
Pertama
Hanya di negeri ini, nengok kolong jembatan bertemu dan berdialog dengan orang-orang yang tinggal di kolong jembatan itu, diartikan sebagai tindakan bermotif politik. Hanya di negeri ini ketemu dan berdialog dengan gelandangan dianalisa sebagai tindakan bernuansa politik.
Hanya di negeri ini menjanjikan rumah pada para tunawisma dicap sebagai tindakan “mencuri start politik.” Hanya di negeri ini blusukan dikaitkan dengan kepentingan politik.
Dan, mendadak sejumlah orang, baik orang biasa maupun orang luar biasa—karena status sosial, jabatan, ketokohan (atau merasa dan menganggap dirinya tokoh) kenekatan dalam berkomentar yang kadang asal komentar atau karena sebab-sebab lain—segera memberikan penilaian bermacam-macam. Berbagai penilaian dan analisa berseliweran di media sosial, media online.
Melongok kolong jembatan, berdialog dengan tunawisma, bertemu tunawisma di jalan protokol, dianggap sebagai manuver politik, proyek citra, mencari pengaruh dan pengagum, mencari tepuk tangan, pujian dan sanjungan, tindakan sok-sokan, dan sebagainya.
Itulah kalau politik hanya semata-mata diartikan sebagai usaha untuk meraih kekuasaan; hanya dimaknai sebagai cara untuk merebut rezeki besar; hanya diartikan sebagai usaha untuk menyingkirkan pihak lain yang dianggap bukan “kelompoknya”, “golongannya”, atau bukan “kita” tapi “mereka”. Maka, bertemu dengan gelandangan dianggap sebagai ancaman. Karena itu harus dilawan.

Kedua
Memang, meminjam pengertian yang disodorkan oleh Raghavan Iyer (1930-1995) seorang akademisi, pakar politik dan filsuf dari India, politik tidak dapat dipisahkan dari kehidupan: dari perhatian manusia, pertimbangan moral, kehidupan beragama dan sekuler, cara hidup, mitos, mimpi, mimpi buruk; dari prakonsepsi dan praduga tentang isu-isu fundamental, tema dan nilai transenden; dan dari perbedaan antara benar dan salah, baik dan jahat, kesenangan dan kesakitan, kebebasan dan tirani, egoisme dan altruisme.
Dengan demikian, politik tidak semata-mata berkaitan atau bermuara pada kekuasaan, seperti pengertian dan pemahaman mereka yang “berteriak-teriak” di siang bolong seperti kebakaran jenggot. Politik berkait sangat erat dengan moralitas, impian, harapan dan ketakutan manusia, bahkan juga menyangkut cara hidup manusia.
Cara hidup yang bagaimana? Cara hidup yang jujur, yang peduli pada sesama sekalipun berbeda: entah itu politik, ideologi, agama, suku, rasa, kelompok, maupun beragam perbedaan lainnya. Cara hidup yang tidak selalu memandang orang lain, pihak lain, bukan kelompoknya dengan pandangan negatif, tidak baik, dan berburuk sangka.
Karena itu, David Runciman (2014) mengartikan politik sebagai pilihan kolektif yang mengikat sekelompok orang untuk hidup dengan cara tertentu. Ini juga tentang ikatan kolektif yang memberi orang pilihan nyata dalam cara hidup mereka. Tanpa pilihan nyata tidak ada politik.

Ketiga
Pengertian politik seperti inilah yang dipilih Bu Risma—wantan Wali Kota Surabaya yang kini menjabat sebagai Menteri Sosial—yang antara lain diwujudkan dengan menemui mereka yang dipinggirkan, yang terpinggirkan; dengan turun ke kolong jembatan, dengan memanusiakan mereka sekalipun dicibir banyak orang.
Hidup dalam kemiskinan bukanlah suatu cita-cita atau impian dari semua orang. Namun, kemiskinan adalah suatu realitas hidup yang harus dilalui dan dijalani dalam kehidupan manusia. Ada banyak orang miskin dalam beragam kategori. Ada yang miskin secara fisik, ekonomi, sosial, politik maupun religius.
Orang miskin yang hidup di tengah-tengah kegemerlapan metropolitian ini biasanya tidak diperhitungkan dalam struktur masyarakat. Pendapatnya tidak didengar. Mereka dipandang tidak berharga dan tidak memiliki kontribusi pada orang lain walaupun secara rohani mereka barangkali sangat dekat dengan Tuhan.
Oleh karena, begitu ditemukan orang miskin di Jakarta, banyak orang mulai heboh, ramai, berkomentar, tidak percaya, dan temuan itu dianggap mengada-ada. Mengapa? Karena selama ini mereka—yang heboh—tidak peduli; tidak pernah tergerak hatinya oleh belas kasihan. Mereka tidak melihat meski punya mata. Mereka tidak merasakan, meski punya hati. Mereka tidak pernah mendengar berita adanya orang miskin di Jakarta, apalagi di Jalan Thamrin, meski punya telinga.
Mereka menganggap berteriak lantang dan menuding pihak lain, sudah cukup. Padahal, dalam tiap jerih payah ada keuntungan, tetapi kata-kata belaka, mendatangkan kekurangan saja. Begitu kata Raja Sulaeman membandingkan antara orang yang bekerja dan orang yang hanya berteriak-teriak, asal mengritik, nyinyir, mencemooh, mengecam, dan bercuriga.

Keempat
“Aku kan cuma membantu orang. Mosok ketok mata gak dibantu,” begitu kata Bu Risma menanggapi berbagai komentar, cibiran, dan kecurigaan.
Itulah Bu Risma, yang bekerja dengan hati. Bekerja dengan penuh ketulusan, bekerja tanpa pamrih dan tidak cari nama atau cari muka. Sebab, secara kodrati manusia itu adalah mahkluk yang bekerja, homo faber.
Apa yang dilakukan oleh Bu Risma adalah—meminjam istilahnya teolog pembebasan dari El Salvador, Jon Sobrino (Sindhunata, 2016)—perwujudan dari a political love, cinta yang berpolitik. Cinta yang berpolitik bertujuan untuk membebaskan kaum miskin dari penderitaannya.
Cinta politik itu perlu menemukan struktur yang dapat mengefektifkan perjuangan kaum miskin (untuk keluar dari jerat kemiskinan), menolak penindasan, membela hak asasi dan hak politik kaum miskin—sebagai kaum yang terpinggirkan, bahkan dipinggirkan serta tidak dimanusiakan—serta mengupayakan perubahan sosial demi kaum miskin yang disebut sebagai estado escandoloso, keadaan tidak terhormat.
Menyapa mereka adalah langkah awal untuk membuat mereka terhormat. Inilah preferential option (love) for the poor, yang tidak lain adalah wujud mencintai sesama, peduli pada mereka yang sengsara, yang hina, dan remuk hatinya. Menghibur mereka yang berkabung, terasing, dan tidak mendapat perhatian yang selama ini hanya dimanfaatkan untuk kepentingan politik kekuasaan belaka. ***
Bravo utk bu Risma….
Tulisan Mas Trias, yang ber temakan ” option for the poor ” dalam arti yg se luas luas nya terasa PAS
Teruskan Mas, terlebih bila berhubungan dengan Tokoh yang ” Track Record ” telah teruji di mana beliau mendapat penugasan
Semoga Gusti Allah selalu melindungi dan memberkati, amin
Amin…terima kasih banyak, Mas…matur nuwun
Kalau meminjam keyakinan Romo Kardinal Ignatius Suharyo (Uskup Agung Jakarta, Ketua KWI, dll) bahwa pribadi yg semakin beriman, akan semakin bersaudara dan berbuah bela rasa (empati/simpati/peduli) kpd yg lemah dalam arti seluas-luasnya
Blusukan Bu Risma antara lain telah menemukan/membuktikan ternyata masih banyak warga yg tidak terdata kependudukannya, alisas tidak punya KTP. Mereka ini pasti tidak terdaftar mendapatkan Bansos. Maka betul kalau data penerima Bansos itu harus dilengkapi/dikoreksi. Jangan sampai yg sudah terdaftar justru orang2 mampu, karena biasanya yg datanya lengkap (KRP , dll) nota bene orang mampu.
Sepakat..benar…blusukan telah menungkap hal itu…mungkin sebelumnya para pejabat jakarta sudah tahu..tapi, diam saja.
terima kasih.
Betul Mas Joko, sepakat sekali…semakin beriman semakin berbuah yang berguna bagi sesama.
nuwun
Political love….terima kasih, Pak IAS
Ada political hate…(ada di mana-mana) dan ada political love…hanya orang-orang berhatinurani saja yang bisa menjalankan political love.
salam
Ketika politik hanya dimaksudkan untuk kekuasaan dan uang, maka pandangan menjadi sempit dan ngaco. Politik seharusnya diarahkan kepada kesejahteraan bersama sehingga kalau ada orang yang kurang sejahtera harus dibantu oleh para politikus untuk juga sejahtera.
Banyak para politikus yang keblinger yang bahkan dengan sengaja menegasikan makna politik itu sehingga yang ada hanya bagaimana cara mengeruk uang dg kekuasaannya.
Bravo Mas Trias. Serukan terus kebenaran, supaya orang sadar akan tugasnya.
Apapun komentar orang biarkan saja, yang penting orang miskin, tersingkir, teraniaya terperhatikan dan terangkat derajat kemanusiaannya. Semoga Tuhan memberkati usaha baik itu.
Setuju sekali…..
Bu Risma memang kaya begitu mas Tri; yang aneh pengundurannya sebagai wali kota dianggap salah jalan
Apapun komentar orang biarkan saja, yang penting orang miskin, tersingkir, teraniaya terperhatikan dan terangkat derajat kemanusiaannya. Semoga Tuhan memberkati usaha baik itu.
Amin. Betul sekali…untuk kebaikan bersama…pantang mundur…
terima kasih
Semoga muncul bu Risma lainnya utk memajukan masyarakat banyak yang bekerja tanpa pamrih dan berpikir maju kedepan.
Semoga mereka2 yang mengeritik bu Risma sadar diri yang hanya mementingkan politik semu belaka seumur masa jabatan mereka.
Amin..betul sekali…negeri ini membutuhkan orang2 seperti Bu Risma…yang benar-benar kerja untuk rakyat…tak peduli apa omongan orang.
Terima kasih
lha wong sekarang sedikit-sedikit kok sudah dikaitkan dengan fulitik. Ada sebutan pula “tahun fulitik”. Apa tumon? Nuwun seratanipun yg mencerahkan punika Om ias.
Leres Mas Agoes…bisa-bisa pilihan menu makanan pun akan dikaitkan dengan fulitik…hahaha..kacau..
Sami-sami, matur nuwun.
Salam sehat nggih.,
Tulisan bagus mas Trias. masih banyak orang tidak ngerti apa itu politik. Tahunya politik itu kotor. Perlu pencerahan.
Inggih, Pak Paul…leres…bukankah politik untuk bonum commune….
matur nuwun
Pemimpin yang turun tangan langsung memberi contoh kepada orang-orang yang dipimpin untuk menjadi pemimpin berikutnya.
Ya, betul…kalau banyak pemimpin seperti Bu Risma….wow…hebat
Yesus dari Nazaret adalah gurunya umat kristiani. Sang Guru itu mudah tergerak hatinya oleh belaskasihan, seperti Bu Risma. Tetapi Sang Guru tadi dimusuhi oleh orang-orang yang tidak mengenal, Siapa Dia. Rupa-rupanya Bu Risma juga seperti Sang Guru kami tadi. Sebab, mereka belum mengenal siapa Bu Risma, seorang ibu yang berniat baik untuk mengentas kemiskinan dan memanusiakan manusia yang berada dalam estado escandoloso, dalam keadaan tidak terhormat.
Menteri-2 yg begini yg kita harapkan.
Berharap, semoga bisa jadi gubernur DKI yad atau malah RI satu.
Insya Allah.
bu Risma bekerja sudah sesuai dengan Tugas pokok dan Fungsi selaku Menteri Sosial
Tokoh yg sudah selesai dgn dirinya sendiri, shg yg ada bgmn cara dirinya bisa berguna buat orang lain dgn cinta yg dia punya, Top Om Kelik
Betul sekali….sudah selesai dengan dirinya sendiri…
Nuwun…
Maju terus pantang mundur Bu Risma. Satukan langkah dukung orang baik
Siap…untuk kebaikan harus terus didukung….
terima kasih
Pikiran dan agenda aktor2 politik sudah tertuju ke pertarungan 2024. Karena “kacamata 2024” ini maka semua yg dilihat lalu direduksi ke arah sana. Dimensi kemanusiaan dan tarikan nafas keseharian tersingkirkan oleh logika dan mantra politik kekuasaan.
Itulah, Prof…para aktor itu tak peduli lagi pada rakyat…rakyat benar-benar hanya dibutuhkan untuk nyoblos saja…nanti mendekati 2024 baru mereka ngrepeh2 ndekati rakyat dengan sejuta janji…
negeri ini memang butuh orang-orang seperti Bu Risma, yang mau kerja..tak peduli suara2 sumbang terhadap dirinya…
Salam
Dicibir ya gpp. Bu Risma pantas jadi Menteri Sosial, pantas jadi Gubernur DKI, bahkan pantas jadi pipinan nasional entah Wapres atau Presiden sekalian.
Tidak heran banyak yang kebakaran jenggot.
Benar Pakde, Ibu ini memang hebat…hasil kerjanya nyata…tidak hanya teriak2..warga Surabaya sudah merasakan hasil kerjanya.
Ya, semoga jalannya lancar..
Peristiwa kain dan Habel kembali terjadi. Persembahan Bu Risma dalam kacamata rakyat adalah persembahan yang tulus kepada mereka. Karena ketulusan itulah Bu Risma dipuji (baca; diterima). Rupanya pujian itu didengar oleh Kain (baca; penganut politik kekuasaan), Maka Kain menjadi iri hati, mengapa bukan persembahannya yang sudah dibungkus dengan kata-kata indah yang diterima?
Inilah Dosa besar itu. Iri hati membuat kain membunuh Habel agar persembahannya kepada Tuhan tidak tersaingi. Habel harus dilenyapkan.
Wow…apik iki, Bung…..ternyata ada konteks biblisnya…sip..
Sepakat sekali….matur nuwun.
LANJUTKEN BU RISMA BIAR WAKTU YANG MENILAI…..
Betul sekali…..
Nuwn