Ilustrasi: Istimewa

Apa yang akan aku katakan ini barangkali tidak begitu penting bagimu. Tetapi, sebagai murid kamu harus tetap mendengarnya, dan berkewajiban untuk merenungkannya. Karena itu, dengarkanlah dan catatlah di dalam hatimu masing-masing.

Sebab, kelak di kemudian hari bila kalian sudah meninggalkan padepokan ini dan hidup di tengah masyarakat, merasakan serta menghadapi keras dan getirnya kehidupan, kalian akan ingat apa yang kukatakan ini.

Eyang Guru, berhenti sejenak. Memejamkan matanya. Menarik napas panjang. Mungkin ia merasakan atau memikirkan sesuatu, yang tidak kami pikirkan dan kami rasakan, karena ketumpulan nalar, budi, dan hati kami.  

Kami semua, para murid, diam saja. Menunggu. Menunggu dengan setia. Kami sudah dilatih untuk setia menunggu. Dulu Eyang Guru pernah mengatakan, jadilah seperti bunga sakura. Bunga sakura setia selalu hadir pada musimnya. Atau, tirulah bunga matahari. Bunga matahari adalah lambang kesetiaan. Ia setia mengikuti matahari dari terbit hingga terbenam, dari timur hingga barat.

Kesetiaan itu, kata Eyang Guru pada ketika yang lain, susah untuk dilakukan dan didapat. Bahkan sejak zaman dahulu, kesetiaan itu bukanlah hal yang gampang dilakukan dan didapat.

“Mereka berkata dusta, yang seorang kepada yang lain, mereka berkata dengan bibir yang manis dan hati yang bercabang. Banyak orang menyebut diri baik hati, tetapi orang yang setia, siapakah menemukannya?” kata Eyang Guru.

Ada yang mengatakan,  akan sulit menemukan kesetian dalam dunia politik. Dalam dunia politik yang setia adalah kepentingan. Ini adalah salah satu paradigma, pengertian politik. Paradigma yang banyak diketahui dan juga dipraktikkan.

Dalam pengertian ini politik dipahami hanya semata dalam aspek kekuasaan: penyelenggaraan kekuasaan, pemilihan, pertahanan, perebutan, penikmatan, pelestarian, status-quo kekuasaan, menambah kekuasaan, dan sebagainya. Semuanya serba berkaitan dengan bagaimana memperoleh, memperbesar, dan mempertahankan kekuasaan.

Ilustrasi: Istimewa

Dengan kata lain, segala sesuatunya menyangkut soal power, atau might, kekuasaan atau  politik kekuasaan. Dalam hal ini, kiranya termasuk kekuasaan mental, spiritual, rohani, agama, yang kesemuanya berciri pemaksaan atau hegemoni kehendak oleh pihak yang lebih kuat kepada yang lemah.

Masyarakat umum, bisanya mengartikan politik hanya dalam artian tersebut. Oleh karena itu, tidak aneh kalau kemudian muncul ujar-ujaran “politik itu kotor.”

Padahal, ada paradigma, pengertian kedua tentang politik. Pengertian ini sebenarnya lebih  sesuai kodrat alam manusia dan masyarakat, namun kurang populer. Yakni, mengusahakan terciptanya kesejahteraan umum, kesejahteraan bersama baik jasmani maupun rohani.

Oleh karena disebutkan sebagai untuk “kepentingan bersama”, maka itu berarti bukan untuk kepentingan golongan tertentu, golongan sendiri, kelompok tertentu, kelompok sendiri, atau bahkan agama tertentu. Bukan!

Tetapi, untuk kepentingan dan kesejahteraan umum semua warga, bahkan universal, semua bangsa, tanpa pandang siapa dan golongan, partai, suku, ras, agama, atau ideologi tertentu. Pendek kata, merupakan kesejahteraan dalam arti luas.

Tentu untuk mewujudkan terciptanya kesejahteraan umum itu diperlukan kecerdasan  dan kecerdikan dalam hal memahami arti kekuasaan; paradigma pertama dari politik. Bahkan, perlu kecerdikan dalam perjuangan menegosiasikan arah kinerja kekuasaan. Karena itu, tidak jarang, untuk mewujudkan kesejahteraan bersama itu diperlukan kekuasaan.

Tentu kekuasaan hanyalah alat, bukan tujuan. Oleh karena kekuasaan itu alat, maka kekuasaan hanya berguna atau tidak berguna, menjadi alat pembangun atau penghancur sangat ditentukan oleh pemegangnya, oleh yang mengendalikannya. Kalau setia pada tujuan utama dan tujuan mulia politik, maka kekuasaan itu diarahkan untuk menciptakan kesejahteraan bersama. Itulah politik yang benar, itulah berpolitik yang sesungguhnya.

Akan tetapi, kalian semua jangan mudah kaget, jangan pula mudah heran, aja gumunan, aja kagetan bahwa dalam kehidupan kita sekarang ini, dunia politik menjadi seperti hutan rimba. Di hutan rimba berlaku hukum survival of the fittest, yang kuat dialah yang akan menang. Itu hukum rimba. Tentu, di hutan rimba tidak ada lagi kesejahteraan bersama. Yang ada adalah saling memangsa.

Sudah barang tentu, bukan demikianlah seharusnya. Politik sesuai dengan tujuan luhur dan mulianya, semestinya menanamkan kerukunan dan persaudaraan, saling mendukung agar maju dan berkembang, membangun iklim budaya mulia, budi pekerti tinggi.

Politik seharusnya menyemarakkan keindahan seni serta cita-rasa yang berbudaya, yang memupuk kesetiakawanan dan menumpas sifat-sifat egoisme individualis maupun kolektivisme. Inilah sebetulnya politik dalam arti asli kodrat alami, demi kehidupan dan penghidupan bersama yang sejahtera umum atau politik dalam dimensi moral  dan juga iman.

Ilustasi: Istimewa

Beberapa detik, Eyang Guru berhenti bicara dan melemparkan pandangan matanya kepada kami, para murid, yang duduk di depannya. Lalu melanjutkan bicaranya:

Ingatlah, jika politik kejahatan menguasai diri seseorang, atau menguasai mereka, maka seseorang itu atau mereka pada gilirannya bisa menyebarkan kejahatan pada setiap orang di sekitarnya, yang ditemuinya, yang dihubunginya. Kejahatan bagaikan virus yang begitu cepat menyebar ke mana-mana. Nafsu jahat akan cepat beranak-pinak, apalagi nafsu kekuasaan. 

Mengapa orang meninggalkan asli kodrat alami, sebagai ciptaan yang paling luhur? Padahal, ada banyak orang suci yang sudah berjalan di depan kita untuk membimbing arah dan jalan kita. Mereka menjadi suci karena setia; setia pada yang disembah. Ada yang mengatakan, mereka sudah sampai pada tahap martabat makrifat.  

Seandainya kita semua sudah sepenuhnya menghayati kepercayaan bahwa yang kuasa adalah Allah; bahwa DIA lah yang menghidupi, menjiwai, dan juga menggerakkan segala-galanya, maka tidak mungkin kita tenggelam dalam lautan kegelisahan, berebut harta dan kuasa dengan menghalalkan segala cara seperti yang kita lihat di sekitar kita, sehingga menimbulkan kebencian dan dendam yang tiada titik akhirnya.

Para leluhur dahulu mengatakan mengapa bisa menjadi orang suci, karena mereka benar-benar sudah memahami hakikat hidup, bisa mati sajroning urip, lan urip sajroning pejah. Artinya yang hidup tetap hidup, tetapi yang mati adalah hawa nafsunya, nafsu lahiriyahnya, termasuk nafsu kebencian dan dendam.

Bisa dikatakan, orang yang tidak bisa mengendalikan atau menguasai nafsu berarti sudah mati. Dan, sebaliknya, jika orang hidup tanpa nafsu, juga berarti orang itu sudah mati. Mengapa demikian? Karena hidup manusia itu cakra manggilingan, berputar, silih berganti kadang di atas, kadang di bawah, kadang di sisi kiri, kadang di sisi kanan. Tetapi, kerap kali ada yang mbedhal, keluar dari putaran dan dikendalikan oleh nafsu-nya sendiri, nafsu ketamakan, termasuk ketamakan akan kekuasaan. 

Ilustrasi: Istimewa

Itulah yang dahulu digambarkan oleh Raden Ngabehi Ranggawarsita dalam Serat Kalatida. Ranggawarsita menulis amenangi zaman edan, mengalami hidup di zaman edan, karena dunia zaman itu dikuasai oleh nafsu ketamakan dalam berbagai bentuk.

Kini, zamannya sudah berubah. Yang dibutuhkan adalah keberanian untuk amerangi, memerangi zaman edan. Jadi amerangi zaman edan, memerangi zaman edan. Zaman edan yang menghasilkan para pemimpi ini,  tidak bisa dibiarkan saja. Harus diperangi.

Dulu, Ranggawarsita menulis serat tersebut untuk menyindir lingkungan istana ataupun kekejaman pemerintah kolonial Belanda. Sekarang, meskipun ratune ratu utama/patihe patih linuwih, ….rajanya raja baik hati dan pemurah, wakilnya pun jujur dan cakap… tetapi, masih saja ada yang tidak peduli pada semua itu; asyik dengan dirinya sendiri, dengan dunianya sendiri, hidup dalam dunia mimpi.  Mereka bermimpi seperti melihat kesempatan. Padahal mimpi saat tidur sore hari….

Memang, di setiap krisis, ada kesempatan; memunculkan kesempatan. Tetapi, tentu bukan menggunakan kesempatan dalam kesempitan—dalam kondisi krisis karena pandemi Covid-19–untuk mencari keuntungan diri atau kelompoknya, untuk pemuas rasa kebencian dan dendam yang belum terbayar. Tidak ada yang salah dengan mengambil kesempatan dalam kesempitan, sejauh itu untuk tujuan yang baik dan positif, yang berguna bagi banyak orang, kesejahteraan bersama.

Sungguh tidak terpuji memanfaatkan kondisi krisis untuk untuk memuaskan narsisisme-nya.  Artinya, hanya memikirkan bagaimana bisa mendapat untung bagi dirinya sendiri, bagi kelompoknya, bagi golongannya, bagi egonya.

Bila demikian adalah sangat disesalkan bahwa ada orang bersikap acuh tak acuh terhadap kebutuhan orang lain, tujuan bersama; ada orang  yang cenderung hanya memikirkan kebutuhan diri sendiri, dengan dalih untuk tujuan ilmiah, misalnya, atau kebebasan berpendapat dan mengemukakan pendapat, atau alasan yang lain.

Andai saja sufi kondang Jalaluddin Rumi mendengar dalih itu, ia akan mengatakan, “Jual kepintaranmu, beli ketakjuban. Kepintaran hanyalah opini, ketakjuban adalah intuisi.” Kepintaran akal itu hambatan, nalar kadang menipu. Hati tak pernah salah dan kurang.   

Lebih berat lagi, kalau nafsu untuk memuaskan narsisismenya itu dilandasi oleh sikap pesimistis. Mereka yang dikuasai rasa pesimisme adalah mereka yang hanya mengeluh tanpa akhir. Selalu mengatakan,  “tidak ada yang berjalan baik di masyarakat, politik, pemerintahan, …” Karena itu, semua harus dibongkar, disingkirkan….

Seorang pesimis marah kepada dunia. Tetapi, ia (mereka) hanya duduk saja dan tidak melakukan apa-apa, kecuali berteriak-teriak mencari kambing hitam atas situasi yang terjadi. Dalam krisis saat ini, adalah  sangat merusak kalau “melihat segala sesuatu di dunia ini sebagai cahaya terburuk dan terus mengatakan bahwa tidak ada yang akan kembali seperti sebelumnya.”

“Mereka adalah pemimpi, yang harus segera bangun, melipat sarung atau selimutnya. Dan buru-burulah masuk ke kamar mandi untuk cuci muka dan gosok gigi,” kata Eyang Guru, yang membuat kami semua menahan tawa. ***