
Fungsi paling mendasar dari sebuah pemerintahan adalah untuk menjaga rakyatnya tetap aman; aman dari berbagai macam bahaya. Misalnya, bahaya kelaparan, bahaya kebodohan, bahaya serangan teroris, bahaya banjir, dan berbagai macam bahaya yang mengancam ketentraman dan jiwanya. Tentu, di sini termasuk aman dari ancaman penyakit yang mematikan. Dari sinilah pemerintah memperoleh otoritasnya; memperoleh kepercayaan dari rakyat dan mendapatkan legitimasinya.
Dan, ternyata pandemi Covid-19 ini mampu membongkar, menelanjangi pemerintahan di banyak negara dalam banyak bidang. Misalnya mengungkap kelemahan mulai dari tata-kelola kesehatan masyarakat hingga perlindungan keselamatan bagi para pekerja; juga menyangkut masalah jaminan kesejahteraan rakyat, bahkan sampai pada degradasi lingkungan.
Pandemi Covid-19 juga telah mampu memotret secara detail tentang bagaimana para pemimpin negara menghadapi pandemi Covid-19. Ada pemimpin negara yang menganggap pandemi Covid-19 hanyalah sekadar “flu biasa” atau istilahnya “little flu”. Itulah sikap meremehkan yang ditunjukkan oleh Presiden Brasil Jair Bolsonaro yang mengidolakan Donald Trump.
Padahal, menurut berita BBC News tanggal 14 Mei lalu, korban covid-19 di Brasil tercatat 233.142 orang ( di bawah AS, Rusia, dan Inggris), dan jumlah yang meninggal 15.633 orang. Seminggu lalu, jumlah orang yang meninggal adalah kelima terbanyak di dunia! Dan, Bolsonaro tetap “belum sadar” betapa bahayanya covid-19.
Sama dengan idolanya, Donald Trump yang menganggap enteng pandemi Covid-19. Ketika pandemi Covid-19 telah menyebar ke seluruh dunia, Trump berkali-kali mengulangi ucapannya bagaikan mantra: Itu akan hilang. Sejak Februari Trump mengatakan virus itu akan “hilang” setidaknya 15 kali, paling akhir 15 Mei lalu. “Suatu hari akan menghilang,” katanya pada 27 Februari. “Ini seperti keajaiban” (CNN. 21/5).
Padahal sudah lebih dari 1,5 juta rakyanya menjadi korban Covid-19 dan lebih dari 95 ribu meninggal dunia sampai hari Jumat (22/5). Menurut The New York Times, Rabu (26/6) korban tewas, 98.100 orang.
Trump malah membuat pernyataan tak masuk akal berkait dengan banyaknya korban Covid-19 di negerinya dan AS menduduki peringkat pertama. Ia mengatakan bahwa hal itu sebagai “lencana kehormatan” bagi AS karena menunjukkan bahwa AS telah melakukan banyak pengujian. Bolsonaro tak jauh berbeda, menanggapi banyak rakyat mati kena Covid-19, secara enteng mengatakan, “Kita semua akan mati suatu hari nanti.”

Jerman Geser AS
Tetapi, di tengah krisis kemanusiaan yang melanda dunia saat ini, masih “tersisa” beberapa pemimpin yang menunjukkan sifat kenegarawanannya. Sebut saja, misalnya, Kanselir Jerman Angela Merkel, Perdana Menteri Selandia Baru Jacinda Ardern, dan PM Finlandia Sanna Mirella Marin.
Jacinda Arden, misalnya, dengan begitu simpatik menyampaikan pesan-pesannya kepada rakyatnya lewat jumpa pers yang tidak menggebu-ngebu atau lewat Facebook Live videos. Pesannya jelas, “Tetap tinggal di rumah, selamatkan nyawa.” Ia mendesak warga Selandia Baru untuk saling menjaga antar-tetangga, merawat yang rentan, dan berkorban demi kebaikan bersama yang lebih besar. Dengan cara itu, Arden mampu menyatukan seluruh rakyatnya (The Guardian, 25/4).
Ketika orang, rakyat Jerman, merasa sangat tidak aman akan masa depan karena pandemi Covid-19, mereka mencari perlindungan dan lebih banyak kepastian dari pemerintah. Dan, hal itu diberikan oleh Angela Markel. Ia tidak banyak bicara. Doktor dalam kimia kuantum, menyajikan fakta-fakta suram pandemi sambil juga menawarkan jalan keluar.
Dia merujuk latar belakang Jerman Timurnya dan kesulitan pernah dialami dahulu karena kebebasan bergeraknya sangat dibatasi. Tetapi Merkel menjelaskan mengapa pembatasan pergerakan, mobilisai perlu dilakukan, dan rakyat Jerman mendukungnya.
Merkel diakui sebagai “manajer krisis yang sesungguhnya.” Menurut data sampai tanggal 22 Mei, jumlah korban Covid-19 di Jerman, 179.410 orang dan 8.325 meninggal serta 159.000 sembuh (www.worldometers.info). Itulah sebabnya, Jerman dipuji dunia karena keberhasilannya menangani pandemi Covid-19.
Hal itu bukan hanya karena pendekatan Merkel yang tenang dan juga dukungan rakyat (yang sangat beda dengan banyak negara), tetapi juga sistem kesehatan negeri itu memiliki sumber daya yang baik, sehingga bahkan rumah-rumah sakit di Jerman menerima pasien dari negara-negara Eropa lainnya.
Banyak pihak menilai pidato Merkel sangat terukur. Ini sangat berbeda dengan Trump yang riuh dan membuat pasar saham goncang, dan para ahli kesehatan pun khawatir, serta rakyat semakin bingung. “Berapa banyak orang yang kita kasihi akan kehilangan kita?” tanya Merkel, dalam salah satu pidatonya yang paling emosional, pada 18 Maret sambil mengingatkan bahwa pandemi Covid-19 merupakan tantangan terberat sejak 1945.
“Adalah jerih payah kita sendiri yang akan menentukan akhir dari krisis ini. Saya yakin bahwa kita akan berhasil bertindak secara bertanggung jawab untuk menyelamatkan nyawa,” kata Merkel.
Pidato Merkel itu menyatukan seluruh rakyat Jerman. Bahkan, Gubernur Baden-Wuerttemburg, Winfried Kretschmann dari Partai Hijau saingan partainya Merkel, CDU, memuji Merkel dan membandingkan dengan apa yang terjadi di AS.
Di AS para gubernur berjalan sendiri-sendiri, membuat kebijakan sendiri, karena pada awalnya pemimpin tertinggi AS, Trump, menganggap remeh, pandemi Covid-19 (CNN, 16/4). Maka hasilnya pun berbeda. Merkel tak banyak bicara, tapi hasil kerja nyata.
Tidak aneh karenanya, kalau sekarang dunia tidak melihat AS sebagai pemimpin global tetapi melihat Jerman dengan Angela Merkelnya. Bahkan, China pun, semakin tampil meyakinkan di panggung dunia. Tetapi, Trump tetap mengatakan bahwa AS—menurut Trump diungkapkan oleh Merkel dan juga PM Jepang Shinzō Abe—tetap pemimpin dunia.
Ujian Pemimpin

Para pemimpin di banyak negara, juga para politisi serta para pemimpin agama, menyerukan pada rakyatnya, umatnya agar tetap tinggal di rumah untuk memutus mata-rantai penyebaran pandemi Covid-19. Tetap tinggal di rumah, artinya kehilangan kebebasan untuk bergerak, juga kebebasan untuk bekerja, terutama yang tidak bekerja kantoran. Ini adalah sebuah pengorbanan, pengorbanan nasional.
Semua itu tidak pernah terpikirkan, terbayangkan sebelumnya. Sama seperti pandemi flu Spanyol 1918-1920, yang dicatat dalam sejarah sebagai pandemi paling mematikan: menginfeksi sekitar 500 juta orang di seluruh dunia — sekitar sepertiga dari populasi planet ini — dan menewaskan sekitar 50 juta-100 juta antara 1918-1920 ((Johnson and Mueller, 2002). Flu 1918 pertama kali diamati muncul di Eropa, AS, dan beberapa bagian Asia sebelum menyebar dengan cepat ke seluruh dunia.
Ketika itu, banyak orang yang terpapar karena kebijakan pemerintah gagal menghentikan penyebaran. Apalagi ditambah, pemulangan pasukan dari medan perang. Apalagi, pada saat itu, tidak ada obat atau vaksin yang efektif untuk mengobati jenis flu yang mematikan ini. Warga diperintahkan untuk mengenakan topeng, sekolah, teater, dan bisnis ditutup dan mayat-mayat ditumpuk di kamar mayat karena tidak ada tempat lagi.
Sejarah telah mencatat bahwa krisis telah menjadi katalisator untuk perubahan besar, baik itu pribadi maupun struktural. Sebagai contoh, sistem kesehatan masyarakat disusun, dibentuk setelah pandemi flu 1918. Kebijakan kesejahteraan sosial yang luas diciptakan setelah Perang Dunia II. Apa yang akan terjadi setelah pandemi berakhir. Apakah kita semua belajar dari sejarah atau bersikap masa bodoh.
Satu hal yang kiranya perlu dicatat adalah informasi yang baik, disampaikan secara baik—seperti yang dilakukan oleh mislnya, Merkel atau Arden atau, Sanna Mirella Marin, atau Presiden Taiwan Tsai Ing-wen atau Perdana Menteri Denmark, Mette Frederiksen–adalah kunci untuk pengendalian penyakit. Buruknya komunikasi politik dari pemerintah akan berdampak buruk pula pada upaya pemutusan rantai penyebaran. Sejumlah pemimpin negara lain bisa menjadi contoh tentang hal itu.
Jadi, pada akhirnya, kepemimpinan memegang peranan sangat penting dalam usaha memutus mata rantai penyebaran pandemi Covid-19 ini. Pemimpin yang sesungguhnya akan benar-benar diuji dalam kondisi krisis seperti sekarang ini. “Seorang pemimpin adalah pemberi harapan,” begitu kata Napoleon Bonaparte. Tentu, bukan harapan kosong.***
Semoga pemimpin kita punya kepemimpinan yng mampu menyelamatkan rakyatnya.
Keren, muantaps dan memberi pencerahan dakam menilai sosok pemimpin ato pemimpi……?
Terima kasih Om….semoga bermanfaat
Ternyata lawan politik tidak selalu menyalahkan pemimpin yang syah. Dengan mendukung lawan yang bertindak bijaksana justru menunjukkan lawan politik yang kesatria.
Kenapa ya kualitas politikus di negaraku tidak semakin baik?
Itulah peer kita bersama…untuk memilih, dan melahirkan para politikus yang baik, beretika, bermoral…dan benar-benar mementingkan bangsa dan negara
Bagus2 mantab n Ispiring.
Pakde, matur sembah nuwun…paringi masukan…
Amin…Ki Ageng…semoga demikian..
matur nuwun
Tulis juga ttg bagaimana pemimpin membuat kebihakan publik terkait krisis. Akan jadi catatan sejarah manajemen krisis.
Matur nuwun idenya..nanti lain waktu moga-moga bisa menulisnya. Bener itu.
Nuwun..salam
Orang selalu menunggu kapan perang dunia ketiga akan terjadi. Dalam revolusi ke empat ini, tak disangka kita telah memasuki revolusi kelima. Dimana manusia kembali menjadi penggeraknya bukan lagi mesin, robotik atau internet. Perang pandemik adalah perang dunia yang sdh kita nantikan tapi ketika datang bagai tamu yang tak diundang. Maka kita butuh pemimpin digaris depan sebagai jendral di medan perang. Seperti yang disampaikan mas Trias ternyata pemimpin yang mumpuni dalam revolusi kelima ini adalah perempuan pemimpin yang mampu melihat persoalan. Salut……
Ternyata demikian, Mbak Atik…negara-negara yang dipimpin perempuan lebih hebat dan berhasil dalam menghadapi pandemi covid-19 ini….banyak contohnya.
Terima kasih Mbak….
Kalau saja RI punya pemimpin yang baik, apa bisa seperti Jerman? Rakyatnya pada ngawur.
Memang, di negeri ini….masalah disiplin dan ketaatan menjadi persoalan utama..yang memberikan andil besar terhadap lambatnya memutus mata rantai pandemi covid-19…juga dalam banyak hal…
tentu, tetap dibutuhkan pemimpin yang baik, jujur, pekerja keras, dan hebat….dan saya yakin pemimpin seperti itu ada di negeri ini…..
Apik mas.. ??
Seratan sae, Mas ias. Para pemimpin kita kedah maos niki.
Tulisan yang baik mas Trias, terimakasih boleh membaca.
Terima kasih banyak, Suster…sudah meluangkan waktu untuk membaca.
Salam.
Mugi-mugi Mas Agoes…
matur nuwun sanget….
Wabah ini sama dengan perang. Perlu pemimpin yang kelihatan tiap hari. Seperti jenderal yang berdiri tegak terlihat semua anggota pasukannya… Teriak menyuruh gempur sana sini. Menyuruh mundur kalau perlu. Menjelaskan kalau ada kekalahan. Untuk diperbaiki… Membakar semangat anak buah, agar tidak patah hati atau kecil hati. Terangkan, langkah apa yang akan dilakukan… Bagaimana kemungkinan2nya.
Semoga ada pemimpin seperti itu dalam perang ini. Jangan seolah tidak ada pimpinan. Semua berjalan sendiri2.
Sepakat…ini memang perang…yang membutuhkan pemimpin yang berbdiri di baris paling depan, benar-benar menjadi komandan..
Semoga perang segera selesai.
Terima kasih banyak…telah membaca dan memberikan komenter…salam
Mas, tulisan ini mencerahkan, bukannhanya untuk pemimpin negara, tetapi konten intinya juga bisa direfleksikan untuk pemimpin-pemimpin apa saja.
Siap, Romo…semoga ada gunanya.
Terima kasih banyak….meluangkan waktu untuk membaca….
Suwun Ben….salam
Mudah2n pemimpin bangsa Indonesia membaca tulisan yg sangat bagus ini. Tetap menjadi manusia Indonesia. Salam merdeka
Amin…semoga demikian…salam
Menjadi studi yang menarik jika kepemimpinan Merkel di sandingkan dengan kepeminpinan di Asia Tenggara Mas
Wah, apik kuwi…coba..dicari bahannyannya ..besok kita tulis…nuwun idenya.
salam
Ibaran ujian, soal ujiannya sama. Kini pemimpin dunia menyelesaikan dengan caranya sendiri menurut kondisi negaranya masing-masing. Semoga pemimpin negeri ini dapat mencari solusi terbaik untuk rakyatnya. Tulisan menarik Mas Ias.
Semoga demikian, Andy…kita semua, rakyat, mengharapkan yang terbaik dari para pemimpin kita untuk membawa negeri ini kelaur dari krisis.
salam
Semoga badai covid ini segera berlalu
BEner Ed…semoga cepet berlalu
Bener Ed, semoga cepat berlalu….
Semoga badai covid ini segera berlalu …
Perlu kerja sama semua pihak, Ed…termasuk kita
Reflektif. Kita jadi bisa mengukur bagaimana pemimpin negara2 di luar yang diceritakan Mas Trias ?
Iya, betul….Kita bisa melihat yang berhasil…karena apa…dan yang gagal karena apa? lalu, bagaimana kita?
Salam.
Semoga pemimpin kita bisa diandalkan untuk memerangi covid 19
Semoga pemimpin kita bisa diandalkan untuk memerangi covid 19
Orang selalu menunggu kapan PD ketiga akan terjadi, karena ada PD satu dan dua adalah perang adi daya militer dan politik.
Ketika hari-hari ini kita menghadapi perang pandemik di seluruh dunia kita tak sadar bahwa perang dunia ketiga sdh datang bagai tamu tak di”undang”. Dan dia menyentuh justru pada inti manusia dan lingkungan hidup pada masa revolusi industri yang kelima. Hanyalah para pemimpin negara yang menjadi jendral perang digaris depan. Seperti kata mas Trias, “negara dg pemimpin perempuan”lah yang ternyata lebih memahami dan peka terhadap revolusi kelima ini. Salut mas Trias…….
Ternyata demikian, Mbak Atik…negara-negara yang dipimpin perempuan lebih hebat dan berhasil dalam menghadapi pandemi covid-19 ini….banyak contohnya.
Terima kasih Mbak….
apiik ki, “menyajikan” kepemimpinan nasional kita secara implisit. shg bisa juga jadi tangkisan mereka yg nyonyar nyinyir melulu…. siiiip mgr!
Matur nuwun, Mgr…mugi-mugi..migunani…
Terima kasih Pak IAS. Pengorbanan nasional. Sehat slalu, Pak IAS
Siap IKI…tetap semangat ya di Cirebon…saya tunggu tulisan-tulisanmu yang hebat….dan inspiring…
Mabruk xx ms Ias. Slm
Sukron, Pak Kiai…
Terima kasih banyak….telang meluangkan waktu membaca…
Terima kasih