Ponsius Pilatus cuci tangan, melepaskan tanggung jawab akan nasib Jesus (Foto: Istimewa)

Guru yang sangat baik itu, sudah tak berdaya. Wajahnya bersimbah darah. Pandangan matanya tidak fokus lagi. Begitu banyak pukulan dan gebukan yang mendarat di badan.  Bahkan juga wajah-Nya. Bukan hanya pukulan, tetapi juga tendangan dan ludahan, serta caci-maki, hinaan, dan ejekan.

Lihatlah Guru, apabila bisa. Tubuhnya sangat rusak, sehingga ia bahkan tak tampak sebagai manusia. Tak seorang pun tertarik oleh ketampanannya. Sebaliknya, ia dihina dan dihindari orang, penuh kesengsaraan dan penderitaan. Dengan kondisi seperti itu, orang tidak ingin lagi melihat dan menghormati Guru.

Padahal, guru kebenaran yang  sangat kharismatik itu, tidak pernah sekalipun membuat orang lain menderita. Namun, sekarang menderita.  Ia, memang, sangat tidak kompromistis terhadap keadaan yang menyebabkan orang menderita.

Guru yang juga tukang kayu itu tidak pernah melakukan kekerasan; juga tidak pernah menganjurkan orang lain, para muridnya untuk melakukan kekerasan. Ia orang bijak. Bukan penghasut. Banyak orang menyebutnya sebagai tokoh yang melakukan perbuatan-perbuatan mengejutkan: membuat orang lumpuh bisa berjalan, orang buta bisa melihat, orang bisu dan tuli bisa bicara dan mendengar, dan bahkan menghidupkan orang mati.  

Guru yang juga dikenal sebagai tabib penyembuh segala rupa penyakit itu, bukanlah seorang propagandis. Bukan! Ia tidak mengumbar kata-kata tak berisi, yang manis di telinga. Ia  memperjuangkan kehidupan yang lebih baik. Guru itu sangat yakin bahwa yang mengangkat pedang akan mati karena pedang pula. Karena itu, ia menasihati murid-muridnya jangan melawan kejahatan dengan kejahatan!

“Cintailah musuh-musuhmu seperti kamu mencintai dirimu sendiri,” kata Guru suatu ketika.

Apa yang dikatakan Guru itu menegaskan pentingnya etika timbal balik; berbuatlah kepada orang lain sebagaimana kamu ingin orang lain perbuat untukmu. Jangan berbuat kepada orang lain yang kamu tidak ingin orang lain perbuat untukmu. “Si vis amari, ama.., Jika engkau ingin dicintai, maka cintailah…” begitu kata Guru berkali-kali.

Jesus memanggul salib menuju Golgotha (Foti: Istimewa)

Tetapi, ketika Ia menderita, Ia kesendirian. Orang-orang yang dicintainya, telah meninggalkannya. Bahkan, ada yang mengingkari dan menjadi otak penangkapannya demi uang. Ia kesendirian. Namun, bagi Guru, kesendirian bukan berarti tak ada cinta. Dalam kesendirian justru cinta menyempurnakannya.

Guru yang sangat memahami makna dan arti cinta, selalu mengatakan, “Aku mencintai, karena itulah aku ada.” Hanya cintalah yang dapat membawa setiap individu menuju kesempurnaan hidup sebagai individu. Cinta memungkinkan manusia semakin bersatu dengan yang lain tanpa kehilangan keunikan masing-masing. Karena itu, Guru selalu mengingatkan para muridnya, “Marilah kita juga memberi cinta.” 

Mengapa? Cinta adalah satu-satunya kebebasan di dunia karena cinta itu membangkitkan semangat hukum-hukum kemanusiaan dan gejala alami pun tak mampu mengubah perjalanannya. Begitu kata Khalil Gibran. Benar!

Cinta hanya sepotong kata; ibarat air yang bisa menguap karena kepanasan; ibarat mega-mega putih di langit biru yang bisa hancur berantakan berubah bentuk karena disapu angin; ibarat mendung hitam yang berubah menjadi hujan dan turun ke Bumi yang kemudian menelannya atau masuk ke sungai mengalir ke laut.  Tetapi, sepotong kata itu oleh Guru diberi makna. Dan, cinta itu diwujudkan; bahkan direlakan hidupnya demi cinta.

Guru pernah berkata, “Kasih itu sabar; kasih itu murah hati; ia tidak cemburu. Ia tidak memegahkan diri dan tidak sombong. Ia tidak melakukan yang tidak sopan dan tidak mencari keuntungan diri sendiri. Ia tidak pemarah dan tidak menyimpan kesalahan orang lain. Ia tidak bersukacita karena ketidakadilan, tetapi ia bersukacita karena kebenaran. Ia menutupi segala sesuatu, percaya segala sesuatu, mengharapkan segala sesuatu, sabar menanggung segala sesuatu. Kasih tidak berkesudahan; nubuat akan berakhir; bahasa roh akan berhenti; pengetahuan akan lenyap.

Dan karena itu, Guru menawarkan jalan cinta. Ia adalah inisiator cinta. Guru lebih dulu mencintai para muridnya, dan siapa pun yang mendambakan kehidupan damai, yang menjunjung nilai-nilai persaudaraan, yang peduli kepada sesama, yang tidak menutup mata dan hati bagi sesama meskipun berbeda dalam segala hal.  Maka keputusan para murid untuk mencintai Guru didasarkan atas kesadaran bahwa mereka sudah lebih dulu mengalami cinta dan kasih Guru yang maha besar atas diri para murid, atas diri manusia.

Memang,  meskipun mengajarkan kelemah-lembutan dan rasa hormat, namun kadang-kadang kata-katanya keras dan bahkan provokatif, terutama terhadap para pemegang kuasa yang menyeleweng, yang mementingkan diri sendiri, mementingkan keluarga, kelompoknya, dan juga yang korup materi dan menyalahgunakan kekuasaan; terhadap para pemuka agama yang munafik, yang menganggap diri paling suci, yang sok saleh,  dan gampang menuding orang lain sebagai orang berdosa, dan kafir; terhadap para pemimpin agama yang memamerkan ibadahnya tetapi tidak mampu mencintai orang lain, tetapi membenci sesama yang tidak segolongan. Guru menyebutnya mereka sebagai pembohong besar.

Penguasa yang menyalahgunakan kekuasaan dan kepercayaan rakyat, sering disebut sebagai “si serigala.” Para pemuka agama disebut sebagai “kaum munafik” yang ingkar janji, yang tidak sejalan antara omongan dan tindakan, yang hanya mencari pujian. Kelompok elite-religius dan politik pun tak luput dari kritikan Guru dari desa ini. Mereka dikritik karena mengeruk keuntungan sebanyak-banyaknya, korup, sementara rakyat hidup dalam kemiskinan.

Karena itu, para pemimpin politik, para pemuka agama, dan tetua masyarakat bersekongkol untuk menangkap dan menyingkirkan Guru yang penuh belas kasih dan pengampun itu. Mereka merasa kewibawaan dan otoritasnya tergerus oleh tindakan dan omongan Guru. Maka, lahirlah konspirasi antara penguasa, pemimpin agama, dan para tokoh politik.

Inilah konspirasi politik dan agama, yang berujung pada ketidakadilan dan penolakan terhadap kebenaran. Perselingkuhan antara politik dan agama, hanya membuahkan ketidakadilan dan kebencian. Konspirasi agama dan politik bisa menggiring agama menjadi alat politik dalam menguatkan kekuasaan hegemonik yang memanfaatkan agama sebagai alat kuasa. Ajaran agama yang semestinya bersifat monastik dan sakral berkembang menjadi entitas profan dengan menempatkan para agamawan sebagai penjaga kekuasaan dari penguasa dengan mengikat pemahaman moral masyarakat secara dogmatik.

Guru paham semua itu. Karena itu, meskipun Guru tidak berpolitik praktis, melainkan menebarkan ajaran cinta kasih, tetapi sikap politiknya sangat jelas yakni memperjuangkan bonum commune, kesejahteraan bersama. Hal itu diwujudkan dengan berjuang membela dan menegakkan keadilan dan kebenaran, sesuai hukum yang berlaku. Keadilan dan kebenaran adalah nilai moral paling dasar dalam kehidupan sosial dan politik. Masyarakat akan sejahtera kalau keadilan ditegakkan. Kebenaran tidak pernah mati atau pudar, meskipun kerap kali dikorbankan. Sebab, veritas filia temporis, non auctoritatis, kebenaran adalah anak zaman, bukannya anak mereka yang berkuasa.

Sikap politik semacam itu jelas menegaskan bahwa Guru mengartikan berpolitik itu sebagai pelayanan. Berpolitik itu melayani. Dalam hal ini melayani orang lain demi terwujudnya kesejahteraan. Dalam rumusan lain, Guru sering mengatakan, berpolitik itu artinya membuat orang menjadi sejahtera, menikmati keadilan, merasa diuwongke, merasa diperhatikan, merasa dipedulikan, dan tidak merasa dimarjinalkan–meskipun miskin, meskipun kelompok minoritas di tengah mayoritas. Semua itu diwujudkan bukan dengan cara-cara kekerasan, melainkan dengan semangat cinta-kasih. Sebab, setiap orang—tidak peduli siapa—diciptakan oleh tangan mahacinta yang sama.

Persaudaraan (Ilustrasi: Istimewa)

Bahkan, ketika tubuhnya pada akhirnya tergantung antara langit dan bumi di puncak Bukit Golgotha, disalib,  sikap politiknya yang dilandasi semangat cinta-kasih dan pengampunan demi terwujudkan keadilan dan kebenaran, masih dinyatakan dan diwujudkan. “Ya Bapa, ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat,” doa Guru memohonkan pengampunan bagi semua orang yang mengkhianati, menyiksa, menghina, merendahkan martabatnya, dan memutuskan untuk disalib.

Di salib, hidup Guru berakhir. Tetapi, bagi Guru, kematiannya bukanlah sebuah kekalahan, melainkan sebuah kemenangan: kemenangan cinta. Karena Guru mencintai, tidak hanya sampai terluka, bahkan sampai mati. Dari puncak Bukit Golgotha, Guru mewariskan cinta–kasih, sebagai sumber utama kekuatan yang menggerakkan hati dan pikiran manusia.

Dan kini, semua muridnya dan siapa pun  yang memiliki kehendak baik diuji, apakah dalam hati dan pikirannya masih ada cinta-kasih ketika menyaksikan dunia, negara, masyarakat di sekitarnya diporak-porandakan pandemi Covid-19? Apakah mereka hanya akan berdiri di pinggir jalan, seperti melihat guru berjalan terseok-seok memanggul salib menuju puncak Golgotha, atau menyingsingkan lengan baju membantu mereka yang sangat membutuhkan bantuan?

Dari puncak Golgotha, kasih itu mengalir ke segala penjuru, bagaikan sungai yang tidak pernah kering airnya. ***