I

Ribka Ciptaning, tentu bukan Begawan Ciptaning.
Yang kedua adalah sosok sakti mandraguna, seturut cerita dalam dunia pewayangan. Adalah Mpu Kanwa, menurut PJ Zoetmulder dalam Kalangwan : Sastra Jawa Kuno Selayang Pandang (diterjemahkan oleh Dick Hartoko SJ), yang menulis Kakawin Arjunawiwāha. Di dalam kakawin ini dikisahkan tentang Begawan Ciptaning yang juga dikenal dengan nama Begawan Mintaraga.
Mpu Kanwa menggubah kisah ini pada masa pemerintahan Raja Airlangga (1009-1042) antara tahun 1028-1035. Airlangga adalah pendiri Kerajaan Kahuripan, yang bergelar Abhiseka Sri Maharaja Rakai Halu Sri Dharmawangsa Airlangga Anantawikramottunggadewa.
Begawan berarti manusia yang luhur dan tinggi spiritualnya. Disebut Begawan Mintaraga, karena sang begawan bertapa di Gua Mintaraga di kawasan Gunung Indrakila, tempat para dewa. Ada yang mengartikan kata “mintaraga” berasal dari kata “witaraga”, yang artinya menyucikan diri.
Kata Ciptaning adalah gabungan dua kata: “cipta” yang berarti pikiran/hati dan “ning” yang artinya hening atau wening atau bening. Ciptaning berarti pikiran/hati yang bening, pikiran hening, pikiran wening. Pikiran/hati yang bening, yang jernih adalah syarat mutlak untuk menjadi manusia yang memiliki kesadaran spiritual tinggi. Pikiran/hati yang bersih, bening, wening itu hanya dicapai bila manusia dekat dengan Sang Pencipta.
Tentu, harapannya adalah siapa saja yang memiliki nama “ciptaning” memiliki pikiran yang jernih, yang bersih, yang bening, yang menjadi manusia berkesadaran spiritual tinggi.
II

Dalam dunia pewayangan lakon Begawan Ciptaning mengisahkan Raden Arjuna yang tengah bertapa, tapa-brata atas nasihat Kresna di dalam Gua Mintaraga. Saat bertapa, Begawan Ciptaning menghadapi tiga cobaan berat.
Cobaan pertama digoda tujuh bidadari yang diutus oleh Sang Hyang Bathara Indra. Mengapa Bathara Indra mengutus tujuh bidadari? Karena Arjuna dikenal sebagai ksatria yang mudah jatuh hati pada perempuan cantik. Namun, kali ini Arjuna memiliki keteguhan hati dan jiwa. Godaan para bidadari cantik itu tidak meruntuhkan Arjuna yang tengah bertapa. Ia tidak tergoda.
Godaan kedua adalah Sang Hyang Bathara Indra yang menyamar sebagai resi tua bertubuh renta. Di depan Begawan Ciptaning, resi itu bicara, “Apa artinya tapa-brata, jika hanya untuk memburu keindahan dunia? Sekadar untuk memenuhi kebutuhan pribadi dan keluarga!” Sang resi berusaha memancing amarah.
Mendengar ucapan itu, Begawan Ciptaning menjawab: “Jangan asal bicara, Bapa Resi yang saya hormati! Tapa-brata-ku tidak untuk memburu keindahan dunia, tidak untuk memenuhi nafsu duniawi, tidak untuk memuaskan kekuasaan dunia, namun hanya untuk mengukuhkan dharmaku sebagai seorang ksatria. Bukan pribadi dan keluarga yang aku utamakan dalam tapa-brata-ku, akan tetapi, jalan kebenaran di tengah kehidupan bersama.”
Kebenaran tidak pernah mati, meski sering dikorbankan. Sebab, akal budi manusia tidak pernah tunduk pada pemaksaan, tidak tunduk pada keputusan mayoritas. Akal budi terbuka pada yang ada dan melampauinya; karena akal budi bersifat rohani.
Resi tua itu masih berusaha memancing kemarahan Begawan Ciptaning, dengan bertanya: mengapa seorang yang bertapa, mendekatkan diri kepada Yang Maha Kuasa, Hyang Maha Damai, membawa senjata?
Begawan Ciptaning menjawab: senjata adalah dharma seorang ksatria.
Selama tapa-brata, Begawan Ciptaning yang adalah Arjuna masih tetap menjalankan dharmanya sebagai seoran ksatria. Ia membantu penduduk desa yang berburu di hutan, misalnya. Ia mengatakan bahwa selama tapa-brata, kewajiban dunia sebagai manusia dan kewajiban spiritual sebagai ciptaan Hyang Kuasa, tetap dijalankan secara seimbang. Manusia tidak bisa hanya mengejar nilai duniawi tetapi melupakan kewajiban spiritualnya.
Bukankah orang hidup harus berusaha selalu menjaga harmoni alam, harus selalu menyelaraskan jagad, menyeimbangkan antara yang sekala (yang kelihatan) dan yang niskala (yang tidak kelihatan). Terciptanya keseimbangan ini, akan melahirkan kesejahteraan lahir dan batin.
Resi tua itu badar, kembali ke wujud aslinya yakni Bathara Indra, yang kemudian menghadiahi pusaka panah pasopati kepada Arjuna. Pasopati simbol keteguhan dan kerendahan hati.
Setelah itu—godaan ketiga—muncul seekor babi hutan yang mengamuk. Tanpa banyak pertimbangan Arjuna memanah babi hutan itu. Tetapi pada saat yang sama, melesat panah lain yang juga mengenai babi hutan itu, lalu muncullah seorang pemburu tua yang segera mengklaim panahnyalah yang mengakhiri hidup babi hutan itu.
Terjadilah perdebatan antara Arjuna dan pemburu tua, yang mendadak menjelma menjadi Dewa Siwa. Dewa Siwa lalu memerintahkan Arjuna untuk pergi ke kahyangan untuk membunuh raja raksasa Niwatakawaca. Niwatakawaca tewas oleh pusaka pasopati. Arjuna dihadiahi bidadari untuk dinikahi.
III

Sekali lagi, kisah dalam Kakawin Arjunawiwāha menegaskan arti dan makna kata “ciptaning” yakni menyucikan diri, membersihkan hati dan pikiran dari nafsu dan masalah duniawi, mengendalikan mulut atau menjaga ucapan agar tidak menyakiti perasaan orang lain, memupuk budi luhur dan mengembangkan sifat ksatria.
Akan tetapi, hal-hal semacam itu kini diabaikan. Sementara orang, termasuk atau bahkan utamanya elite politik dan tokoh masyarakat, lebih mengikuti kecenderungan trivialisme. Yakni kecenderungan sibuk dengan hal-hal kecil yang kurang penting, hal-hal remeh-temeh, yang kurang atau bahkan tidak memberikan manfaat bagi mayoritas orang, masyarakat banyak.
Misalnya, ketika pemerintah didukung masyarakat banyak, didukung rakyat bersepakat untuk melakukan vaksinasi pada masyarakat, masih saja ada yang menentangnya, dengan alasan yang dibuat-buat, yang waton sulaya. Ada pula yang menentang dengan menyatakan bahwa menentang adalah hak asasi.
Apakah mereka lupa bahwa mereka hidup di tengah masyarakat, tidak hidup sendiri di tengah samodra luas, tidak hidup sendiri di tengah hutan rimba. Karena itu, apa pun yang dilakukan, tidak bisa hanya mementingkan diri sendiri, semaunya saja, tetapi juga harus memikirkan orang lain: apa dampak tindakannya bagi orang lain?
Bukankan vaksinasi adalah upaya negara dalam melindungi masyarakat dari ancaman pandemi Covid-19. Vaksinasi dilakukan agar cepat terbentuk kekebalan pada tubuh masyarakat, herd immunity, kekebalan komunitas. Dengan tubuh kebal dan memiliki antibodi maka bisa mencegah Covid-19, memutus matarantai penyebaran Covid-19.
Kekebalan komunitas adalah sangat penting. Sebab, vaksinasi hanya akan efektif jika ada kekebalan komunitas. Bila komunitasnya kuat, sehat, maka negara pun akan sehat dan kuat kembali. Kehidupan akan kembali bergulir dalam kondisi normal, meski mungkin tidak seperti sedia kala akan tetapi lebih bebas dibanding kalau tetap di bawah “kekuasaan” Covid-19.
Akan tetapi, mengapa masih saja ada orang—sementara orang—yang memilih jalan trivialisme? Itu terjadi karena mereka tidak memiliki perspektif untuk melihat dan terlibat dalam gerak untuk mencapai tujuan bersama yang besar; tujuan bersama yang harus dilakukan secara bersama-sama. Yang mereka pikirkan, yang mereka utamakan, yang mereka perjuangkan hanyalah kebutuhan diri. Padahal, tujuan besar bersama dengan vaksinasi adalah keselamatan bangsa dan negara; keselamatan seluruh rakyat.
Orang boleh membual sampai berbusa-busa tentang kehebatan kalkulasi nalar mengapa menentang vaksinasi. Namun, sejarah telah membuktikan bahwa vaksin-lah yang telah menyelamatkan umat manusia.
Vaksinasi telah merevolusi kesehatan global. Bisa dibilang vaksin sebagai inovasi yang paling menyelamatkan jiwa dalam sejarah pengobatan. Misalnya, Edward Jenner (1749-1823) seorang dokter dari Inggris pada tahun 1796 menciptakan vaksin cacar. Selama berabad-abad cacar merupakan salah satu wabah yang paling ditakuti di dunia, menewaskan sebanyak 30 persen dari korbannya, kebanyakan dari mereka adalah anak-anak. Ditemukannya vaksin cacar telah memangkas angka kematian anak, dan mencegah cacat seumur hidup (https://www.historyofvaccines.org).
Louis Pasteur (1822-1895) ahli kimia dan mikrobiologi Perancis, pada tahun 1885 menemukan vaksin rabies. Antitoksin dan vaksin melawan difteri, tetanus, antraks, kolera, wabah penyakit, tifoid, tuberkulosis, dan lainnya dikembangkan selama tahun 1930-an. Pertengahan abad ke-20 merupakan masa aktif untuk penelitian dan pengembangan vaksin. Penemuan-penemuan dan inovasi-inovasi baru terus dilakukan. Dan, dihasilkanlah, misalnya, vaksin untuk polio, tetanus, campak, gondokan, hepatitis A, hepatitis B dan sebagainya.
IV

Semestinya, sejarah menjadi guru kehidupan. Sejarah juga merupakan saksi zaman. Tetapi, orang cenderung melupakan semua itu. Ada sementara orang yang cenderung menganggap dirinya lebih tahu, atau bahkan paling tahu.
Mereka itu tentu bukan seorang “ciptaning” sejati; seorang yang berhati, berpikiran bersih, memupuk budi luhur dan mengembangkan sifat ksatria; yang setia pada perkara kecil, karena dengan demikian akan sanggup setia pada perkara besar. ***
Bagus mas Trias.
Tapi masih kurang menohok sikap arogansi nya mbakyu Ribka yg sok hebat itu mas
Ikut meninggalkan jejak… Matur nuwun sentilannya Mas Ias. Mewakili semua yang ingin sehat jiwa dan mental ….
Sama-sama, Amir….
Terima kasih telah membaca dongengku…
Bertambah lagi pengetahuan dengan membaca tulisan Pak IAS. trivialisme, yakni kecenderungan sibuk dengan hal-hal kecil yang kurang penting, hal-hal remeh-temeh, yang kurang atau bahkan tidak memberikan manfaat bagi mayoritas orang, masyarakat banyak.
Terima kasih banyak Fikri…semoga bermanfaat
Sae punika, mas Trias
Matur nuwun sanget….
Keren ulasannya. Semoga bangsa ini bisa berlaku ciptaning utk kesejahteraan umat.
Terima kasih banyak Mbak….salam kenal
Matur nuwun Mas Heru….
Bagus mas Trias. Semoga membuka mata hatinya, Ciptaning sadar akan kekeliruannya dan melakukan pertobatan.
Jika belum saya rasa dia harus dipentokkan langsung aja maksutku di PAW toh masih banyak orang yang jauh lebih baik dan kredibel
Hahahaha…kalau PAW urusan partai tuh….
Matur nuwun
Mas Ias, apik tulisannya seperti biasa. Saya banyak mendapat pengetahuan baru dari membaca tulisan ini.
Tapi saya ragu apakah Ciptaning yang bukan begawan, jika membaca tulisan ini, akan merasa tertohok?
Hahahaha…saya rasa tidak, Bung Riza…..heheh….
TErima kasih banyak
Bagus banget Dimas Trias… Yang mengherankan gerakan trivialisme ini selalu akan muncul secara mencolok dan untuk bbrp waktu lamanya nyeret yang lain untuk ngikutin meskipun sebenarnya very ver stupid…. Emang roh jahat akan selalu pamer kekuatan di tengah pergumulan anak2 manusia yang sedang mencari kebenatan….. Salam sehat… BD.
matur nuwun sanget Kangmas…sampun maos lan paring komentar…salam
Keren Romo. Pas pedesnya. Karet dua…
Hahahahah…..karet dua…. (beli gado-gado, ya)
Sukron, Ustadz…
Sangat mencerahkan infonya. Tks
Terima kasih banyak
Matur nuwun Mas Trias, tulisannya mengobati rasa sebal arogansi “Ciptaning”.
Nenny, terima kasih….ya sekadar untuk ngudaras
Sangat mencerahkan analisis tulisan guru dengan setting cerita wayang. Tetap ditunggu pencerahannnya. Tks
Terima kasih…salam…tetap sehat
Apik mas…
Nuwun, Ben….
Mbak Cip yang satu ini justru memberi “kado” bagi partenya yang baru saja ultah – yang membingungkan khalayak.
Hahahahahahhahaha……..Begitu, ya
Matur nuwun Mas Trias. Tulisannya sbg penyadar tahuan akan kearifan dalam bertutur. Salam sehat..??
Pak Teras Narang, terima kasih banyak…
Semoga selalu sehat…
Salam
Harusnya mereka itu baca tulisan ini. Harusnya mbakyu di DPR itu membaca tulisan ini dan melihat rekaman ulang. Kalau saya malu sekali punya perilaku seperti itu.
Semoga tulisan ini sampai ke Mbahkyu,….Mas Titing….
Matur nuwun
Tulisaan yang bagus dan mengkar pada filosofi wayang dan kejawen yg syarat dgn nilai-nilai etis dan moral. Masalahnya apakah tulisan yg mengadung kritik untuk seseorang yg namanya copy paste dgn Sang Begawan masih sadar diri dan tahu diri?
TErima kasih Mas Joko…
Nah, itu terpulang pada yang bersangkutan…..kita kan kadang-kadang seperti teriak di tengah padang gurun….
ya nggak papa..
salam
*Mencerdaskan dan Mencerahkan uraian Mas Trias*
Kita hidup tidak sendirian di muka bumi ini, hendak nya kita mau melebur dalam kebaikan bersama.
Mestinya demikian, Mas….
Matur nuwun…
Trims Trias.
Tulisan ini bahkan bisa menjadi pemicu Ciptaning Public Community.
Sebuah komunitas yang mulai sadar membangun Ciptaning bersama..demi menambah Herd Imunity dan Resiliensi.
Salam sehat dan tangguh selalu Mas. Trias..
Lama tidak berjumpa. Sama sama bertapa di masa pandemi.
Siap…semoga selalu sehat….
Iya, ini masih terus bertapa…
Sma2 terima kasih…sudah meluangkan waktu untuk membacanya. Salam
Kok bisa ya dokter Ribka menolak divaksin?
Itulah….keunikannya….
Dicatat:
“ciptaning” memiliki pikiran yang jernih, yang bersih, yang bening, yang menjadi manusia berkesadaran spiritual tinggi. memupuk budi luhur dan mengembangkan sifat ksatria; yang setia pada perkara kecil, karena dengan demikian akan sanggup setia pada perkara besar.”
Kebalikannya:
Trivialisme, yakni kecenderungan sibuk dengan hal-hal kecil yang kurang penting, hal-hal remeh-temeh, yang kurang atau bahkan tidak memberikan manfaat bagi mayoritas orang, masyarakat banyak.
Terima kasih
Mencerahkan Mas Trias….Sae. Matur nuwun
Sami-sami matur nuwun….Salam
Semoga mbak Cip baca dan sadar dan bs mengurangi angkara pamrihnya, salam sehat mas kelik
Semoga demikian../nuwuwn…salam
Siiiip mas Trias
Jian pindho sabdo pandito.
Lir nabi ning Sang Yang Widi
Mencerahkan
Mengingatkan tanpa menyakitkan.
Lanjut Mas !
Mas Widada, apa khabar…semoga selalu sehat nggih.
Matur nuwun…telah membaca “dongeng” ini
Salam
Tulisan yang bagus yang didasari oleh ceritera pewayangan yang syarat dengan nilai-nilai keutamaan, etika dan moral. Persoalannya apakah orang yang dikritik dengan halus ini yang namanya copy paste dengan nama Sang Begawan masih memiliki rasa asketisme, humble dan berjuang untuk kepentingan umum? Saya rasa tidak. Namun seandainya dia membaca tulisan Mas Trias lalu bertobat, kritik semacam ini ternyata masih berfanfaat juga. Semoga. Selamat
Terima kasih, Mas….yang kita beteriak sejauh masih bisa berteriak…soal tidak didengar…urusan lain…
Salam
Sy tak tahu harus berkomentar apa mas. Mungkin begitulah… Jahatnya pllitik ya mas?
Mungkin benar begitu, Mas…
Sangat mendalam kajian kultural yg sangat santun ini, cm mampukah kehalusan tutur kata ini menyentuh kerasnya arogansi mbak ciptaning ?
Hahahaha…….
Kalau yang “keras” biar urusan orang lain…
Salam…
Saya gagal paham kalau ada yang membela Ribka Ciptaning. Sekjend PDIP juga terlalu cepat inging “menyelamatkan” muka partainya, alhasil argumenasinya sangat lemah.
Hahahaha….banyak yang gagal paham, Pakde…ora papa….Nuwun
Tulisan mendalalm. Pakai pasemon ala jawa, menyinndir halus tp menohok.
TErima kasih banyak, Bung Cosman…salam
Tulisan yg bernas dan ditulis dg keadaab ‘ning dan niskala’.
Terima kasih pak Trias
Sama-sama, terima kasih banyak..sudah meluangkan waktu untuk membaca. Salam
Makasih mas trias, tulisannya keren buat mimikri saya nulis. Semoga saya bisa ikuti jejaknya
Terima kasih banyak, Mbak…salam..terus kreatif dan berkarya….