
Ketika hari ini, 30 September 2020, bangsa Indonesia mengingat peristiwa G30S/PKI dan mengenang tujuh pahlawan revolusi, saya teringat kembali peristiwa bersejarah: 31 Desember 1991. Hari itu, secara resmi Uni Soviet bubar.
Apa hubungannya antara peristiwa 30 September dan Uni Soviet bubar? Keduanya berkait dengan komunisme, yang di negeri ini—Indonesia—selalu menjadi jualan politik atau bahkan senjata politik bila memasuki bulan September. Ada saja yang memainkan isu tersebut. Meskipun sudah sangat jelas bahwa komunisme dilarang hidup di negeri ini.
Hal itu tercantum dalam Ketatapan MPRS Nomor XXV Tahun 1966, tentang “Pembubaran Partai Komunis Indonesia, serta penyataan sebagai organisasi terlarang di seluruh wilayah Negara Republik Indonesia bagi Partai Komunis Indonesia dan larangan setiap kegiatan untuk menyebarkan atau mengembangkan faham atau ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme.”
Mengapa komunisme (sosialisme-komunisme) yang pernah malang melintang di dunia, sebagai tandingan liberalisme (liberalisme-kapitalisme), pada akhirnya mati? Mengapa Uni Soviet, salah satu negeri adikuasa, bubar, menyerah cepat tanpa perlawanan? Dan, mengapa terjadi pada tahun 1991? Tidak ada kerajaan atau kekaisaran lain dalam sejarah yang pernah meninggalkan dominasinya begitu cepat atau begitu damai.
Pertanyaan itu muncul saat saya mendapat tugas meliput pemilu pertama di Rusia—bukan lagi Uni Soviet. Uni Republik Sosialis Soviet atau USSR (Soyuz Sovetskikh Sotsialisticheskikh RespublikatauSovetsky Soyuz) didirikan pada tahun 1922, terdiri atas Rusia dan 14 negara di sekitarnya, yang wilayahnya membentang dari kawasan Baltiq di Eropa Timur hingga Samudra Pasifik, termasuk sebagian besar negara Asia bagian utara dan sebagian Asia tengah—pada bulan Desember 1993.
Inilah pemilu demokratis pertama untuk memilih para anggota parlemen, dalam sejarah negeri itu. Dikatakan demokratis—sekurang-kurangnya rakyat bebas—sesuatu hal yang tak pernah mereka rasakan di zaman komunis. Ketika rezim komunis berkuasa, kebebasan adalah barang mewah yang tidak mungkin dinikmati apalagi dimiliki oleh rakyat. Segala macam bentuk kebebasan (freedom) sebagai manusia merdeka, tidak ada.
Setelah kaum Bolshevik merebut kekuasaan (Oktober 1917), Lenin melakukan apa yang sudah diantisipasinya dalam tulisan Negara dan Revolusi (1917): Atas nama kediktatoran proletariat, ia menghapus hak-hak demokratis masyarakat dan secara sistematis memakai teror untuk menghancurkan segala perlawanan (Franz Magnis-Suseno: 2016). Itulah yang terjadi selama rezim komunis berkuasa di Uni Soviet.
Revolusi inilah—Revolusi Oktober—yang kemudian melahirkan ”raksasa komunis”, yang tangannya menggapai-gapai ke segala penjuru dunia dan menggenggam banyak negara serta yang kakinya menginjak-injak tidak hanya banyak negara, tetapi juga nilai-nilai kemanusiaan. Pada 1922, misalnya, Lenin ”mengirim” (membuang) ratusan intelektual yang tidak setuju dengan komunisme. Revolusi tidak toleran terhadap pendapat yang berbeda
Komunisme Gagal

Tentang mengapa Uni Soviet ambruk, Victor Sebestyen (2009) menulis, arsip di Uni Soviet dan Eropa Timur menunjukkan betapa bangkrut dan lelahnya negara-negara itu. Uni Soviet menyadari komunisme telah gagal. Uni Soviet kehilangan keinginannya untuk menjalankan sebuah kekaisaran. Ternyata, revolusi tidak menghasilkan ”kerajaan kebebasan” (FriedrichEngels), tetapi justru menjadi penjara terbesar di dunia (Franz Magnis-Suseno).
Tanggal 25 Desember 1991, dalam pidato televisi, Mikhail Gorbachev mengumumkan pengunduran dirinya sebagai Presiden Uni Soviet. Tak lama kemudian, setelah pidato Gorbachev selesai, bendera palu-arit Soviet diturunkan dari Kremlin dan tidak pernah dikibarkan lagi. Yang kemudian dikibarkan adalah bendera baru: merah, putih, dan biru. Uni Soviet, bubar. Mati!
Ketika Uni Soviet mati, pucuk pimpinan tertinggi di tangan Mikhail Gorbachev yang mulai berkuasa sejak 1985. Tetapi, menurut Dmitri Volkogonov (1998), Gorbachev tidak menghancurkan sistem komunis. Tidak ada yang dapat Gorbachev lakukan untuk menghalangi sistem itu menghancurkan dirinya sendiri. Sistem itu hancur dengan sendirinya. Bahkan tanpa Gorbachev campur tangan pun rasanya akan hancur dalam dua dekade lagi. Satu-satunya bidang di mana Uni Soviet dapat bersaing dengan negara-negara lain, dalam sistem itu, adalah dalam produksi rudal nuklir.
Meski demikian, kebijakan Gorbachev, glasnost (keterbukaan) dan perestroika (restrukturisasi) akhir tahun 1980-an, dipandang memberikan pengaruh pula (Archie Brown, 2009). Kebijakan glasnost adalah menyangkut keterbukaan diskusi politik dan masalah-masalah sosial, transparansi pemerintah yang lebih luas, dan peningkatan partisipasi rakyat. Dengan kata lain glasnost adalah publikasi dan keterbukaan yang lebih besar terhadap kerja partai, negara, dan organisasi-organisasi publik lainnya.
Dengan kebijakan ini mulailah demokratisasi di Uni Soviet. Ujungnya, terjadi perubahan-perubahan fundamental dalam struktur politik Uni Soviet; kekuasaan Partai Komunis dikurangi dan pemilu dengan banyak kandidat dilakukan. Padahal prinsip dasar sistem politik komunis adalah monopoli atas kekuasaan oleh Partai Komunis, yang di zaman Stalin dikenal dengan sebutan “diktator proletariat.”
Sementara perestroika mengacu pada serangkaian reformasi ekonomi dan politik, untuk mendobrak stagnasi ekonomi. Inilah perubahan paling fundamental dalam bidang ekonomi dan politik sejak Revolusi Rusia. Singkatnya: memanfaatkan mekanisme pasar secara terbatas untuk meningkatkan produksi dan inovasi, dalam konteks ekonomi terencana; memperbarui infrastruktur ekonomi; berinvestasi besar-besaran dalam teknologi dan sains; meningkatkan partisipasi rakyat dalam sistem demokrasi yang ada; mendorong keras pelucutan senjata nuklir multilateral (Carlos Martinez, 2018)
Gorbachev melonggarkan kontrol atas banyak bisnis, mengizinkan petani dan pabrikan untuk menentukan sendiri apa produk mereka, dan bagaimana memproduksi. Padahal, prinsip dasar sistem ekonomi komunis adalah kepemilikan non-kapitalis atas alat-alat produksi dan dominasi ekonomi komando (terpimpin) jadi beda dengan ekonomi pasar. Tetapi, akibat dari reformasi ini, tidak hanya menggoncang Uni Soviet, melainkan juga memberikan sumbangan bagi ambruknya Uni Soviet.
Selain itu, ada banyak faktor yang ikut menjadi penyebab kehancuran sistem komunis Soviet. Afghanistan telah menjadi ‘Vietnam-nya Rusia’ (Uni Soviet invasi ke Afganistan tahun 1979 dan bertahan hingga 1989). Rusia tidak mampu mengikuti perlombaan senjata (menghadapi AS). Ekonomi Soviet terbelakang—pabrik dan tambang sudah usang dan ketinggalan zaman. Industri mundur menyebabkan meningkatnya masalah lingkungan—misalnya polusi, dan ledakan pembangkit listrik tenaga nuklir Chernobyl tahun 1986. Banyak orang jauh lebih miskin dibandingkan orang termiskin di negara-negara Barat.
Persoalan lain, monopoli kekuatan politik tunggal, menjadi penghambat bagi perkembangan negara. Apalagi, birokrasi korup. Sistem komunis, yang memerintah atas nama “kolektif” dan “masyarakat”, telah merampas hak dan kebebasan warga negara. Sistem Soviet telah menjadi korup dan ketinggalan zaman, alih-alih menangani masalah, pemerintah hanya menutupinya (misalnya Chernobyl, 1986). Banyak orang tidak puas dengan keadaan dan sensor polisi Soviet.
Kehendak Rakyat

Runtuh dan matinya komunisme pada kenyataannya adalah akibat yang tidak diinginkan dari kebijakan Gorbachev, bukan tujuan yang disadari. Keruntuhan terjadi justru karena kekuatan sosial lain bergerak ke dalam ruang politik yang semakin luas yang diberikan oleh glasnost. Gorbachev berusaha mereformasi komunisme baik secara domestik maupun internasional, bukan untuk membongkarnya. Seperti yang diingat Gorbachev tentang tahun-tahun awal perestroika, “Kami tidak berbicara tentang revolusi, tetapi tentang meningkatkan sistem. Kemudian kami percaya pada kemungkinan seperti itu (Mikhail Gorbachev, Novosti, 1995).
Tetapi komunisme runtuh tidak hanya karena kebijakan Gorbachev, tetapi juga karena kekuatan sosial, serta memanfaatkan peluang yang dihasilkan oleh kebijakan Gorbachev untuk memobilisasi oposisi, mengubah institusi, identitas dan kekuasaan yang sesuai. Apa yang terjadi di Uni Soviet tidak terlepas dari yang terjadi sebelumnya di negara-negara Eropa Timur, negara satelit Soviet. Meskipun rangkaian peristiwa di Eropa Timur juga dampak dari kebijakan Gorbachev, glasnost dan perestroika, serta kekuatan nasionalisme.
Banyak rezim komunis, tidak hanya Uni Soviet, yang juga mengalami krisis ideologi dan kegagalan ekonomi. Pilihannya adalah ikut bergerak memasuki rezim reformasi pasar bebas atau tetap berdiam diri, dengan resiko mati. Selain kegagalan ekonomi, pemerintah mereka juga represif dan birokrasinya korup (Mark R. Beissinger, 2009).
Apa yang terjadi? Demonstrasi besar-besaran melawan rezim komunis terjadi di negara-negara Eropa Timur pada tahun 1989. Kelompok oposisi, yang tidak pernah muncul di bawah rezim komunis, ketika itu berani muncul (Polandia, Serikat Buruh Solidaritas); pembongkaran pagar perbatasan kawat berduri di Hongaria dengan perbatasan Austria. Ini dimanfaatkan orang-orang Jerman Timur untuk pergi ke Hongaria dan terus ke Austria.
Pada tanggal 9 November 1989, televisi Jerman Timur mengumumkan orang-orang Jerman Timur diperbolehkan ke Jerman Barat. Dalam beberapa jam, ribuan orang melintasi Gerbang Brandenburg dan pelintasan lainnya di Berlin. Sehari kemudian, Tembok Berlin yang dibangun 1961—simbol pembelahan dunia: Timur dan Barat—diruntuhkan.
Perlawanan terhadap rezim komunis juga terjadi di Cekoslovakia. Dan pecahlah Revolusi Beludru, revolusi damai yang memaksa rezim otoritarian, partai tunggal komunis mundur. Dan, Haclav Havel, tokoh oposisi, pembangkang, dan dramawan menjadi presiden. Pada bulan Desember 1989, protes terhadap rezim komunis terjadi di Romania dan berujung dengan pembunuhan terhadap Presiden Romania Nicolai Ceausescu dan istrinya, Elena, tepat pada hari Natal.
Dalam pidatonya yang dramatik, pada tanggal 25 Desember 1991, Gorbachev mengatakan, “Masyarakat sekarang memiliki kebebasan, kemerdekaan; masyarakat dapat ambil bagian secara politik dan dalam kehidupan beragama. Dan, inilah capaian utama yang belum sepenuhnya dimengerti, karena kita belum pernah belajar bagaimana menggunakan kebebasan.”
Pidato Gorbachev, menegaskan bahwa komunisme yang menguasai Uni Soviet selama hampir 75 tahun, negara-negara Eropa Timur, dan menyebar ke seluruh dunia, telah membelenggu kebebasan, kemerdekaan masyarakat dalam segala hal kehidupan. Belenggu itu mulai lepas pada tahun 1989. Inilah annus mirabilis, tahun mukjizat: Matinya Komunisme, yang akhirnya dikubur tahun 1991 di Rusia, tempat lahirnya.
Ibarat kata, “tubuh” komunisme telah hancur, menjadi tanah. Karena itu, adalah sebuah tindakan tidak masuk akal mau membongkar kuburan komunisme dan menghidupkannya kembali. China saja yang masih diperintah oleh partai tunggal—Partai Komunis China—sejak akhir Revolusi Kebudayaan (1976), telah meninggalkan prinsip-prinsip Marxisme klasik, termasuk kepemilikan kolektif atas alat-alat produksi. Mungkin sisa terbesar dari komunisme klasik adalah setiap inci persegi tanah di negara itu masih milik pemerintah. Tetapi, kalangan pebisnis dapat memiliki rumah dan properti lainnya (Christopher Beam, 2010).
Banyak orang menyebut China sebagai ‘state capitalism’ dengan kerangka aturan Partai Komunis. ‘Tidak peduli apa warna kucing, yang penting bisa menangkap tikus,’ begitu kata Deng Xiaoping. Pragmatis. China telah melalui perjalanan panjang untuk memasuki ekonomi pasar—kapitalis. Banyak perusahaan China bersaing di pentas internasional untuk berinvestasi di negara lain. Beberapa pengusaha, seperti Jack Ma, reputasinya diakui secara internasional. Kehidupan ekonomi sehari-hari beroperasi melalui pasar dan petani memiliki hak kepemilikan yang lebih besar (tetapi tidak lengkap). Ada bursa saham dan pasar modal yang canggih. Itulah China.
Kini tinggal lima negara yang disebut komunis: China (tidak murni lagi), Kuba (mulai memperbolehkan hak milik pribadi, sektor ekonomi swasta, misalnya), Laos (mulai tahun 1988 mengizinkan kepemilikan swasta, dan bergabung dengan WTO pada tahun 2013), Korea Utara (pada tahun 2009, negeri ini mengubah konstitusinya dan menghilangkan semua penyebutan gagasan Marxist dan Leninis yang menjadi fondasi komunisme, dan menghilangkan kata komunisme), dan Vietnam (sudah masuk ke ekonomi pasar).
Buku besar komunisme sudah ditutup di Rusia tahun 1991, ketika Uni Soviet bubar. “Anaknya” di Indonesia sudah lebih dahulu dikubur tahun 1966.***
Contohnya jg Yugoslavia dimana Presiden J B Tito sahabat alm Presiden Soekarno sekarang tidak ada lagi negara Yugoslavia..Polandia jg berubah sistem pemerintahannya..
Betul, Pak…Negara itu telah pecah jadi Slovenia, Kroasia, Makedonia, Bosnia-Herzegovina, Bosnia, Herzegovina, Montenegro, Serbia, dan Kosovo.
Polandia tahun 1989 meninggalkan komunisme..sekarang anggota UE dan NATO, dulu anggota Pakta Warsawa
matur nuwun
Banyak orang menyebut China sebagai ‘state capitalism’ dengan kerangka aturan Partai Komunis. ‘Tidak peduli apa warna kucing, yang penting bisa menangkap tikus,’ begitu kata Deng Xiaoping. Pragmatis. China telah melalui perjalanan panjang untuk memasuki ekonomi pasar—kapitalis. Banyak perusahaan China bersaing di pentas internasional untuk berinvestasi di negara lain. Beberapa pengusaha, seperti Jack Ma, reputasinya diakui secara internasional. Kehidupan ekonomi sehari-hari beroperasi melalui pasar dan petani memiliki hak kepemilikan yang lebih besar (tetapi tidak lengkap). Ada bursa saham dan pasar modal yang canggih. Itulah China.
Paragraf ini menarik..
Terimakasih Bapak Trias Kuncahyono,…… Artikel Anda sangat mencerahkan,……..!
Saya tidak memahami secara mendalam berbagai ideologi yang pernah ada seperti Sosialisme,….Komunisme,… Kapitalisme,…. dan lainnya,…..
Yang saya pahami cuma Kelakuan Partai Politik beserta ELITE-ELITE nya,…… Yang tidak ada BEDANYA antara Partai dahulu dan sekarang,……. ! !
Kalau Partai Politik bisanya RIBUT melulu,…. Rebutan Kekuasaan dan Jabatan,….
Saling caci maki,….. Cari menang sendiri,…… Itupun diperparah Elite-elitenya yang SUKA KORUPSI dan Manipulasi……! !
Ideologi mungkin beda,. tapi Hobbynya sama,…. Korupsi,….. Itupun yang ketahuan,….. Lha yang SILUMAN dalam Senyap,…… Mungkin juga lebih masif,……….
Semakin PARAH di Negara ini,…. Orang dibebaskan bikin Partai,….. Jadinya jumlah Partai Politik sangat MEMBLUDAK,……. Bisa eksis apa tidak yang penting orang bikin Partai…….. Nggak mikir,….. Sepertinya Nafsu aja,…..! !
Semua itu memperlihatkan kalau para TOKOH itu tidak bisa Bersatu,……….! !
Apa salah ya kalau orang merindukan zaman Pak Harto……? ? Karena Negara Stabil,…. PEMIMPIN Negara BERWIBAWA dan Dihargai,….! !
Tidak seperti sekarang,….. Sepertinya Pejabat Publik MENJADI BAWAHAN ELIT PARPOL,…….! !
Kadang sebagai Rakyat merasa sesak,……. Dimana Kedaulatan Rakyat,….. ? Kalau jutaan Rakyat memilih Presiden,….. Ternyata cuma dianggap SEBAGAI. PETUGAS PARTAI,……! !
Negara dengan sistem MULTI PARTAI,…. dampaknya ya MULTI Acak Kadut,….! !
Jadinya kesan sebagai Rakyat,…… Partai Politik itu
selalu menampakkan KEBURUKAN dan KEBUSUKAN,……. Apa-apa harus seizin Parpol,… Jadi pejabat anu,….. Mesti di Fit and Propertest kader Parpol di Legislatif,…….. Kekuasaan nya MUTLAK Banget,…..! ! !
Ketika PKI berkelakuan SUPER BURUK,……. Dan SUPER BIADAB,……… Dijadikan lah apa-apa yang BURUK menjadi stempel mirip PKI,……..! !
Kalau partai yang ada juga buruk Kelakuan nya maka partai tersebut dianggap sebagai PKI,….. !
Dasar PKI…… ! ! kata orang begitu,…….
Jadi soal isu Kebangkitan PKI menurut saya itu tidak ada,……. yang ada banyak orang MENGUMPAT dengan menyamakan kelakuan Buruk itu sebagai PKI……..!
Solusi apakah yang bisa Bapak TK tawarkan untuk memperkaya diskusi tentang kehidupan KENEGARAAN …..? ?
Sebab kesan mendalam saya,…… Saat ini kita hidup dalam sistem DIKTATOR KE-PARPOL-AN,…….! !
Terimakasih Bapak TK,………
Terima kasih banyak atas pandangan dan pendapatnya…sangat menarik…
Kita bisa mulai dari kelompok2 kecil lingkungan kita untuk membangun kehidupan yang sehat, yang tidak asal kritik, yang tidak asal nuduh pihak lain salah,
yang bisa membangun kebersamaan, saling pengertian, toleransi, dan gotong royong…
Persoalan di negeri ini tidak selesai dengan hanya mengkritik, mencemooh, mengecam, menghina, menebar hoaks, dan sejenisnya.
Yang dibutuhkan karya nyata, meski mulai dari hal yang kecil-kecil…terima kasih …salam
Ya, mestinya…ada tulisan tersendiri tentang “state capitalism” China…Ben
nuwun
Bagus mas Trias, mencerahkan bagi yg gunakan logika waras. Jika orang-orang “miring” ya gak tahu bgmn menangkapnya.
Hahahaha….yang menggunakan logika waras…..setuju, Pakde..
matur nuwun..salam
Mantaap Mas
Terima kasih, Pak Katua…salam
Tidak peduli warna kucingnya, yang penting bisa tangkap tikus. Di sini, kita membeli kucing dalam karung.
Terima kasih wawasannya pak ias
Sangat berbobot dan berkualitas analisis tulisan maha guru ias. Tks dan salam merdeka
Jufri, yang setia membaca tulisan saya…terima kasih banyak
Fikri..besok lagi bawa kantong plastik yang transparan…biar kelihatan warta kucingnya….heheheh
terima kasih, ya
Menarik pidato Gorbachev : Masyarakat sekarang memiliki kebebasan, kemerdekaan … Semestinya para tokoh mendampingi masyarakat agar menggunakan kebebasan dan kemerdekaan untuk bersama-sama mewujudkan masyarakat yang cerdas, sejahtera, adil makmur. bukan malah sebaliknya, ada satu dua orang yang katanya pemimpin justeru menimbulkan kegelisahan dengan berjualan omongan PKI bangkit tanpa data.
Tks Bung Trias.
Gorbachev memang hebat….Ia sempat bertemu Joh PP II di Vatikan sebelum Uni Soviet bubar….
terima kasih
Matur nuwun dimas Trias. Referensi penting untuk anak cucu kita. Semua damai hanya orang tertentu yg masih ribet dan ribut soal PKI.
Begitulah Pakde…selalu ada anomalia-ae…
nuwun
Sangat mencerahkan dan ” Jlentreh”,singkat tetapi elabotarif….
Semua karya Mas Trias semua berciri demikian…
Pada saatnya perlu di bukukan, penjelasan yg singkat tp mencerahkan….
Terima kasih banyak Mas Kris…atas apresiasi dan perhatiannya.
Nuwun.
Bahasa itu “picture of reality”, gambaran realitas atau kenyataan … begitu menurut Wittgenstein.
Bgmn dgn isu, bahwa “komunisme akan bangkit lagi di negeri kita” ? Betul apa salah “pernyataan” ini ? Ternyata lbh banyak yg beranggapan, bhw isu itu tdk betul! Apalagi dgn adanya Tap MPRS Nomor XXV Tahun 1966 yg melarang komunisme, berikut penyebar-luasan marxisme-leninisme di negeri kita.
Klu begitu, dari “pernyataan” diatas, perihal akan ‘bangkitnya lagi komunisme’ … bs disimpulkan bhw ‘bahasa’ dlm ungkapan “pernyataan” diatas bukan utk ‘menggambarkan’ realitas .. tp cuma mau mengungkapkan, mendeskripsikan suatu “fatamorgana”!! Lhah, kan dadi ‘kenthir’ tenan ta iki ?! Apa kata dunia … ada “fatamorgana” komunisme di negeri kita ?!
Tragedi 1965, memang perlu diingat. Tp, jgn dgn cara memainkan isu seperti itulah! Tidak akan memperkuat kesatuan, persatuan, soliditas, dan kohesivitas masy/warga. Ada agenda apa dibalik itu?
Bknkah memainkan isu dgn cara seperti itu malahan akan mengamplitudo gejala populisme konservatif yg intoleran dan anti demokrasi?!
Fokuskan saja segala energi dan upaya segenap komponen bangsa utk atasi pandemi Covid 19 & segala dampaknya. Juga ciptakan iklim kondusif utk gelaran pilkada mendatang. Masalah resesi ekonomi, ketenagakerjaan, hukum, kesejahteraan sosial … ini lbh perlu diantisipasi, dan dikelola sebijak mungkin.
Kan ngono mestine yo bung Trias … salam selalu.
Di negara mbahnya komunisme, komunisme sudah hancur. Herannya di negara kita masih saja ada isu kebangkitannya digembor2kan, kurang kerjaan.
Nah itulah, Pak….pertanyaan kita semua…kok selalu ada yang “jualan”….
nuwun
Luar biasa, mas Trias,,,
Penamu menjadikan pencerahan banyak pembelajar.
Tetapi,,, liberalusmepun juga menjadi ancaman peradaban.
Lain wakru, mas Trias betkenan angkat pena,, tolong mas,,,cerahkan kami ttg topik ini..
Inggih…matur nuwun…mangke sanes wekdal…