
Guru yang baik, benar sekali yang pernah Guru sampaikan beberapa waktu lalu bahwa masih banyak anggota masyarakat—bahkan dari kalangan terpelajar dan juga kaum elite masyarakat dan politik—ngugemi, memegang, mempedomani filosofi lele: makin hidup kalau lingkungannya, tempat dia hidup itu kotor; semakin lahap makan dan semakin hidup berada di dalam air yang kotor dan berkembang biak.
Bukan mustahil karenanya, lingkungan yang sudah bersih dibuat kotor, dibikin hancur-hancuran, dirusak, diporak-porandakan, dibakar, dan diciptakan suasana chaos (yang dalam bahasa Indonesia berarti: sengkarut, kekacau-balauan, kekisruhan, kalibut, khaos). Kata chaos berasal dari kata dalam bahasa Latin yakni chaos (bahasa Yunani Khaos) yang berarti ruangan kosong tak terbatas sebagai kerajaan kegelapan; dunia bawah; tubir; jurang yang tidak terhingga dalamnya.
Guru, Yogyakarta tempat Guru tinggal, tidak luput dari jamahan “kuasa kegelapan” itu pada tanggal 8 Oktober kemarin. Seperti di banyak kota, di Yogyakarta juga terjadi demonstrasi menolak Omnibus Law, UU Cipta Karya.
Saya masih ingat, Guru pernah mengatakan, sebenarnya, berdemonstrasi tidak apa-apa. Sebab, bukankah demonstrasi adalah implementasi demokrasi Pancasila seperti yang diatur dalam Pasal 28 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Dalam pasal itu dinyatakan, ”Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang”; Dan, dipertegas Pasal 28 E Ayat 3 UUD Tahun 1945, berbunyi “setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.“
Dasar hukum tersebut masih dipertegas dengan Ketetapan MPR No. XVII/ MPR/ 1998 tentang Hak Asasi Manusia, Pasal 19 yang menyatakan bahwa “setiap orang berhak atas kemerdekaan, berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.”
Guru, masih meyakinkan kami semua bahwa ada lagi dasar hukummya kebebasan menyampaikan pendapat: yakni, UU No. 9 tahun 1998 Pasal 9 (1) bentuk penyampaian pendapat di muka umum dapat dilaksanakan dengan:a).unjuk rasa atau demonstrasi; b).pawai; c).rapat umum; dan atau d).mimbar bebas.

Saya sepakat dengan guru bahwa sampai di sini, tidak ada masalah. Lalu, Guru mengatakan, demonstrasi itu menjadi masalah ketika dilakukan dengan cara-cara anarkis: merusak fasilitas publik, dengan cara antara lain membakar, vandalisme, bahkan melakukan tindak kekerasan terhadap aparat atau siapa saja yang menentangnya.
“Inilah yang membuat Walikota Surabaya, Bu Risma marah besar terhadap seorang demonstran yang ditangkap karena merusak fasilitas umum,” kata Guru kepada kami.
Salah seorang teman, ketika itu mengatakan: Guru, bukankah selama ini demonstrasi dianggap media yang sangat efektif; antara lain untuk memaksakan kehendak.
Lalu Guru mengatakan: Kalian harus ingat bahwa demonstrasi yang dilakukan dengan kekerasan dan kerusuhan, tentu tidak efektif lagi. Bukankah, segala bentuk tindakan kekerasan hampir pasti bersifat destruktif. Tindakan semacam itu tidak mengindahkan rasionalitas pikiran manusia, dan menafikan sistem nilai yang ada.
Seorang teman lain bertanya: Guru, apakah tindakan kekerasan, kerusuhan, destruktif seperti itu adalah the nature of man? Sifat dasar manusia? Gustave Le Bon (1841-1931, psikolog sosial Perancis), Thomas Hobbes (1588-1679, filsuf dari Inggris, yang terkenal dengan homo homini lupus, manusia adalah serigala terhadap sesamanya), dan Emile Durkheim (1858 – 1917) sosiolog Perancis memang mengkaitkan kekerasan dalam perspektif the nature of man, sifat dasar manusia sebagai homo sapiens, babarianisme, anomie.
Guru senang mendengar pertanyaan itu. Dan menjawabnya: Dalam konteks kerusuhan, tindakan anarkis dalam demonstrasi di berbagai kota seperti Jakarta, Yogyakarta, Semarang, Surabaya dan kota-kota lainnya, homo sapiens (orang-orang bijak) telah menjelma menjadi homo brutalis (manusia keji). Mereka telah menafikan nilai-nilai keadaban, nilai-nilai kehidupan, nilai-nilai kebersamaan yang pada ujungnya mengaburkan motif dan tujuan mereka turun ke jalan. Bahkan, ada yang tidak tahu apa yang mereka demo, seperti terungkap dalam wawancara Gubernur Jateng Ganjar Pranowo dengan sejumlah demonstran yang ditangkap.
Akal budi, yang telah menjadi sumber kekuatan yang memilah manusia dari kesatuan asalinya dengan alam sehingga manusia meninggalkan tahap keberadaannya sebagai binatang, seperti lumpuh, tak berdaya menghadapi kehendak dahsyat untuk mengikuti naluri instinktif hewani yang tak terkendali. Itu yang terjadi kemarin dulu di beberapa kota.

Guru, kata saya menyela omongannya, kita telah menjadi saksi bagaimana manusia menempatkan diri di atas kehidupan, dan menghancurkannya. Dan yang lebih mengerikan lagi, Guru, semua itu terjadi menurut Gubernur DIY Sultan Hamengkubuwono X, “by designed. Sayayakin….semua dengankekerasan.Di mana pun, di propinsi manapun itu dilakukan.”
Bila memang seperti itu, kata Guru, maka, tujuan mereka tercapai: membuat kerusuhan, khaos, hancur-hancuran, rusak-rusakkan. Jadi, kalau anarkisme itu “by designed” maka demonstrasi menolak Omnibus Law, hanyalah sebagai kendaraan saja, kereta kudanya saja.
Sangat masuk akal kalau Sultan Hamengkubuwono kemudian mengatakan, “…lawan saja mereka, tapi harus sepengetahuan aparat. Tidak boleh bekerja sendiri.” Sebab, merusak bukan “karakter kita.”
Saya masih bertanya: Bagaimanakah ini Guru, bukankah kita, Bangsa Indonesia, selalu disebut sebagai bangsa berbudaya, berbudaya adiluhung, tinggi mutunya?
Kata Guru, dalam budaya yang adiluhung, tentu, kekerasan bukanlah bagian integral dari watak bangsa Indonesia. Akan tetapi, mengapa kekerasan selalu ada dalam hampir setiap demonstrasi, seperti kemarin dulu itu. Apakah kekerasan itu adalah “budaya susupan?”
Perlu kalian camkan, susupan atau tidak, tindakan kekerasan seolah-olah dianggap sebagai sebuah kebiasaan baru dalam menyelesaikan masalah sosial yang muncul di masyarakat saat ini. Kekerasan dianggap sebagai penyelesai akhir masalah, bukan sumber masalah. Dan, hal itu diugemi oleh banyak orang, kalangan, dari yang atas sampai yang bawah atau sebaliknya dari bawah hingga atas.
Hasilnya, ya terjadi anarki, seperti beberapa hari lalu. Kata “anarki”—menurut Peter Kropotkin (1842-1921) seorang teoritikus gerakan anarki dari Rusia yang begitu kondang—berasal dari kata dalam bahasa Yunani yang berarti “melawan penguasa.” Terma “anarki” secara esensial berarti “tanpa aturan.”
Menurut Pierre-Joseph Proudhon (1809-1865, seorang wartawan dan sosialis libertarian asal Perancis yang doktrin-doktrinnya menjadi dasar teori anarkis), gerakan anarkisme haruslah disandarkan pada kekuatan gerakan massa. Itulah yang terjadi kemarin saat terjadi demonstrasi. Kaum anarkis—yang menurut Sultan Hamengkubuwono X, tindakannya by designed, bukan kepentingan buruh—menyusup masuk dalam demonstrasi menolak Omnibus Law.
Siapa yang men-designed? “Ya, kita tahulah…warga juga tahu…,” kata Guru menirukan Sultan Hamengkubuwono X. Yang pasti, demonstrasi telah dijadikan sebagai alat politik atau alat untuk menyampaikan kepentingan suatu kelompok maupun kepentingan individu yang, tentu, berseberangan dengan pemerintah.
Meskipun demonstrasi merupakan kegiatan yang memiliki landasan hukum, tetapi tidak semua pihak melaksanakan demonstrasi dengan kesadaran hukum yang berlaku di negara ini. Justru sebaliknya, yang terjadi yakni demonstrasi membangun anarki, meninggalkan nilai-nilai etika, moral, kepantasan, keadaban, dan menabrak begitu saja nilai-nilai kemanusiaan demi nafsu kekuasaan. .

Zaman macam apa ini! Adat macam apa ini! (O Tempora! O mores!, kata Cicero, 106 SM-43 M, seorang negarawan Romawi ketika menyaksikan merosotnya moralitas para politisi, juga elite masyarakat di zamannya yang—meminjam istilahnya Niccolo Machiavelli—menghalalkan segala cara). Ya, zaman macam apa ini, menghalalkan segala cara termasuk cara anarkis untuk mewujudkan tujuannya.
“Zaman Edan!” begitu kata Raden Ngabehi Ronggowarsito. Di zaman edan ini banyak orang yang ikut “ngedan.” Dan, hanya orang-orang “edan” dan yang “ngedan” saja, yang masih ngugemi filosofi lele, makin rakus makan, dan makin hidup di lingkungan yang kotor dan membuat kotor. Mereka tidak bisa hidup dengan memegang filosofi ikan koi: hidup dan berkembang baik di lingkungan yang berair bersih.
Mereka lebih suka, ngubek-ubek banyu bening, memperkeruh suasana; nabok nyilih tangan, tidak berani menghadapi lawannya dengan terbuka tetapi menggunakan orang lain dengan cara-cara tersembunyi. Menurut studi orang-orang cerdik-cendikia, agresivitas orang yang secara mental terganggu (edan) tidak lebih berbahaya dibandingkan dengan orang atau kelompok yang alam pikirannya sehat, tetapi “ngedan.” Sebab, “keedanan” mereka terencana, sistimatik, dan berpola dengan rekayasa. Bahasa politiknya “terstruktur, sismatik, dan massif.”
Guru, terlepas dari semua itu yang membuat hati kami sangat sedih mengapa negeri dan bangsa kita menjadi seperti ini? Tetapi, Guru, kami masih terhibur melihat masyarakat Yogya, bergotong-royong membersihkan kotanya yang dibuat porak-poranda oleh kaum anarkis. Yogyakarta bukan Jakarta, Guru!
Meski demikian, kata Guru, rasanya tetap harus dicari solusinya, agar tindak kekerasan seperti beberapa hari lalu, tidak berkembang menjadi tindakan kekerasan struktural dan kultural (mungkin terlalu mengada-ada, ya). Mengapa, karena kalau itu by designed, bukan tidak mungkin dirancang untuk menimbulkan, meminjam istilah Thomas Hobbes, bellum omnium contra omnes, perang semua melawan semua.
“Artinya, harus ada tindakan tegas, biar tidak ambyar,” kata Guru meminjam istilah yang dipopulerkan Didi Kempot. ***
Yesss…makin banyak manusia pandai yng berkubang di folosofi lele….
Kepingin dadi pecel lele….heheh..kenopo yo Ki Ageng…?
Saya sepakat dengan tulisan Mas Ias. Semakin banyak orang pintar yang memakai tangan orang lain untuk ”naboki” lawan.
Nah, itu…Pak Dubes…dan semakin banyak air yang dibuat keruh…
Salam..terima kasih banyak
Saya sangat terkesan atas pencerahan ini, sama seperti dialog Arjuna dan Sri Krishna dlm kita Bhagawad Gita
Matur suksma…..dialog Arjuna dan Sri Khrishna menjelang perang tanding melawan Karna…sungguh dahsyat…
terima kasih…salam
Secara alamiah oleh YME diciptakan ada yg bersih ada yg kotor.
Pikiran manusia selain bisa dikuasai nafsu yg bersih juga bisa di dominasi yg bersifat kotor, tergantung tingkat IQ, EQ dan SQ-nya masing2 pribadi. Tubuh pun ada pengotornya, secara alamiah bisa dikeluarkan melalui keringat, urine dan saat BAB.
Dari ilmu metalurgi, misalnya baja tahan karat (stainless steel) selain mengandung unsur/elemen Fe (besi), mangan (Mn), silikon (Si), juga ada Cr (Chrom), Ni (Nikel), Cu (tembaga), dan elemen non-besi lainnya shg tahan korosi/karat. Ttp, baja maupun baja tahan karat itu selalu ada unsur ikutan yg tidak dikehendaki krn dampaknya merusak sifat-sifat baik baja/baja tahan karat tersebut. Unsur perusak ini disebut pengotor (impurities or tramp impurities), dan dng teknologi prosentasenya bisa ditekan sekecil / serendah mungkin, krn kalau tidak bisa dikontrol akan membuat baja/baja tahan karat menjadi getas (brittle), mudah patah, lebih peka diserang karat krn ada unsur pengotor.
Jadi dlm dunia politik pun bisa dipastikan ada “tramp impurities politicians”.
Matur nuwun, Mas…paringipun tambahan seserepan…salam
Utk Mas Ias, mantul pencerahan Mas dgn mengutip Sultan Hamengkubuwono X dan ilustrasi ikan lele. Sekiranya ada yang tau siapa dalang ngubek2nya, segera info Kapolres masing2 wilayah utk ditangkap.
Utk Mas Djoko Wiyono, betul Mas kalau mau berhati baja dan kuat seperti baja maka bahan impurities nya paling tinggi 2%
Sama-sama..terima kasih..semoga berguna
salam
Tidak tepat frasa Latin “homo brutalis” yg digunakan dlm artikel ini.
Kata “brutus/bruta/brutum” termasuk kata adjektiva atau kata sifat, yg artinya: dungu, tak berakal budi, bersifat binatang, keji.
Kata “homo-hominis” termasuk nomina atau kata benda dalam genus Masculinum (jantan), yg artinya manusia.
Dalam gramatika Latin, pasangan kata masculinum ya harus sama2 masculinum.
“Homo” ya pasangan katanya adalah “brutus”.
“Brutalis” tidak ada dikenal dalam bhs Latin dan turunan tasrifannya.
Jadi frasa yg benar: “Homo Brutus”, yg artinya manusia yg brutal/kejam.
Terima kasih masukannya….salam
Ikan lele banyak yang dipelihara untuk meraup cuan. Matur nuwun refleksinya, Pak IAS
Menyedihkan. Ternyata masih banyak anak bangsa berfilosofi ikan lele. Itulah kesimpulan setelah membaca analisis maha guru. Tks guruku.
Semoga saya salah…..
terima kasih
Ya, untuk pecel lele juga enak…Fikri…salam
Sepakat Pak Trias, mantafz. Sejatinya jika gunakan filsafat cahaya maka yang ada hanyalah terang, sedangkan gelap itu karena sinar Pencipta Cahaya terhalangi oleh jelaga hatinya. Salam Sedulur Sehat Selalu Lan Amal Migunani #S4LAM
Sepakat sekali….yang ada hanyalah terang….
Nuwun…salam kenal
Absurd bukan ?! Saat ada demo buruh, diikuti mahasiswa, & pelajar … ada saja yg membakar halte bus trans jakarta. Pdhal, halte angkutan massal ini, prasarana vital yg menunjang kepentingan mrk juga: para buruh, mhsiswa, & pelajar, ketika berangkat & pulang kerja, kuliah, atau sekolah!
Jelas sudah, yg namanya “kebebasan”, seperti dlm hal “menyampaikan pendapat dimuka umum” … tdk boleh dibiarkan berlangsung tanpa adanya “keutamaan” penting lain yg menyertainya. Kebebasan seperti ini hrs dipasangkan secara seimbang dgn keutamaan pengendalian diri dalam bentuk “tertib sosial”.
Kebebasan tanpa tertib sosial, menghasilkan kesewenangan, anarki, vandalisme, bahkan chaos. Sebaliknya, tertib sosial tanpa kebebasan … itu otoriter (mgk juga totaliter) jadinya. Klu negeri ini ingin dikenal sebagai bangsa yg ramah, santun, & berbudaya luhur … ya mmg harus begitu caranya: kebebasan warga dan ketertiban umum harus selalu berpasangan … tdk terpisahkan, tdk pernah boleh berlangsung sendiri2!!
Bahwa selalu saja ada pihak2 yg menyalahgunakan/memanfaatkan kebebasan utk berbuat anarki … ini yg perlu diatasi. Bila terbukti ada aktor yg ‘menternakkan’ manusia shg terpapar filosofi “ikan lele” … ya tenggelamkan saja sekalian di kolam ikan lele … biar tau rasa !! Atau, dipecel-lelekan … siapa doyan ??
Kebebasan menyampaikan pendapat, kritikan, dst … tetap diperlukan sbg “check & balance” bagi demokrasi. Terlebih ketika eksekutif dan legislatif merupakan koalisi ‘gemuk’ mayoritas parpol. Tp, ya itu td … hrs dibarengi dgn keutamaan “pengendalian diri” oleh para pelaku/aktivisnya dalam bentuk “tertib sosial” agar masyarakat dan tatanan yg ada tdk dibikin ambyar.
Keutamaan “pengendalian diri” dalam bentuk “tertib sosial” itulah yang sekarang ini makin tipis untuk tidak mengatakan hilang…apalagi dalam kerumunan…
terima kasih, Mas….
Ngurusi mental lele jadi speechless. Orang2 yang kebelet berkuasa tidak sabar menanti 2024. Atau memang kepentingannya tudah terusik?