Bukan hanya Karl Marx yang mengatakan bahwa sejarah selalu berulang. Grup band rock, Santana—dengan Carlos Santana, musisi AS kelahiran Meksiko—pun meneriakkan hal yang sama.

Marx mengatakan,  “Histoire se répète toujours deux fois: la première fois comme tragédie, la deuxième fois comme farce; sejarah selalu mengulang dirinya sendiri: pertama sebagai tragedi, kedua sebagai lelucon.” Sementara Santana bertanya,  Who says history doesn’t repeat itself? Siapa bilang sejarah tidak mengulang dirinya sendiri? Pertanyaan Santana mengawali lagunya Oye 2014.

Tetapi, sejarah yang kali ini berulang tidak seperti yang dikatakan Marx, “pertama sebagai tragedi, kedua sebagai lelucon.” Kali ini, sejarah berulang, tetap sebagai tragedi. Tragedi yang merenggut nyawa banyak orang di mana-mana, di banyak negara.

Lebih dari 600 tahun silam, dunia disapu wabah penyakit karena bakteri  Yersinia pestis  yang kemudian memunculkan istilah Black Death, atau Great Pestilence atau Great Plague, atau Great Mortality. Disebut Great Mortality, misalnya, karena demikian banyaknya nyawa yang melayang akibat wabah penyakit itu. Black Death diperkirakan membunuh 30 persen hingga 60 persen penduduk Eropa, sekitar 50 juta jiwa, pada waktu itu, abad ke-14; mengurangi penduduk dunia dari sekitar 450 juta menjadi antara 350 juta hingga 375 juta jiwa.

Yang menarik, dari mana penyakit itu berasal. Ole Beneditow dalam History Today (Vol. 55, 3 Maret 2005) menulis, dulu diduga bahwa Black Death berasal di China, tetapi penelitian baru menunjukkan bahwa wabah penyakit itu mulai merebak pada musim semi 1346 di wilayah stepa, yang terbentang dari  pantai barat laut Laut Kaspia ke Rusia selatan. Pada waktu itu, daerah tersebut dikuasi orang-orang Mongol.

Akan tetapi, Nicholas Wade (The New York Times, 31 Oktober 2010) berdasarkan kesimpulan para ahli genetika dari Universitas College Cork, Irlandia yang dipimpin Mark Achtman, menulis wabah penyakit itu berasal dari China dan Asia Tengah yang waktu itu dikuasai orang-orang Mongol.

Pendudukan orang Mongol menghancurkan pertanian dan perdagangan, sehingga mengakibatkan kelaparan di China, mulai tahun 1331. Setelah itu wabah tiba; dan menewaskan hingga 60 juta orang; akhirnya wabah penyakit itu menyerang  Konstantinopel pada tahun 1347.

Baik dalam tulisan Ole Beneditov maupun Nicholas Wade, sama disebutkan bahwa wabah sampai ke daratan Eropa lewat Jalur Sutera (Silk Road) “dibawa” orang-orang Mongol ketika mereka menyerang kota pelabuhan  Kaffa (sekarang Feodosiya) di Krimea. Mereka mengepung kota pelabuhan dagang itu. 

Pada musim gugur 1346 para pengepung terjangkit wabah Black Death dan dari mereka manembus kota. Penduduk kota, antara lain, para pedagang dari Genoa, Italia melarikan diri naik kapal kembali ke Sisilia dan Eropa Selatan. Tanpa mereka ketahui, Black Death terbawa serta, masuk ke daratan Eropa. Dan, masuk ke Afrika Timur “menumpang” armada kapal China—300 kapal—pimpinan Admiral Zheng dalam melakukan pelayaran dagang dari China ke Afrika, 1409.

Dari Kaffa, para pedagang Genoa membawa epidemi ke pelabuhan-pelabuhan di Mediterania (Laut Tengah) dan menyebar ke Sisilia (1347), daratan Italia, Spanyol, dan Perancis (1348); lalu Austria, Hongaria, Swiss, Jerman, dan sejumlah negara lain.

Sebuah kapal masuk Bristol dan dari sana menyebar ke Inggris. London menjadi korban pada tahun 1349, lalu juga Yorkshire. Black Death mencapai Inggris utara, Skotlandia, Skandinavia, dan negara-negara di Baltik pada tahun 1350.

Black Death adalah gelombang kedua dari tiga gelombang, pada masa lalu, yang menyerang Eropa. Yang pertama terjadi pada abad ke-6 di zaman Justinianus I (Flavius Justinianus),  menjadi Kaisar Byzantium (527-565). Ketika itu (542), ibu kota Kekaisaran Romawi Timur, Konstanstinopel, menjadi korban lewat kapal dari Mesir.

Menurut catatan sejarah, tiga dari lima penduduk kota itu menjadi korban. Wabah (Yersinia pestis) itu kemudian disebut sebagai Wabah Justinian yang menyebar serta “menguasai” ke kawasan Mediterania selama 225 tahun dan baru hilang tahun 750. Jutaan orang tewas.

Sejarawan Byzantium asal Procopius dari Caesarea (500-565) menulis wabah yang berasal dari China itu masuk ke Pelusium, muara Sungai Nil di Afrika Utara.  Menurut Wendy Orent, penulis Plague, penyakit menyebar ke dua jurusan: utara yakni ke Aleksandria dan timur ke Palestina. Penyebar penyakit ini adalah tikus hitam (Rattus rattus) yang “menumpang” kapal dagang pengangkut gabah (John Horgan, Ancient History Encyclopedia, 2014).

Gelombang ketiga—wabah penyakit yang menyerang daratan Eropa—berasal dari Propinsi Yunan China (1894). Dari Yunan, masuk Hongkong kemudian menyebar ke seluruh dunia “membonceng” kapal-kapal dagang: menyerang Hawaii (1899), San Franciscko (1900).

Sebelumnya, wabah dari Yunan menyerang Bombay (Mumbai, 1896), Kalkutta (1898), Jepang dan Filipina (1897), Autralia, Amerika Tengah dan Selatan (1899); Mesir dan Singapura (1901), New Orleans, Laousiana, dan Kolombo (1914), dan hampir semua kota pelabuhan di Eropa yang mempunyai hubungan dagang dengan Hongkong (W Randolph Stilson, The Black Death and Its Effect on The History and Socialization of The Western World, 1975).

Ilustrasi: Istimewa

Kini, setelah lebih dari enam abad, muncul wabah penyakit yang berasal dari Wuhan, China: Corana virus (Covid-19).  Sejarah telah berulang. Dan, Italia, seperti sebelumnya, menjadi negara terberat kedua setelah China.

Dahulu, wabah Yustinian, menjadi titik awal kemunduran Kekaisaran Romawi Timur, karena merosotnya perekonomian dan pelemahan kekaisaran. Menurut Randolph Stilson, Black Death, pandemik kedua, mengakhiri abad feodalisme di Eropa.

Walter S Zapotoczny dalam The Political and Social Consequences of the Black Death, 1348 – 1351 (2006) menulis, Black Death sangat mempercepat perubahan sosial dan ekonomi selama abad ke 14 dan 15. Selain itu juga  menjadi penyebab pecahnya pemberontakan petani di banyak bagian Eropa, seperti Perancis (pemberontakan Jacquerie) dan di Italia (pemberontakan Ciompi, yang melanda kota Florence).

Salah satu kelompok yang paling menderita adalah Gereja. Mereka kehilangan prestise, otoritas spiritual, dan kepemimpinan atas rakyat. Gereja menjanjikan penyembuhan, perawatan, dan penjelasan tentang wabah itu. Mereka mengatakan itu adalah kehendak Tuhan, tetapi alasan hukuman yang mengerikan ini tidak diketahui.

Orang-orang menginginkan jawaban, tetapi para imam dan uskup tidak punya jawaban. Banyak rohaniwan meninggalkan tugas dan melarikan diri. Orang-orang berdoa kepada Tuhan dan memohon pengampunan.

Setelah wabah berakhir, penduduk desa yang marah dan frustrasi mulai memberontak melawan Gereja. Para penyintas juga marah pada dokter, yang mengatakan mereka bisa menyembuhkan pasien, tetapi ternyata tidak. Segera setelah letusan terakhir Black Death, pandangan tentang anak-anak juga berubah.

Meskipun membawa nama keluarga masih dianggap penting, angka kelahiran turun. Anak-anak dianggap “tidak sebanding dengan masalah” untuk dibesarkan karena mereka mungkin akan mati pula. Butuh empat ratus tahun sebelum populasi Eropa menyamai angka sebelum Black Death.

Tuntutan bagi pekerja pertanian memberi para penyintas kekuatan tawar baru. Pekerja yang sebelumnya terikat pada pekerjaan dan penghidupan yang berkaitan dengan tanah sekarang dapat melakukan perjalanan dan mendapatkan upah yang lebih tinggi untuk layanan mereka. Selain itu, orang meninggalkan daerah pedesaan dan bermigrasi ke kota dengan upah yang lebih tinggi.

Struktur ekonomi kekayaan berbasis lahan bergeser. Kekayaan dalam bentuk uang, keterampilan, dan layanan muncul. Kota-kota kecil mulai tumbuh berkembang, sementara perkebunan besar dan kecil mulai runtuh. Struktur sosial, ekonomi, dan politik yang sangat Eropa diubah selamanya. Feodalisme jatuh dan mengubah arah sejarah di Eropa.

Apa yang akan terjadi sekarang ini setelah wabah Covid-19, berakhir? Akan menjadi seperti apa negara-negara yang terkena wabah Covid-19 nanti, seperti China, Italia, Iran, Korea Selatan, dan Perancis, juga negara-negara lain, termasuk Indonesia? Berubah?

Apakah pandemi Covid-19 akan mampu, misalnya di negeri ini, mengubah sifat mencari untung (entah politik maupun ekonomi, juga sektarian), lebih mementingkan diri sendiri di tengah penderitaan yang menghinggapi sementara orang bahkan elite politik, menjadi lebih solider, toleran, memiliki keutamaan berbela rasa (compassion), tidak egoistik?

Apakah pandemi Covid-19 ini akan mampu mengubah sifat orang yang senang menari di atas penderitaan orang lain dan memunculkan sikap beyond terhadap kepentingan diri dan seluruh kelompoknya?

Apakah pandemi  Covid-19, akan mampu mengubah orang di negeri ini, yang dalam bahasanya Syafii Maarif—larut dalam pragmatisme politik yang tunamoral dan tunavisi—menjadi bermoral dan bervisi?  Mampukah, “derita nasional” ini menyadarkan orang untuk membuang jauh-jauh pragmatisme politik yang cenderung menghalalkan segala cara termasuk transaksional dalam panggung politik?  

Padahal, bukankah, pada dasarnya, manusia seperti dikatakan oleh Cecilius (230-168 SM), adalah Homo homini deus est, si suum officium sciat—manusia adalah dewa bagi manusia yang lain jika ia mengetahui kewajibannya. Mengapa demikian, sebab sifat compassion, welas asih, bela rasa tidak dapat dipisahkan dari kemanusiaan; alih-alih dimotivasi oleh kepentingan pribadi.

Orang yang benar-benar manusiawi, secara konsisten berorientasi pada orang lain, bukan selalu beroritentasi pada diri sendiri, kepentingan diri sendiri dalam segala macam bentuknya. Hanya orang-orang yang tunamoral, tuna-etika yang mengingkari semua itu. Mereka itu, golongan “Black Death” yang perlu dibasmi karena membawa dunia sekitar kita menjadi hitam kelam.

Sejarah akan selalu berulang. Demikian juga di setiap zaman akan selalu muncul manusia (orang-orang) yang mementingkan diri sendiri, yang mencari keuntungan di tengah kebuntungan orang lain, yang tidak memiliki nilai-nilai keutamaan seperti bela rasa. Mereka ini tidak peduli meski digolongkan sebagai bagian dari Black Death. Karena seperti dikatakan Plautus (251-184 SM), homo homini lupus est, manusia adalah serigala bagi manusia lain. ***