Satu

Ini sebuah cerita dari zaman Romawi. Suatu hari, tanggal 10 Januari 49 SM, Jenderal Julius Caesar, dengan mengesampingkan imbauan Senat, membawa pasukannya menyeberangi Sungai Rubicon, sebuah sungai kecil di Italia utara. Sungai ini memisahkan wilayah Cisalpine Gaul (Gallia Cisalpina)—antara Apennines dan Apls daerahnya suku Celtik—dan Italia.
Senat mengingatkan, bila Caesar membawa pasukannya menyeberangi Sungai Rubicon dan bergerak ke Roma, akan pecah perang saudara. Caesar tak peduli. Ia dan pasukannya tetap menyeberangi Sungai Rubicon, dan pecah perang saudara yang dimenangi Caesar.
Kini ungkapan “menyeberangi Rubicon” diartikan sebagai melakukan tindakan yang sangat menentukan sehingga tidak ada jalan untuk mundur. Ibarat kata, dadu sudah dilempar, tidak bisa dihentikan.
Begitulah yang dilakukan tentara—dimulai dari perintah Pangdam Jaya Mayjen TNI Dudung Abdurachman—menurunkan baliho-baliho bergambar wajah Habib Rizieq Shihab. Tindakan tentara itu menimbulkan pendapat pro dan kontra, terutama di media-media sosial, bahkan diangkat ke televisi.
Ada yang berpendapat bahwa tindakan tentara di luar kewenangannya, di luar koridor hukum. Ada juga yang berpendapat, apakah boleh kekuatan koersif menafsirkan sendiri suatu keadaan benar-benar ancaman?
Tetapi, ada pula yang menyambut gembira turunnya tentara mengatasi masalah. Bahkan, ada yang mengatakan “baru sekarang negara hadir.” Dalam ini, yang dilakukan tentara adalah demi kepentingan nasional dan memenuhi harapan, kehendak rakyat.
Apapun alasannya, seperti Caesar memutuskan untuk menyeberangi Sungai Rubicon, demikian pula Pangdam Jaya juga pasti memiliki alasan yang kuat ketika memutuskan untuk menurunkan baliho-baliho di Jakarta, yang sekarang diikuti daerah-daerah lainnya.
Dua

Di zaman lain, yang jauh sesudah zaman Romawi, Napoleon Bonaparte (1769-1821) pernah mengatakan sesuatu yang sangat menarik tentang tentara. Pemimpin militer Perancis dan kaisar Napoleon I, yang menaklukkan sebagian besar Eropa pada awal abad ke-19 ini mengatakan, kepala tanpa pengetahuan adalah seperti benteng tanpa tentara.
Apa artinya benteng yang begitu kokoh tanpa tentara?
Napoleon “hanya” ingin mengatakan bahwa keberadaan tentara itu, sangat penting. Sangat penting bila dikaitkan dengan keberadaan dan kelanggengan sebuah negara; menjaga keselamatannya.
Karena itu, menurut Samuel Huntington (1957) secara sosiologis adalah penting adanya hubungan erat antara tentara (militer) dan masyarakat. Tentara, terutama angkatan darat, bukanlah kasta khusus yang terpisah dari masyarakat, karena mereka harus “berada dalam hubungan yang segar dan konstan dengan pemikiran dan perasaan para warga sipil setempat”. Para perwira militer pun menekankan pentingnya tentara “berada dekat dengan masyarakat”.
Dalam bahasa lain, Panglima Besar Jenderal Soedirman mengatakan, tentara bukanlah merupakan suatu golongan di luar masyarakat; bukan suatu kasta yang berdiri di atas masyarakat. Tentara tidak lain dan tidak lebih dari salah satu bagian masyarakat yang mempunyai kewajiban tertentu.
Tiga

Dalam kebanyakan masyarakat Barat, peran militer pada dasarnya adalah untuk mendukung aspirasi politik masyarakat di bawah kepemimpinan sipil. Ketika militer “menyimpang” dari perannya sebagai pendukung kepemimpinan sipil, mereka dianggap telah melakukan intervensi politik (Bilveer Singh, 1995).
Tetapi, dalam kasus lain, misalnya di Tunisia dan Mesir, militer mendukung tegaknya demokrasi. Selama beberapa waktu, militer di Tunisia dan Mesir mendukung rezim otokratik dan menikmati posisi istimewa. Tetapi, pada suatu titik, para pemimpin militer di kedua negara berbalik meninggalkan penguasa yang memberikan jabatan, dan berpihak pada rakyat (meskipun, di Mesir militer kembali berkuasa).
Dengan lain kata, dalam suatu sistem demokrasi dimana negara berperan sebagai pelindung masyarakat dari ancaman dan gangguan, maka posisi tentara di dalam sebuah negara sudah semestinya berfungsi agar ancaman dan gangguan itu menjadi minimal. Fungsi itu bisa dikatakan sebagai kewajiban pokok dari sebuah institusi militer.
Dengan demikian posisi tentara atau angkatan bersenjata merupakan sebuah institusi yang sah atau lazim dalam sebuah organisasi yang bernama negara, yang mempunyai kewajiban berkaitan dengan perlindungan negara demi memproteksi masyarakat dari ancaman fisik.
Karena itu, Panglima Besar Jenderal Soedirman (1916-1950), mengatakan tentara hanya mempunyai kewajiban satu, ialah mempertahankan kedaulatan negara dan menjaga keselamatannya. Sudah cukup kalau tentara teguh memegang kewajiban ini.
Semangat dan komitmen TNI membela kedaulatan dan ideologi negara serta kepentingan yang lebih mendasar didorong antara lain oleh pesan yang diwariskan Panglima Besar Jenderal Soedirman: “TNI adalah soko guru dari negaranya. Ia tegak dengan negaranya, dan ia hancur dengan negaranya pula. Suatu tentara yang memiliki kepercayaan diri sendiri yang kokoh, yang tidak tergoyahkan, yang sanggup untuk menjamin keamanan dan keselamatan negara dan bangsanya. … Perjuangan yang menuntut keadilan dan kesucian” (Jenderal TNI Joko Santoso 2006:102).
Keempat

Sejak berakhirnya Perang Dingin, karakter ancaman dan risiko terhadap kedaulatan, persatuan dan kesatuan bangsa serta negara, telah berubah. Perubahan ini dibarengi dengan perubahan peran kekuatan militer dari sekadar “kekuatan penangkal” menjadi “kekuatan stabilitas” juga. Dalam hal ini, termasuk juga perubahan peran kekuatan tentara (TNI).
Dalam konteks menjaga stabilitas inilah kiranya, Pangdam Jaya memerintahkan prajuritnya untuk menurunkan baliho-baliho. Sebab, menurut Gubernur Lemhanas Letjen TNI (Purn) Agus Wijoyo (Kompas TV), apa yang dikatakan Rizieq Shihab terhadap negara, pemerintah, bahkan khususnya TNI, sudah keterlaluan.
Meskipun Agus Wijoyo mengatakan, tindakan tersebut seharusnya dilakukan oleh Satpol PP atau Kepolisian. Sebab, kedua institusi tersebut bertugas menegakkan hukum.
Yang dikatakan Agus Wijoyo, benar. Tetapi, sekarang yang dibutuhkan adalah adanya tindakan. Karena adanya, “….ancaman dan gangguan terhadap keutuhan bangsa dan negara” (UU No.34/2004, Pasal 7, ayat 1), dirasakan oleh masyarakat banyak.
Dan, tentara, sudah “menyeberangi Sungai Rubicon” dan “dadu pun sudah dilempar.” Tentu, mereka cukup “menyeberangi Sungai Rubicon” saja, tidak perlu bergerak sampai ke “Roma” demi tetap terselamatkannya demokrasi. Karena intervensi militer, secara luas dilihat sebagai pengingkaran terhadap nilai-nilai dan institusi demokrasi.
Maka seterusnya adalah tugas Satpol PP dan Kepolisian. Apalagi, Kapolda Metro Jaya Irjen Fadil Imran pun mendukung sikap tegas Pangdam Jaya Mayjen TNI Dudung Abdurachman dalam menertibkan spanduk dan baliho.***
Kalau ingin berjalan nyaman, batu kerikil dalam sepatu harus dibuang. Kerikil dalam sepatu cukup menyakitkan dan mengganggu berjalannya untuk menuju kemajuan dan kebaikan.
HRS dan para pendukungnya ternyata terindikasi lebih berbahaya daripada sekadar batu kerikil dalam sepatu, maka harus dibuang. Bagaimana membuangnya, mari serahkan kepada yang berwewenang.
Dalam kasus ini saya dukung Pangdam Jaya agar masyarakat memiliki rasa bahwa negara tetap hadir. Sebaliknya apabila TNI melakukan kudeta seperti tahun 65 saya jelas menolak dengan keras. Bahkan sudah terbukti masyarakat sipil bisa juga meniru Julius Caesar “menyeberangi sungai Rubicon” SALAM.
SEmoga, TNI sekadar “menyadarkan” penegak hukum yang lain dan masyarakat..bahwa harus bertindak…
Setuju banget….ada pepatah Jawa…ngono yo ngono ning ojo ngono.
Ora-ora diladaki, nek wani yo tak tenani….??
Mantaaap Maa
Nuwun
Suwun nggih…
Nah, itulah…..”ngonoyo ngono neng mbok yo ngono…..”
PAsti yang berwenang sudah memiliki cara tersendiri….terima kasih banyak
Menurut Gubernur Lemhanas Letjen TNI (Purn) Agus Wijoyo (Kompas TV), apa yang dikatakan Rizieq Shihab terhadap negara, pemerintah, bahkan khususnya TNI, sudah keterlaluan.
Harus ada sanksi keras…
Itu sih bukan cuma ‘keterlaluan’. Kata itu terlalu halus. Tepatnya: makar! Jadi harus ditindak tegas.
Hahahaha….makaten njih, Mbak…sepakat…
Nuwun
YA, maka itu pemerintah dan TNI bertindak…..kita lihat lanjutannya.
nuwun
Kalau negara hadir dan aparat tegas nyatanya kaum radikalis dan pengacau ya tiarap. MRS itu ibarat tukang pukul saja, carindan tindak dalangnya. Apakah memang CCC?
Memang saya pribadi berharap seharusnya peran polisi melangkah lebih dulu saat satpol pp menjadi Oon krn effek wan abud gemblung. Tapi yang terjadi kesatuan polisi malah terkesima, ikut eforia dan memfasilitasi jalan raya diblokir.
Saya berharap tentara sampai ke Roma tidak mandeg hanya menyeberang sungai yg sudah Mgr tunjukkan.
Nuwun sewu.
Hahahah….nggak cukup hanya menyeberangi “Sungai Rubicon?”
Wah, siapa dalangnya ya?….moga-moga ada yang ngungkap.. yang pasti bukan SSS….hehehe
Gamaliel: kalau itu datang dari manusia, akan lengkap dengan sendirinya. Kalau datang dari Tuhan, siapa bisa melawan.
Saya lebih setuju sikap Pak Jokowi diamkan saja dulu. Suatu ketika akan tersandung sendiri.
Semoga demikian……..sejarah yang akan membuktikan..
nuwun
Yang dilakukan TNI utk turun tangan menertibkan Baliho/Spanduk ada landasan moral & hukumnya :
(1) Sumpah Prajurit (5 butir).
Demi Allah saya bersumpah / berjanji :
1. Bahwa saya akan setia kpd NKRI yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
(2) Sapta Marga (7 butir)
2. Kami patriot Indonesia Indonesia pendukung setia serta pembela idiologi negara yang bertanggung jawab dan tidak kenal menyerah.
(3) UU No.34/2004 Tentang TNI, Pasal 7 ayat (2), butir 9. Membantu tugas pemerintah di daerah, dan butir. 10. Membantu kepolidian Negara Republik Indonesia dalam rangka tugas keamanan dan ketertiban masyarakat yang di atur dalam Undang-undang.
Terimakasih artikelnya yg membuka wawasan dlm kehidupan bermasyarakat, berbangsa & bernegara. Salam sehat.
Ya, sepakat Mas…dasar hukummnya jelas….
Nuwun
Sudah tahu ini negara hukum, rechtstaat-sesuai konstitusi, mbok ya jgn seenak sendiri. Ijin giat saja belum diperpanjang, kok bs tebar baliho di-mana2? Dan tdk ada yg menertibkan, hingga dmk lama! Se-olah2 ,atau memang sesungguhnyakah ada yg memfasilitasinya? Lhah, penanggung jawab wilayah dan kamtib …, dari yg terendah sampai tertinggi, pada kemana yaaa ?!
Giliran ditertibkan oleh TNI, ya wajar to?. Bknkah TNI jalankan wewenangnya seturut UU juga?!
Para Bapak Pendiri Republik ini telah bersepakat memilih faham kebangsaan dan demokrasi sbg dasar negara. Dan, nasionalisme kita adalah nasionalisme politik yg multikultural-etnik-agama.
Artinya, legitimasi negara kita bukanlah legitimasi berdasarkan etnis (seperti negara2 pecahan Uni Soviet itu) atau agama (negara2 teokrasi).
Negara kebangsaan sbg produk modernitas didasarkan pd prinsip2 politik modern: kedaulatan rakyat, partisipasi, akuntabilitas, kontrol sosial, toleransi thd kemajemukan, persamaan kewarganegaraan, dan pembatasan ruang lingkup politik – tdk masuk ke bidang2 civil society, termasuk agama. (M Sastraprateja S.J.*)
Di negara kita, identitas orang dan kelompok masyarakat bersifat majemuk. Manakala suatu identitas : agama misalnya … menjadi paling menonjol dan menelan semua identitas lainnya, termasuk identitas sebagai bangsa, maka komunitas .. walau dasarnya agama sekalipun …. bs menjadi “komunal”. Kendati ada banyak akar sosial dari “komunalisme”, tetapi agama merupakan faktor penting dlm “komunalisme”. Disini agama dapat menjadi sumber konflik dgn kekerasan. (ibid MS SJ*)
Nah, utk mencegah hal-hal yg tdk diinginkan: berkembangnya fanatisme, radikalisme, intoleransi, kekerasan … dst dst seperti di bagian lain dunia ini … ya betul sekali apa yg dilakukan TNI itu. Taruhannya adalah “stabilitas” yg penting utk atasi pandemi & pemulihan ekonomi. Juga, utk jangka lbh lanjut, demi soliditas antar kita sebagai warga negara suatu bangsa yg cita2 kemerdekaannya begitu dikagumi banyak bangsa lain di dunia.
Bravo TNI, maju terus pantang mundur !!
Semoga, aparat penegak hukum terus sadar bahwa perlu ada tindakan….demikian juga masyarakat memiliki keberanian untuk bertindak….
Perlakuan Psngdam Jaya sudah sesuai dg UU ,Sapta Marga dan Sumpah Prajurit. Masyarakat wajib mendukung.
Siap, Pak…semoga berlanjut
Kritik yang sangat bagus dan mendidik untuk lembaga yang kita hormati. Cubitan yang sangat menyejukkan dan mencerahkan. Pasti yang dicubit tidak merasakan sakit. Bravo TNI dan Bravo sang penulis.
Siap….terima kasih banyak