
Seorang negarawan dan filsuf Hindu, Kautilya yang juga dikenal dengan nama Chanakya dan Vishnugupta (350-275 SM), menulis risalah klasik tentang politik yang dihimpun dalam buku Arthashastra, Sains tentang Memperoleh Materi. Dalam risalah itu, ada sebuah konsep tentang pertemanan dan permusuhan yang dirumuskan menjadi sebuah peribahasa musuh dari musuh saya adalah teman saya.
Dalam bahasa Bob Marley (1945-1981), seorang musisi reggae dari Jamaika, “musuhmu yang paling jahat, dapat menjadi sobatmu yang paling baik”; demikian sebaliknya, “sobatmu yang paling baik bisa menjadi musuhmu yang paling jahat.”
Hal semacam itu “sangat biasa” di dunia politik yang disebut sebagai “seni kemungkinan.” Dalam dunia politik banyak hal yang musykil, tetapi juga banyak hal mudah dipahami. Yang tidak mungkin, bisa mungkin secara mudah. Sebaliknya, yang semestinya mudah, bisa menjadi rumit dan sulit. Sehingga muncul ujar-ujaran, “kalau bisa dipersulit, mengapa dipermudah.”
Apa yang terjadi di Timur Tengah belum lama ini—dimulainya hubungan diplomatik antara Israel dan Uni Emirat Arab (UEA)—adalah gambaran dari semua itu. Yang musykil, bisa menjadi mafi mushkila, nggak ada masalah. Di Timur Tengah berlaku “musuh dari musuhmu adalah temanmu.”
Ujar-ujaran itulah yang telah menjadi “dasar” terbangunnya hubungan diplomatik antara Israel dan Uni Emirat Arab. Mereka berteman karena faktor Iran. Sebelum dengan UEA, jauh tahun Israel sudah berdamai dan menjalin hubungan diplomatik dengan Mesir (1979) dan Yordania (1994). Sebelum hubungan resmi kedua negara dimaklumkan, selama bertahun-tahun mereka menjalin hubungan secara tak resmi. Beberapa negara Arab lainnya, seperti Arab Saudi, Bahrain, Sudan, Maroko, dan Oman juga secara tak resmi menjalin hubungan dengan Israel (trtworld.com, 6/2/2020).
Persamaan kepentingan untuk menghadapi musuh yang sama—Iran—itulah yang telah mempertemukan syalôm dan salam. Tom Jacobs SJ (2007) menulis, kata syalôm (Ibrani), kurang lebih sama artinya dengan kata salam (Arab). Yang terakhir, salam, biasanya diterjemahkan dengan “damai”; sedang yang pertama syalôm diterjemahkan dengan “sejahtera”. Barangkali paling “pas” berarti: damai-sejahtera, aman-sentosa. Damai-sejahtera, aman-sentosa berarti tidak ada perang.
Ketiga tradisi yang turun dari Abraham (Ibrahim)—Yahudi, Kristen, dan Islam— menurut Zachary Karabell (2008) memiliki inti perdamaian. Di gereja-gereja di seluruh dunia, umat dalam bagian ibadat saling berpaling dan berkata, “Damai besertamu.” Masuklah ke toko, rumah, atau masjid mana saja di dunia Muslim, dan kita akan disambut dengan salam, “Salam aleikum”, “Salam sejahtera.” Dan jawabannya selalu sama: “Dan untukmu, damai sejahtera.” Orang Yahudi di Israel akan memulai dan mengakhiri percakapan dengan salam sederhana syalôm, “damai”.
Masing-masing agama mengajarkan pengikutnya untuk menyapa teman dan orang asing dengan tangan terbuka yang hangat untuk menerima. Kedamaian datang pertama dan terakhir. Karena itu, syalôm, salam, berarti keadaan yang baik. Mungkin tidak ideal tetapi bahagia, tanpa gangguan, tanpa rasa takut, tanpa kecemasan, tanpa kecurigaan, tanpa pikiran macam-macam; di sana ada persaudaraan.

Tahun lalu, di Abu Dhabi pula, terjadi pertemuan syalôm dan salam, saat Paus Fransiskus bertemu Imam Besar Al-Azhar, Sheikh Ahmed el-Tayed pada tanggal 4 Februari 2019. Pertemuan bersejarah ini menghasilkan The Document on Human Fraternity for World Peace and Living Together (Tentang Persaudaraan Manusia untuk Perdamaian Dunia dan Hidup Beragama).
Dokumen Abu Dhabi ini menjadi peta jalan yang sungguh berharga untuk membangun perdamaian dan menciptakan hidup harmonis di antara umat beragama, dan berisi beberapa pedoman yang harus disebarluaskan ke seluruh dunia. Paus Fransiskus mendesak agar dokumen ini disebarluaskan sampai ke akar rumput, kepada semua umat yang beriman kepada Allah.
Lewat dokumen tersebut, kedua tokoh dunia itu mengajak semua pihak, tanpa kecuali, untuk menemukan kembali nilai-nilai perdamaian, keadilan, kebaikan, keindahan, persaudaraan manusia dan hidup berdampingan dalam rangka meneguhkan nilai-nilai ini sebagai jangkar keselamatan bagi semua, dan untuk memajukannya di mana-mana
Dokumen Abu Dhabi mengingatkan, sejarah menunjukkan bahwa ekstremisme agama, ekstremisme nasional, dan juga intoleransi telah menimbulkan di dunia, baik itu di Timur atau Barat, apa yang mungkin disebut sebagai tanda-tanda “perang dunia ketiga yang sedang berlangsungsedikit demi sedikit”.
Karena itu, kedua pemimpin agama itu dengan tegas menyatakan bahwa agama tidak boleh memprovokasi peperangan, sikap kebencian, permusuhan, dan ekstremisme, juga tidak boleh memancing kekerasan atau penumpahan darah. Realitas tragis ini merupakan akibat dari penyimpangan ajaran agama.
Hal-hal tersebut adalah hasil dari manipulasi politik agama-agama dan dari penafsiran yang dibuat oleh kelompok-kelompok agama yang, dalam perjalanan sejarah, telah mengambil keuntungan dari kekuatan sentimen keagamaan di hati para perempuan dan laki-laki agar membuat mereka bertindak dengan cara yang tidak berkaitan dengan kebenaran agama. Hal ini dilakukan untuk mencapai tujuan yang bersifat politis, ekonomi, duniawi, dan picik.
Karena itu, Paus dan Imam el-Tayed menyerukan kepada semua pihak untuk ber-henti menggunakan agama untuk menghasut (orang) kepada kebencian, kekerasan, ekstremisme dan fanatisme buta, dan untuk menahan diri dari menggunakan nama Allah untuk membenarkan tindakan pembunuhan, peng-asingan, terorisme, dan penindasan.

Dalam syalôm dan salam, terkandung di dalamnya budaya hidup bersama, toleransi, dan persaudaraan. Itulah yang semestinya terjadi, seperti diserukan Paus Fransiskus dan Imam el-Tayed kepada seluruh umat beragama.
Dalam praktik keseharian, memang, orang sangat mudah dan fasih mengucapkan syalôm dan salam. Kedua kata tersebut dapat dengan mudah meluncur dari mulut, di mana saja, termasuk di mimbar-mimbar terhormat, kapan saja. Seakan-akan, kata-kata indah itu memiliki sayap sehingga mudah terbang keluar dari mulut dan hingga di hati setiap orang yang mendengarnya.
Akan tetapi, banyak kali, lain di bibir lain ditindakan. Dari mulut keluar salam, dalam praktiknya tidaklah demikian. Di negeri yang Bhinneka Tunggal Ika ini, yang dari sejak semula majemuk, plural dalam segala hal hal semacam itu terjadi. Misi suci agama yakni “membuat umat manusia bahagia di mana-mana” belum sepenuhnya terwujud di negeri ini.
Maka, toleransi menjadi sangat penting untuk ditegakkan menjadi modal awal agar kita semua terbebas dari sikap intoleransi. Toleransi di Indonesia, lebih sebagai peneguhan bahwa masyarakat kita itu majemuk—masyarakat dunia juga majemuk. Artinya, itulah realitas masyarakat Indonesia, yang harus diterima dengan lapang dada, tulus ihklas, dan penuh syukur. Di sinilah arti penting syalôm dan salam, sebagai satu saudara. ***
Tulisan pak Trias sangat penting dlm membangun umat semakin bertoleransi
Terima kasih
Terima kasih banyak…semoga demikian
Apa yang terjadi di Timur Tengah belum lama ini—dimulainya hubungan diplomatik antara Israel dan Uni Emirat Arab (UEA)—adalah gambaran dari semua itu. Yang musykil, bisa menjadi mafi mushkila, nggak ada masalah. Di Timur Tengah berlaku “musuh dari musuhmu adalah temanmu.”
Paragraf ini menarik..☝️
soal menghargai kemajemukan niscaya bangsa ini, mmg belum juga selesai. Semoga peristiwa di Timur Tengah menjadi inspirasi. Matur nuwun Mas ias.
Pancen iyo bro Ias, dalam 3 tradisi yg turun dari Abraham: Yahudi, Nasrani, Islam – ada itu “inti perdamaian”, seperti terungkap dlm kata Shalom atau Salam yg artinya: “Damai Sejahtera”. Dan, spirit yg terpancar oleh ungkapan bermakna ini pula yg tentu melingkupi atau menyertai pertemuan bersejarah pd tgl 4 Febr 2019 antara Sri Paus Fransiskus dan Imam Besar Al-Azhar, el Tayed yg hasilkan Dokumen ttg “Persaudaraan Manusia utk Perdamaian Dunia dan Hidup Beragama”.
Semua pd pokoknya berawal dari adanya “rasa kemanusiaan” atau “humanitas” yg tulus.
Kemanusiaan yg tulus itulah, yg jd “conditio sine qua non” – tdk boleh tdk harus ada … agar ungkapan “shalom”, “salam”, atau “damai sejahtera” yg terucap sungguh2 real, bermakna, bkn sekedar basa-basi !!
Krn manusia pd dasarnya adalah mahluk sosial. Homo homini socius, manusia sahabat bagi sesama!! Eksistensinya selalu berupa ko-eksisten bersama yg lain … tdk bs sendirian! Kesatuan “aku-engkau”, “kami-mereka” … selalu sbg struktur yg ada dlm diri … terungkap dalam “kita” !! Kita bersama, menghuni bumi yg satu. Krn itu membangun komunikasi dan relasi yg manusiawi … tanpa memandang perbedaan ras, etnis, gender, strata sosial, pandangan politik, dan agama … merupakan kodrat alamiah kita.
Mengupayakan “damai” itu mulia , agar hidup bersama diantara umat beragama, dan umat
manusia pd umumnya lbh harmonis. Penting pula tradisi luhur ini, terwariskan kpd generasi penerus.
Shalom, salam, damai sejahtera bg kita sekalian.
Ada kesamaan dengan gedhang wohing pakel, bisa omong ora bisa nglakoni. Salam rahayu
Terima kasih mas Trias sudah mulai mengajarkan hal-hal positif dalam mencari persamaan antara makna syalom dan salam. Ibaratnya membangun rumah tangga yang langgeng titik awalnya dari menemukan persamaan. Perbedaan pasti ada, karena asal usul, adat, agama, keyakinan, kekuatan, kelemahan, dll. Namun dari persamaan yang ada itu keluarga yang dibangun memiliki dasar yang kuat untuk kehidupan jangka panjang, untuk kelanggengan keluarga dengan tetap mengakui kelemahan dan kekuatan masing-masing, sehingga sebuah keluarga dapat mencapai kebahagiaan lahir bathin. Sama halnya membangun NKRI ya harus dari persamaan, bukan dari perbedaan. Tetap sehat dan semangat. Amin.
Sepakat mas Basuki?
Nuwun
Damai (syalôm dan salam) sebenarnya dambaan semua orang. Orang hanya akan hidup benar-benar sebagai manusia ketika dia bisa hidup berdamai dengan sesamanya, sehingga sesama bukanlahmusuh tetapi teman sepeziarahan menuju kemuliaan.
Terimakasih Mas Trias! Barvissimo!
Sepakat Romo….berdamai dengan sesama dan lingkungan….
Matur sembah nuwun…
Syalom dan Salam. Analisis yang sangat tajam dan menyadarkan kita yang berbudi baik ini. Apapun yg dipolitikan, sidang pembaca tulisan maha guru ias tetap bersatu sebagai anak bangsa Jndonesia yg pluralis. Horas.
Saya masih terus bertanya mengapa masyarakat Jawa yang tadinya begitu toleran sepertinya sangat lemah menghadapi tekanan ideologi radikal dan intoleran.
Semoga apa yang terjadi antara Israel dan UEA terus bergulir seperti bola salju.
Dunia ini akan menyenangkan ketika tidak ada orang yg menggunakan agama utk menghasut, membeci bahkan membunuh orang lain atas nama agama. Tetapi nampaknya itu hanya fatamorgana
Semoga semua insyan di dunia, khususnya di Indonesia, mempunyai niat yg sama. Akur, rukun, saling menghormati satu sama lain. Kita berdoa.
Terima kasih, Pak IAS. Salam dan syalom bertemu, hadirlah toleransi