
Satu
Memang tidak sebanding: Kamala Devi Harris dan Nikita Mirzani. Tetapi, satu hal, keduanya adalah perempuan. Perempuan yang berani mengambil risiko: apakah itu nekad atau dilandasi pertimbangan-pertimbangan yang rasional, itulah yang mereka ambil. Tentu, Kamala berani mengambil risiko dengan pertimbangan matang.
Kamala, wakil presiden terpilih AS, negara adikuasa. Ia perempuan yang sangat terpelajar— lulusan Universitas Howard di Washington, D.C. dan Universitas California di bidang hukum—dan dari keluarga yang juga sangat terpelajar: ibunya lulusan Universitas California, Berkeley, sedangkan ayahnya Universitas Stanford.
Jalur karirnya pun sangat jelas: mulai dari menjadi deputi jaksa di Alameda County, jaksa urusan kriminal di Kantor Jaksa Distrik San Francisco, Jaksa Agung California, Senator, dan akhirnya Wakil Presiden.
Sejak awal, Kamala dikenal sebagai pejuang hak-hak sipil. Ketika menjadi Jaksa Agung California, Kamala menghukum geng-geng transnasional yang mengeksploitasi perempuan dan anak-anak serta menjual senjata dan obat-obat terlarang. Ia juga memimpin studi dan investigasi dampak dari organisasi kriminal transnasional dan perdagangan manusia. Banyak lagi yang dilakukan untuk orang lain di negara yang menyebut dirinya benteng demokrasi tetapi masih belum sepenuhnya memberikan hak-hak demokrasi kepada seluruh rakyatnya.
Untuk sampai ke pencapaian yang diraih Kamala seperti itu butuh integritas pribadi. Integritas seperti itu ditempa melalui pengalaman dan berbagai usaha. Kata integritas berasal dari kata Latin integer (adi) yang mencakup aspek lahiriah, arti integritas dengan kepribadian seseorang yaitu jujur dan utuh, tidak cedera.
Dari integer lahir kata integritas-atis (f) yang berarti keutuhan, kelengkapan, kesempurnaan, kebulatan, kemurnian, kelurusan hati, sifat tidak mencari kepentingan sendiri, ketulusan, kejujuran, kebaikan, kesalehan, dan kemurnian.
Dengan demikian bisa dikatakan, seorang yang berintegritas adalah seorang yang memiliki keutuhan pribadi. Seorang yang berintegritas adalah seorang yang jujur dan bermoral teguh.
Bagaimana dengan Nikita Mirzani, apakah memiliki integritas pribadi seperti Kamala yang tidak diragukan lagi integritasnya. Kiranya, terlalu jauh menyandingkan integritas Kamala dan Nikita.
Akan tetapi, seorang Nikita Mirzani yang oleh banyak situs web yang menjelaskan tentang biografinya ditulis sebagai seorang artis—yang penuh sensasi dan kontroversial—seorang model, yang juga menggeluti dunia seni peran, tentu memiliki integritas pribadi walau dalam skala, tingkatan, atau derajad yang lain.
Tak satu pun, memang—sekurang-kurangnya dari sepuluh situs web—yang menyebutkan latar belakang pendidikannya. Yang mereka sebut justru beberapa kasus hukumnya. Dalam salah satu beritanya, Kompas.com (07/09/2020) menulis, “Artis peran Nikita Mirzani merupakan salah satu figur publik yang mencolok dengan urusan hukum. Dari perjalanan kariernya di dunia hiburan, sudah ada beberapa kasus hukum yang dilewatinya, mulai dari kasus perceraian hingga penganiyaan.”
Tetapi, apakah rendahnya tingkat pendidikan seseorang akan mempengaruhi integritasnya? Atau apakah orang yang berpendidikan rendah, rendah pula integritasnya? Integritas bukan hanya sekadar bicara, pemanis retorika, tetapi juga sebuah tindakan, sejalan antara pernyataan dan tindakan.

Dua
Apa yang dilakukan Kamala, bisa menjadi awal dari sebuah revolusi politik di AS. Ia tidak hanya tampil mewakili kaum perempuan. Tetapi, ia juga tampil ke panggung paling tinggi di Amerika, mewakili kaum kulit berwarna: entah itu hitam, cokelat, kuning, merah, dan sebagainya.
Sejarah mencatat, perempuan-lah yang pertama kali menyalakan api Revolusi Bolshevik, Rusia, 1917. Lebih dari seratus tahun lalu, 23 Februari 1917, di Petrograd, pada Hari Perempuan Internasional, sekitar 50.000 perempuan dari berbagai macam latar belakang turun ke jalan. Mereka menuntut jatah roti dan penambahan jatah roti bagi para keluarga militer. Aksi para perempuan di Petrograd ini melahirkan Revolusi Februari di Rusia.
Pada mulanya, yang turun ke jalan-jalan adalah para perempuan buruh. Mereka menyusuri jalan-jalan kota Petrograd, yang kemudian menjadi ibu kota Rusia, pada pagi hari yang dingin itu. Mereka melempari jendela-jendela pabrik dengan batu, bola-bola salju, dan juga tongkat-tongkat serta menggedor-nggedornya. Mereka mendesak para lelaki buruh untuk bergabung demonstrasi. Di hari itu, sekitar 100.000 orang demo.
Pada akhirnya, pemerintah Tsar Nikholas II ambruk. Dan, ujung dari gerakan kaum perempuan itu adalah Revolusi Oktober, Revolusi Bolshevik yang menandai lahirnya Uni Soviet. Di Filipina, tahun 1986, Ny Corazon Cory Aquino mengobarkan Revolusi Kekuatan Rakyat.
Nikita, memang, tidak akan seperti mereka. Akan tetapi, keberanian untuk melawan terhadap yang seharusnya dilawan—ketika orang lain, termasuk kaum laki-laki, juga para penegak hukum diam saja—adalah sesuatu yang mempunyai nilai. Berapapun nilainya itu.
Apa yang ia lakukan, sekurang-kurangnya membukakan mata hati dan kesadaran banyak pihak, bahwa ada persoalan di negara ini. Persoalan yang tidak bisa didiamkan saja, tetapi harus dipecahkan, harus diselesaikan agar tidak menjadi besar, ibarat kata kriwikan dadi grojogan, perkara kecil yang karena didiamkan saja akhirnya menjadi besar.
Dari sinilah, barangkali, politik dalam konteks sebagai bagian kehidupan sehari-hari masyarakat, dimaknai. Politik bukan hanya urusan para politisi dan pemerintah saja. Tetapi, tugas politik—di sini adalah mendukung sistem demokrasi yang menjunjung tinggi hak asasi manusia—adalah tugas warga negara. Keterlibatan warga negara dalam politik adalah untuk memajukan keadilan. Keadilan dalam konteks demokrasi.
Bukankah demokrasi itu bukan sekadar atau asal bebas—bebas mengemukakan pendapat, bebas berkumpul, bebas berserikat, bebas berteriak, dan bebas segala-galanya—tetapi bebas bertanggung jawab. Artinya, dalam kebebasan itu harus bisa dipertanggung jawabkan, ada tenggang rasa dengan orang lain. Kebebasan kita tidak boleh mengurangi kebebasan orang lain, tidak boleh mengganggu, tidak boleh mengurangi, tidak merusak bahkan mencederai kebebasan orang lain.
Ada aturan main dalam berdemokrasi. Tidak waton sulaya, tidak mencari menang-menangan sendiri. Dalam demokrasi tidak berlaku hukum asu gede menang kerahe, orang yang memiliki jabatan atau pangkat atau kedudukan atau kasta tinggi atau kelompok yang besar akan selalu menang dalam suatu perkara/permasalahan apapun.
Di titik inilah, Nikita Mirzani berada. Ia melawan apa yang dianggap dan diyakini harus dilawan. Di Amerika sono, Kamala pun melakukan hal yang sama: ia melawan apa yang dianggap dan diyakini harus dilawan, yakni belum ditegakkannya secara penuh hak-hak sipil terutama warga negara kulit berwarna. Ia memperjuangkan apa yang diyakini harus diperjuangkan.
Apa yang diperjuangkan—kalau boleh itu dikatakan sebagai perjuangan—Nikita Mirzani? Haknya sebagai warga negara. Bukankah setiap warga negara mempunyai hak dan kewajiban dalam hidup bernegara?

Tiga
Kamala dan Nikita, sama-sama menyadari ada yang harus dilawan dan harus diperjuangkan. Memang, bobot perjuangan berbeda. Tingkat kesulitan berbeda. Resiko yang akan ditanggung juga berbeda. Kemampuan malawan dan berjuang berbeda. Cara mereka berbeda.
Tetapi, ibarat pepatah, banyak jalan menuju Roma untuk mewujudkan sebuah negara demokrasi. Demokrasi yang sejati hanyalah dapat berlangsung dalam negara hukum, dan berdasarkan paham yang tepat tentang pribadi manusia. Dan, ubi societas ibi ius, di mana ada masyarakat, di sana ada hukum.
Hukum yang adil harus ditegakkan, seperti dikatakan oleh Kaisar Romawi Ferdinand 1 yang memerintah antara 1558-1564, fiat iustitia et pereat mundus, keadilan harus ditegakkan, meskipun dunia harus hancur binasa. Sebab, di mana tidak ada keadilan sejati, hukum pun tidak dapat ada. ***
Bernas sekali ulasannya, Romo…top
Sukron, Ustadz….
Salam
Enriching n enlightening,.as always.
Terima kasih banyak, Prof…
Selalu memberikan semangat…
salam
Terima kasih. Sangat mencerahkan
terima kasih sudah mengingatkan utk melihat orang dari segala sisi.
Keep doing great.
Sami-sami…matur nuwun…sekadar catatan kecil
Terimakasih atas pencerahan yang mendalam. Di saat banyak umat terhalang mengikuti ibadah karena mau ikut anjuran protokol kesehatan menjaga diri mencegah penularan covid19, sekelompok orang seolah sengaja menafikan peringatan larangan berkerumun.
Saat sejumlah pejabat publik terkena sanksi karena menggelar hajat yang mengumpulkan massa di tengah pandemi, rakyat disuguhkan suatu gerombolan yang melecehkan segala aturan pemerintah dan menunjukan ketidakberdayaan negara menegakkan hukum.
Negara saat ini naik panggung untuk menjadi gagap dan bloon saat seharusnya memperlihatkan kebijakan yang menentramkan seluruh rakyat! Negara tampak gagal menegakan keadilan dan keadaban publik. Tidak ada teguran, denda ataupun sanksi atas segala gangguan pengerahan massa saat pandemi yang mengganggu kegiatan masyarakat, merusak fasilitas umum dan mengumbar virus maut di tengah usaha setengah mati rakyat mencoba sabar dan tabah dalam kesusahan pandemi.
Saya bersama Nikita Mirzani untuk melawan yang seharusnya dilawan.
Selamat berjuang…dengan cara kita masing-masing…demi Republik kita tercinta…
salam…terima kasih
beda kasta Kemala Haris pintar .bermartabat.terpelajar dan pastinya intelek
Nikita Maaf kalau gak penjual gorengan pinggir jalan
ya macam wanita ……lah atikan aja sendiri dengan fakta dilapangan
hahahhahahaahah
Memang tidak “sekasta”…tidak ada yang bilang sekasta…masing-masing beda….
Terima kasih artikelnya, satu lg yg perlu di cacat adalah Nikita Mirzani salah satu artis yg penuh prinsip, Nikita Mirzani tdk kenal saya, tapi sy mengikuti perjalanan hidupnya yg penuh prinsip, jika ada oknum yg melakukan hal2 yg mengganggu kehidupan bermasyarakat dan tdk sesuai dgn norma2 kehidupan, langsung disuarakan, terlepas orang yg disuarakan tsb tersinggung apa tdk, masa bodoh…
Terim akasih banyak, Pak…berprinsip….itu yang penting…
Aku ikut senang, tulisan ini mencerahkan banyak orang.
Yang dilakukan kecil, namun bermakna besar… dan menjadi semakin bermakna setelah disajikan penulis yg tajam membuat analisa… Trims Mas Trias
Mgr…Berkah Dalem…
matur nuwun
Matur nuwun mas..
Memberi pencerahan..
Kamala dan Nikita, sama-sama menyadari ada yang harus dilawan dan harus diperjuangkan. Memang, bobot perjuangan berbeda. Tingkat kesulitan berbeda. Resiko yang akan ditanggung juga berbeda. Kemampuan malawan dan berjuang berbeda. Cara mereka berbeda.
Sami2 Ben…matur nuwun…
begitulah kira-kira…
Bagus tulisannya. Hanya contoh nyata Nikita Mirzani berbuat apa bagi kaum perempuan atau bangsa Indonesia hrs diperjelas mas…input saja
Bagi perempuan…mestinjya menyadarkan bahwa ada sesuatu yang bila dilakukan…bahkan oleh seorang perempuan yang selalu dinilai negatif..bagaimana yang merasa dirinya positif semua?
Terima kasih, sangat iinspiratif, menguatkan
Sami-sami Bu…
matur nuwun
Dengan segala kekurangannya kita harus mebghargai dan menghormati keberanian Nikita dalam mengungkapkan hak hak nya sebagai warga negara terlebih lagi ketika negara tak melakukannya. Salam.
Runtut enak dibaca. Saya prihatin dengan pemerintah yang diam.
Suwun Mas…betul..sekarang sudah betindak…
Ulasan kereeennn. Dan membuka mata. Wawasan bagi yang membaca. Perempuan perempuan pemberani masa kini. Saluttt. Sebar luaskan untuk lebih memberi semangat keberanian bersuara untuk kebenaran. .
TErima kasih banyak…
salam
Betul, Ki Ageng…bukankah tidak ada yng sempurna…
nuwun
Bagus sekali mas Tyas, sangat mencerahkan. Trimakasih
Mbak Sulis….Selamat malam…
Terima kasih banyak..telah meluangkan waktu untuk membaca…
salam
Terimakasih mas IAS. Keren sekali ulasannya. Mencerahkan.
TErima kasih banyak, Wan…salam
Perjuangan yg dilakukan kaum wanita bukan bentuk kesombongan. Mereka ingin menegakkan kebenaran atas hak asasi mereka yang dilanggar. Selamat dan tks pencerahan ilmunya.
Betul sekali…
terima kasih Jufri
Nikita Mirzani semoga membuka mata para penegak hukum dan HAM yang selama ini masih JEBLOG.
Semoga demikian, Pakde…
salam…nuwun
Terima kasih atas penulisannya. Sangat lugas dan bijaksana dilihat dari pemberdayaan perempuan yang di banyak negara yg belum mjd prioritas.
Mohon Nikita juga tidak ikut-ikutan menggunakan bahasa yang membakar-bakar emosi. Sulit dibilang pro-NKRI kalau bahasa yg dipilih bernada provokasi.
Betul, Pak Dubes…semestinya demikian…mulai sadar…menjadi sorotan publik
Terima kasih
[09:17, 11/15/2020] +62 812-4942-0033: Bgmn pendapat mbah ??
[11:55, 11/15/2020] Mbah Harto Mei: Pendapat mbah berdasarkan aline-alinea ini. Bacalah dan resapkanlah. Itu kalau ingin mbelajar literasi. Dari integer lahir kata integritas-atis (f) yang berarti keutuhan, kelengkapan, kesempurnaan, kebulatan, kemurnian, kelurusan hati, sifat tidak mencari kepentingan sendiri, ketulusan, kejujuran, kebaikan, kesalehan, dan kemurnian.
Dengan demikian bisa dikatakan, seorang yang berintegritas adalah seorang yang memiliki keutuhan pribadi. Seorang yang berintegritas adalah seorang yang jujur dan bermoral teguh. Dalam salah satu beritanya, Kompas.com (07/09/2020) menulis, “Artis peran Nikita Mirzani merupakan salah satu figur publik yang mencolok dengan urusan hukum. Dari perjalanan kariernya di dunia hiburan, sudah ada beberapa kasus hukum yang dilewatinya, mulai dari kasus perceraian hingga penganiyaan.” Integritas bukan hanya sekadar bicara, pemanis retorika, tetapi juga sebuah tindakan, sejalan antara pernyataan dan tindakan. Sejarah mencatat, perempuan-lah yang pertama kali menyalakan api Revolusi Bolshevik, Rusia, 1917. Lebih dari seratus tahun lalu, 23 Februari 1917, di Petrograd, pada Hari Perempuan Internasional, sekitar 50.000 perempuan dari berbagai macam latar belakang turun ke jalan. Di Filipina, tahun 1986, Ny Corazon Cory Aquino mengobarkan Revolusi Kekuatan Rakyat. Nikita, memang, tidak akan seperti mereka. Akan tetapi, keberanian untuk melawan terhadap yang seharusnya dilawan—ketika orang lain, termasuk kaum laki-laki, juga para penegak hukum diam saja—adalah sesuatu yang mempunyai nilai. Berapapun nilainya itu. Di titik inilah, Nikita Mirzani berada. Ia melawan apa yang dianggap dan diyakini harus dilawan. Di Amerika sono, Kamala pun melakukan hal yang sama: ia melawan apa yang dianggap dan diyakini harus dilawan, yakni belum ditegakkannya secara penuh hak-hak sipil terutama warga negara kulit berwarna. Ia memperjuangkan apa yang diyakini harus diperjuangkan. Dan, ubi societas ibi ius, di mana ada masyarakat, di sana ada hukum. Hukum yang adil harus ditegakkan, seperti dikatakan oleh Kaisar Romawi Ferdinand 1 yang memerintah antara 1558-1564, fiat iustitia et pereat mundus, keadilan harus ditegakkan, meskipun dunia harus hancur binasa. Sebab, di mana tidak ada keadilan sejati, hukum pun tidak dapat ada. *
[11:58, 11/15/2020] +62 812-4942-0033:
Terima kasih banyak….salam
Pencerahan utk pemerintah dan rakyat. Semoga bisa menggerakkan hati.
Semoga demikian…
Salam…terima kasih
Tulisan yang bagus. Lugas dan inspiratif
Terima kasih….salam
Terima kasih, Pak IAS. Kritik elegan
Tetap semangat dan kreatif
Keren tulisannya ada pencerahan. Terimakasih ?
Terima kasih banyak, Dewi…salam
Bagus tulisannya p Trias.
Nikita bak cabe rawit, kecil tapi pedas.
TErima kasih banyak