tidak menghasilkan apapun kecuali kematian. Perang juga tidak menghasilkan perdamaian. Kecuali, memang Donald Trump ingin tercatat dalam sejarah sebagai pencetus Perang Dunia III. ***

  • Artikel ini sudah dimuat di harian Kompas, hari Rabu 8 Januari 2020.