
Hingga kemarin, menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), paling tidak 169 negara dan wilayah terserang novel coronavirus (Covid-19), yang mula pertama muncul di sebuah kota China Tengah, Wuhan, pada akhir Desember silam. Namun, sejak saat itu, menyebar ke seluruh dunia. Nyaris tidak ada wilayah dunia yang tidak “disentuh” Covid-19, yang hingga kini a sudah lebih dari 209.000 orang terinfeksi dan sekitar 20.000 orang di antara meningggal dunia.
Data jumlah orang yang terinfeksi coronavirus tiap hari berubah. Hari Selasa lalu, Johns Hopkin University di AS, mengungkapkan jumlah yang terserang coronavirus (Covid-19) sudah hampir 400.000 orang, yang menyebar ke lebih dari 160 negara. Dari jumlah orang yang terserang Covid-19 itu, 16.587 orang meninggal; pada saat yang bersama hampir 102.117 orang berhasil sembuh (https://www.coronavirus.video/country-stats.php)
Dari jumlah tersebut, korban China sebagai negara yang pertama terserang, tercatat 81.171 orang positif, 3.277 orang meninggal, dan 72159 orang sembuh. Itali menjadi negara terbanyak kedua yang terdampak: 63.927 orang positif, 6.077 orang meninggal, dan 7.432 orang sembuh; Di AS sebanyak orang 46.376 orang dinyatakan positif, 785 orang meninggal dan 314 orang sembuh. Di Spanyol ada 35.068 orang positif, 2299 orang meninggal, dan 3355 orang sembuh; Iran, 23.049 orang positif, 1812 orang meninggal, dan 8376 orang sembuh. Sementara di Jerman tercatat 29.056 orang positif, 123 orang meninggal, dan 453 orang sembuh; Perancis, 19.856 orang positif, 860 orang meninggal, dan 2.200 orang sembuh.
Di Asia Timur setelah China, Korsel menempati posisi kedua terbanyak penderita: 9.037 orang positif, 126 orang meninggal, dan 3507 sembuh; Jepang, 1128 orang positif dan 42 orang meninggal, 272 orang sembuh. Sementara di Indonesia, hingga hari Selasa (24/3) kemarin tercatat 686 orang positif, 55 orang orang meninggal, dan 30 orang sembuh.
Negara anggota ASEAN lainnya: Malaysia, 1.518 orang positif, 14 orang meninggal, dan 159 orang sembuh; Thailand, 721 orang positif, satu orang meninggal, dan 52 orang sembuh; Singapura, 509 orang positif, dua orang meninggal, dan 152 orang sembuh; Filipina, 501 orang posifit, 33 orang meninggal, dan 19 orang sembuh; Brunei, 91 orang positif dan satu orang sembuh; dan Kamboja, 87 orang posifit, dua orang sembuh.
Data tersebut, yang pasti akan terus berubah, memberikan gambaran jelas bahwa nyaris tidak ada satu sudut Bumi ini yang tidak dijamah Covid-19, termasuk negara-negara di Timur Tengah, Kanada, Amerika Selatan, dan Afrika. Bahkan, banyak petinggi negara yagn terserang Covid-19. Misalnya, tiga pejabat tinggi Iran termasuk Wapres Masoumeh Ebtekar, Wakil Menteri Kesehetan Iraj Herirchi, dan Kepala Keamanan Nasional dan Komisi Kebijakan Luar Negerp Parlemen Iran Mojtaba Zonnour, terinfeksi. Dan, sekarang makin banyak pejabat negara yang di banyak negara yang terserang Covid-19.
Mengapa Iran, misalnya, menjadi negara terbanyak kedua penderitanya setelah China? Ada dugaan, letak geografis Iran yang ada di tengah—sebelah utara adalah Kaukasus Selatan, sebelah selatan adalah Asia Selatan; dan terletak di antara Asia Tengah sebelah timur dan Asia Barat sebelah barat. Dengan posisi geografis seperti itu, Irak, sebenarnya, banyak memperoleh keuntungan atau menjadi penting dari segi politik dan ekonomi; juga terjadi interaksi yang intensif di bidang agama dengan negara-negara tetangga.
Maka dengan letak geografis seperti itu, penyebaran Covid-19 ke negara tetangga sangat mudah. Misalnya, negara-negara tetangga Iran seperti Irak (192 kasus), Turki (359 kasus), Azerbaijan (34 kasus), Georgia (34 kasus), Afganistan (22), Pakistan (464). Bahkan, melompat ke Oman (48 kasus), Arab Saudi (274 kasus), Qatar (460 kasus), Kuwait (148 kasus), dan Bahrain (278 kasus).
Sulit Kerja Sama

Tentang persaingan antar-bangsa, Hans J Morgenthau dalam Politics Among Nations: The Struggle for Power and Peace (1993) menyatakan, sekalipun terdapat banyak manifestasi, pada dasarnya ada dua bentuk persaingan dalam hubungan internasional. Bentuk pertama adalah kompetisi aktor melawan satu atau lebih aktor, yang melibatkan mekanisme hubungan zero-sum yang berarti bahwa keuntungan satu aktor adalah kerugian aktor lain, yaitu, agar aktor menang, aktor lain harus kalah.
Perang Iran-Irak (1980-1988), adalah salah satu contoh tentang hal tersebut di atas. Meskipun hasil akhirnya bisa berupa kebuntuan atau kehancuran total, yang artinya sama dalam banyak kasus.
Bentuk kedua adalah kompetisi aktor dengan satu atau lebih aktor lebih mengenai akhir yang diinginkan. Diktum klasik Hans J. Morgenthau bahwa “politik internasional, seperti halnya semua politik, adalah perjuangan untuk kekuasaan” adalah pernyataan terkenal untuk bentuk kompetisi kedua. Meskipun, selain kekuasaan, akhir kompetisi yang diinginkan bisa menjadi “kebebasan, keamanan, [atau] kemakmuran.”
Dalam konteks Timur Tengah, menurut Casey L Addis et.al dalam “Iran Regional Perspectiveand US Policy”, Congressional Research Service (2010), dua negara yang bersaing memperebutkan kekuasaan dan pengaruh di kawasan ini adalah Arab Saudi dan Iran. Kedua aktor—kedua negara itu–bersaing satu sama lain untuk mencapai tujuan yang diinginkan, “sebagai dua negara yang paling berpengaruh secara politik dan agama di wilayah Teluk. Arab Saudi dan Iran sudah lama masing-masing berusaha memaksimalkan posisinya relatif terhadap yang lain dan relatif terhadap pemain luar yang penting ” (Eyüp Ersoy: 2012).
Tentu, persaingan antara keduanya, menjadi persoalan yang sangat serius berkait dengan upaya mengatasi pandemi Covid-19 di kawasan. Padahal yang dibutuhkan adalah kerja sama. Akan tetapi, bagaimana kerja sama bisa terbangun kalau di antara mereka tidak ada saling percaya dan senantiasa dalam ketegangan hubungan. Saling percaya, adalah syarat utama untuk terwujudkan sebuah kerja sama.
Memang, semestinya, dalam kondisi seperti sekarang ini mereka, misalnya antara Arab Saudi dan Iran, dan juga antara Iran dan negara-negara tetangga di kawasan Teluk, bisa menyingkirkan perseteruan, persaingan, saling curiga, dan saling tidak percaya. Dan, kemudian dibangun kerja sama untuk bersama-sama memerangi pandemi Covid-19. Kerja sama adalah langkah yang paling baik dalam memerangi pandemi Covid-19 ketimbang berjibaku sendiri-sendiri.
Kerja sama itu sangat penting sebab pandemi Covid-19 bukanlah persoalan satu negara, bukan juga persoalan regional, tetapi persoalan global. Karena itu, negara-negara di kawasan, seperti kawasan Timur Tengah dan Teluk, sangat mendesak untuk mencari jalan bagi terbangunnya kerja sama dan koordinasi untuk mengatasi pandemi Covid-19, bukannya justru pandemi Covid-19 digunakan sebagai alat untuk mengucilkan negara lain yang dianggap sebagai pesaingnya. Meskipun masing-masing negara memiliki kebijakan untuk mengontrol secara ketat perbatasan negaranya untuk mencegah adanya pelintas batas yang akan mempermudah penyebaran Covid-19, seperti yang dilakukan oleh negara-negara Eropa.
Perlu ada kesadaran dari para pemimpin negara di kawasan, bahwa kerja sama dan koordinasi, merupakan tuntutan yang sangat penting dan mendesak saat ini. Dengan demikian, mereka akan harus mencari cara bagaimana menjembatani jurang komunikasi di antara mereka sehingga terbangun jembatan komunikasi, yang bisa menjadi sarana terbangunnya kerja sama dan koordinasi dalam memerangi pandemi Covid-19.
Hal yang sama, perlu juga dilakukan oleh para pemimpin negara anggota ASEAN. Pandemi Covid-19 ini benar-benar akan mengetes sejauh mana, seberapa erat kerja sama antar-negara anggota. Apakah masing-masing negara anggota memikirkan diri sendiri, keselamatannya sendiri atau juga bersama-sama memikirkan dan mencari jalan untuk mengupayakan keselamatan bersama.
Tidak ada yang lebih penting sekarang ini daripada kerja sama antara negara untuk memerangi Pandemi Covid-19. Solidaritas antar-negara menjadi tuntutan, yang tidak bisa tidak harus dilakukan. Tidak ada satu pun negara yang bisa hidup sendiri di zaman seperti sekarang ini.***
Tulisan ini sudah ditayangkan di Kompas.id hari Sabtu (21/3).