
Guru, mengapa kali ini kita tidak mengadakan lomba panjat pohon pinang, seperti setiap kali tujuh-belas-agustusan, untuk menghibur warga sekitar padepokan? tanya seorang murid, begitu Guru duduk.
Bahkan Guru, saya melihat upacara bendera di istana pun, begitu sederhana. Pangibar bendera hanya tiga orang. Yang hadir sedikit. Meskipun, tetap sangat menarik dan anggung, nges, sekaligus mengharukan. Yang hadir mengenakan pakaian adat daerah, pakaian nusantara, termasuk Presiden dan Wapres.
Yang menarik, Guru, upacara digelar secara virtual. Hanya undangan terbatas yang dapat mengikuti upacara langsung di Halaman Istana Merdeka. Yang tidak diundang, baik mantan presiden maupun wapres mengikuti upacara secara virtual. Tak hanya itu, Istana juga mengundang masyarakat untuk ikut dalam upacara virtual tersebut dengan menyebarkan undangan sebanyak 17.845.
Ini pertama di dunia, Guru. Upacara perayaan hari kemerdekaan secara virtual. Tetapi, Guru, bagi kami rakyat tetap ada yang kurang: tidak ada berbagai macam lomba, seperti lomba panjat pohon pinang, lomba makan kerupuk.
Ya, semua tidak ada, kata Guru. Kalaupun ada, kecil-kecilan saja. Inilah salah satu bentuk keprihatinan. Kita sedang prihatin. Semua harus menahan diri—tidak hanya dalam hal pelaksanaan upacara agustusan—tetap termasuk menahan hawa nafsu, mengendalikan hati dan pikiran, mulut dan jari-jari tangan agar tidak asal ngomong dan nulis sembarangan yang bernada kebencian, hoaks, permusuhan, dan segala hal yang membuat situasi keruh.
Mengapa kita prihatin? Karena pandemi virus-19, belum selesai. Tidak hanya negeri kita yang prihatin, tetapi juga negara-negara di seluruh dunia. Karena itu, perayaan peringatan Hari Kemerdekaan yang jatuh pada angka istimewa, 75, tidak perlu dengan pesta mewah, gegap gempita, dan meriah.

Kita semua merasakan, bukan, bahwa sepi menguasai suasana agustusan kali ini. Coba, kalian lihat di kampung-kampung sekitar padepokan ini. Di desa-desa, sepi. Di kampung-kampung, sepi. Di kota-kota juga sepi. Tetapi, suasana sepi itu semestinya tidak mengurangi keagungan perayaan, kemeriahan hati seluruh rakyat.
Kalian ingat, banyak orang memburu sepi. Mereka pergi ke hutan, ke gua-gua di pantai, ke biara-biara bersemedi, bertapa agar bisa mencapai puncak segala tujuan spiritualisme. Kepada sepi, mereka meminta pertolongan. Sepi memang menjadi jalan keluar banyak persoalan hidup manusia.
Kita merayakan agustusan kali ini dengan penuh suasana sepi, keheningan, namun bahagia. Kebahagiaan yang sepi ini menjadi saat untuk merenung; merenungkan apa yang sudah kita semua lakukan dan berikan kepada negara. Bukan sebaliknya, apa yang sudah kita ambil dari negara. Inilah saatnya, merenungkan perbuatan-perbuatan yang tidak baik untuk diperbaiki.
Di dalam situasi yang belum normal ini dan di saat begitu banyak orang menderita karena pandemi covid-19, entah secara langsung atau tidak langsung, perayaan peringatan hari kemerdekaan semestinya digunakan untuk kembali mempererat semangat kebangsaan, semangat persaudaraan sebagai saudara sebangsa dan setanah air.
Ini kedengarannya klise. Tetapi, itulah jalan kebangsaan. Peringatan hari kemerdekaan dirayakan dengan penuh keheningan. Maka kita diajak untuk mengheningkan cipta.
Lalu apa artinya kemerdekaan, Guru, kalau semuanya serba sepi?
Sudah pernah kukatakan, kata Guru, sejarah menceritakan, para Bapak Bangsa rela dan tulus hati membuang jauh-jauh dan menanam dalam-dalam nafsu diri, egoisme, kepentingan diri, kepentingan kelompok, kepentingan golongan, kepentingan agama demi berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Mengapa demikian? Sebab, kemerdekaan hanya bisa dicapai bila manusia terbebas dari belenggu nafsu diri, bukan hanya terbebas dari kekuasaan tangan-tangan penjajah. Bukankah kemerdekaan menjadi panggilan tertinggi dalam hidup manusia?
Ada seorang teolog kondang yang mengatakan, kemerdekaan manusia adalah tahap kemanusiaan tertinggi. Itulah sebabnya, manusia sangat rindu akan kemerdekaan. Maunya lepas, bebas, merdeka.
Hanya saja, tidak jarang manusia mendukung kemerdekaan dengan cara yang salah. Manusia mengartikannya sebagai kesewenang-wenangan untuk berbuat sesuka hatinya, semau gue, sak karepe wudele dewe, termasuk membangun nafsu kebencian terhadap sesama yang dianggap telah merugikan dirinya, yang mengecewakan, yang tidak memberi kesempatan dan peluang, dan sebagainya.
Mereka yang mengartikan kemerdekaan sesuka hati itu lupa bahwa kemerdekaan yang sejati merupakan anugerah yang paling mulia dari Sang Khalik. Tetapi, itu bukan berarti karena merdeka, lantas bertindak semuanya sendiri.

Memang, seperti dikatakan oleh John Locke (1632—1704), seorang filsuf, manusia dalam keadaan alamiah adalah bebas merdeka mengatur tindakan mereka, mempergunakan barang miliknya tanpa perlu izin dan tidak tergantung pada kehendak siapapun.
Namun, John Lock mengingatkan, meskipun manusia leluasa menggunakan diri dan barang miliknya, manusia tidak mempunyai kebebasan menghancurkan dirinya sendiri ataupun makhluk lain. Kita semua tahu, bukan, kemerdekaan yang kita nikmati ini karena peran orang lain, pihak lain. Orang lain memberikan sumbangan.
Hal penting yang harus kalian semua ingat, kemerdekaan hanya terwujud, kalau manusia merdeka dari pamrih, kehendak sendiri dan kepentingan sendiri. Ada yang mengatakan, sepi ing pamrih, rame ing nggawe.
Ini yang sulit, sepi ing pamrih rame ing nggawe. Bekerja tanpa mencari keuntungan pribadi. Membantu sesama tanpa motif kepentingan diri. Tidak ada motif pribadi dalam dirinya kecuali ibadah dan pengabdian kepada sesama. Bekerja, membantu tidak untuk mencari pujian, mengharap penghargaan, mendamba tepuk tangan, tetapi semua dilakukan secara tulus.
Tetapi, Guru, masih adakah yang seperti itu di zaman sekarang ini? Tanya murid yang duduk paling depan.
Guru mengatakan: Memang, sekarang ini semua diukur dengan imbalan, semua transaksional. Begitu tidak mendapat imbalan, atau mendapat imbalan tidak sesuai harapan, lantas berbicara aneh-aneh ke sana ke mari, lalu mencari dukungan massa untuk melakukan aksi.
Itulah bukan semangat agustusan. Kalian saat lomba balap karung, bertarung gigih untuk mengalahkan lawanmu, bukan musuhmu. Begitu selesai perlombaan, lawanmu dalam lomba menjadi teman lagi, bukan musuh. Itulah semangat yang harus kita bangun sekarang ini.
Sekarang ini, orang pada menciptakan musuh di mana-mana; yang tidak sepaham dijadikan musuh, yang mengecewakan dijadikan musuh, yang tidak satu kelompok dijadikan musuh, yang tidak memberikan sesuai harapan dijadikan musuh, yang tidak memenuhi harapan dijadikan musuh. Masih banyak lagi.

Itu bukan semangat kemerdekaan. Semangat kemerdekaan adalah toleransi dan mengembangkan kebersamaan. Karena negeri ini merdeka sebagai hasil dari kebersamaan, kepedulian antar-sesama. Tanpa kebersamaan, tanpa kepedulian, tanpa toleransi, tidak ada negeri ini.
Ingat, manusia tidak bisa hidup sendirian, sebab jika hanya sendirian manusia tidak “menjadi” manusia. Hanya pulau yang bisa hidup sendirian. Bukankah, manusia dikatakan sebagai mahkluk sosial. Artinya, manusia akan menjadi apa dan siapa, sangat bergantung dengan siapa ia bergaul. Jika ia bergaul dengan pembenci, pembohong, pemfitnah, pendendam, perusuh, ya akan menjadi seperti itu.
Karena itu, mari kita rayakan agustusan ini dengan benar-benar memaknai kemerdekaan sebagai manusia merdeka. Yakni untuk membangun masyarakat lebih manusiawi atau yang lebih sesuai dengan keluhuran martabat manusia secara umum, dan secara khusus, martabat manusia Indonesia yang adiluhung.
Lomba panjat pohon pinang kita adakan lain kali, kata Guru. Lalu,u diam. Memejamkan matanya. Menunduk. Kami pun berlaku seperti Guru. ***
Artinya, manusia akan menjadi apa dan siapa, sangat bergantung dengan siapa ia bergaul. Jika ia bergaul dengan pembenci, pembohong, pemfitnah, pendendam, perusuh, ya akan menjadi seperti itu.
Iki apik..☝️
Sungguh mantab, makna Kemerdekaan. Mtrnuwun mas Trias
Kalau di sebuah negara ada manusia-manusia pembenci, pembohong, pemfitnah, pendendam, perusuh, semuanya bersifat negatif krn akan merusak sendi-sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Ibarat sebuah logam, katakanlah besi (Fe), tidak bisa dimanfaatkan untuk industri. Tetapi ketika dipadu dengan elemen lain dng prosentase terukur & terkontrol, yaitu C (karbon), Si (silikon), Mn (Mn), besi menjadi baja dan terpakai di dunia industri. Ketika baja dipadu dengan Cr (chrom), Ni (Nikel), Cu (tembaga), V (vanadium), dan elemen non-besi lainnya, baja menjadi dan disebut baja tahan karat (stainless steel). Sayangnya baja maupun baja tahan karat selalu mengandung unsur/elemen ikutan atau pengotor (impurities), apalagi yang kategori “Tramp impurities”, unsur pengotor yg bersifat petualang/gelandangan, seperti Sulfur (S) dan Posfor (P) harus dikontrol prosentasenya sekecil mungkin, krn berefek/dampak negatif terhadap sifat/integritas baja maupun baja tahan karat. Jadi warga bangsa yg bersifat negatif (pembenci, dsbnya) sama dengan Tramp Impurities. Merdeka !!!
Terima kasih banyak Mas….informasinya sangat berguna. salam
Matur nuwun, Bu…semoga demikian…..
Salam sehat, Bu..
Bukankah lingkungan berperanan besar dalam pembentukan diri seseorang….
Salam….nuwun
Terima kasih, Pak IAS. Mengejar sepi untuk menyelesaikan masalah
MERDEKA ?????
SEKALI MERDEKA TETAP MERDEKA…..
Hari kemerdekaan yg sepi, diajak merenung untuk mencapai kebahagiaan bersama, Akur guru.
Lomba² ditiadakan karena covid-19 menisbikan semua itu.
Cocok spiritualitas guru ” lomba pada hakekatnya mengalahkan lawan bukan mencari musuh ”
Lanjut nggih Mgr guru….
Sepakat, Mgr…lha untuk apa cari musuh…begitu kan…
Lebih baik berkawan..bisa berhahahehe….salam
Sama-sama Fikri…semoga bisa demikian. Tengkiu
Apik tenan tulisan ini mas Trias.. ?
Nuwun Pak Haji…sukron….
salam
Banyak orang terlalu egois,hanya memikirkan diri sendiri atau kelompoknya. Bahkan masuk ke surga pun sangat egois, karena hanya meikirkan dirinya, tidak dengan anak-istri atau yang lainnya. Ini bentuk egoisme yang sudah keterlaluan.
Menghargai perbedaan kodrat menjadi sesuatu yang semakin sulit karena tidak menghargai keanekaragaman yang berasal dari Tuhan. Orang mau menghapus karya Tuhan yang beraneka ragam itu.
Di balik itu masih ada juga pengharapan, banyak juga orang-orang baik dan menjanjikan keharmonisan hidup bersama.
Semga Indonesia semakin jaya.
Inggih Romo…lha masuk surga kok egois….
Sangat menarik..mau menghapus keanekaragaman karya Tuhan….sepakat dengan istilah ini. matur nuwun
Betul, Romo..masih banyak orang baik dan berjuanga untuk memelihara dan mempertahankan keharmonisan…
Salam Indonesia, tetap jaya
Menarik. Sedikit yang hadir tetapi khidmat akan sangat berarti.
Sepakat, Pak Dubes..benar-benar khidmat…keterlibatan masyarakat di mana-mana dalam berbagai bentuk juga, temasuk mau berhenti berkegiatan selama tiga menit… membanggakan…
Salam….MERDEKA
Bener Pak. Rasane ngenes dipeluk santa corona. Top deh. Salam sugeng makaryo.
Matur Nuwun, Pak….Leres…ini kahanan sampai kapan…tapi sebenarnya tergantung pada ketaatan kita, masyarakat.okeh sing ngeyel…
Salam…matur nuwun
Bagus sekali mas Trias memberikan inspirasi tentang makna kemerdekaan 75 tahun bagi seluruh penduduk di NKRI. Referensi pokok dari Filsfuf Inggris, John Locke dalam buku baku, Two Treatises of Government dan A Letter of Toleration disajikan dengan bahasa yang sederhana dan mengena sekali tentang kondisi Indonesia dan dunia dewasa ini. Tetap sehat dan semangat mas Trias, agar generasi penerus dapat merayakan 100 tahun kemerdekaan NKRI. Amin.
Dimas Nabi, matur nuwun…masih bersedia meluangkan waktu untuk membaca….semoga cerita ini ada gunanya.
Salam..Berkah Dalem
Pelajaran dari Covid19. Sejenak tidak hiruk pikuk untuk berrefleksi, bowo raos. maws diri, ngrogoh sukma. Tapi banyak juga yang masih maunya terus hiruk pikuk.
Seharusnya demikian…ini saat untuk mawas diri…tetapi, itulah repotnya ada yang maunya sendiri…
Tulisan yang sangat bagus, semoga pembaca mampu memaknai goresan pemikiran maha guru ias, sehingga mampu menjelaskan kepada anak bangsa yang masih memiliki sifat ketamakan dan egois yang sombong dan dipelihara. Merdeka
John Lock mengingatkan, meskipun manusia leluasa menggunakan diri dan barang miliknya, manusia tidak mempunyai kebebasan menghancurkan dirinya sendiri ataupun makhluk lain. Kita semua tahu, bukan, kemerdekaan yang kita nikmati ini karena peran orang lain, pihak lain. Orang lain memberikan sumbangan.
Itulah yang tidak atau kurang dipahami banyak orang…dikiranya bebas itu …bebas sebebas-bebasnya tak peduli orang lain…
Salam…terima kasih