
Mengapa ketika Presiden Jokowi ke Padepokan Bagong Kussudiarja memantau vaksinasi Covid-19 terhadap 500 seniman, disambut para penari berdandan Petruk? Itu pertanyaan semantara orang beberapa waktu lalu.
Butet Kartaredjasa yang tuan rumah mengatakan, sengaja memilih Petruk sebagai tokoh. Presiden Jokowi memang kerap diidentikkan dengan sosok Petruk, salah satu dari empat punakawan. Sebagaimana Petruk, Jokowi dianggap representasi rakyat. Sejak memasuki gelanggang politik, Jokowi mencitrakan dirinya sebagai wakil wong cilik.
Istilah wong cilik—Koentjaraningrat menggunakan istilah tiyang alit—adalah sebuah istilah yang digunakan untuk membedakan status sosial dalam masyarakat Jawa. Dalam penggunaannya wong cilik selalu dikontraskan dengan istilah priyayi.Jadi ada wong cilik dan priyayi (wong gedhe). Dalam banyak kasus, wong cilik menderita karena wong gedhe.
Sementara itu, Clifford Geertz membedakan orang Jawa menjadi dua golongan: santri untuk yang menjalankan ajaran agama (Islam) dengan sungguh-sungguh, dan abangan untuk orang kebanyakan. Sekalipun, Niel Mulder (2001) berpendapat bahwa orang Jawa adalah makhluk religius.
Masyarakat yang dikelompokkan ke dalam golongan wong cilik adalah sebagian besar massa petani, petani gurem, para pekerja kasar, para pedagang kecil, buruh kecil, tukang becak, pengasong, dan sebagainya. Mereka ini merupakan masyarakat kebanyakan dan menjadi lapisan masyarakat bawah.
Sekalipun Magnis-Suseno (1993) membedakan arti wong cilik dan orang miskin. Antara orang kecil dan orang miskin tidak sama. Orang miskin termasuk orang kecil, sedangkan orang kecil hidupnya sederhana, tapi belum tentu miskin. Begitu kata Magnis-Suseno.
Sekalipun demikian, mereka adalah kelompok masyarakat yang tidak memiliki daya, tak punya kuasa, powerless. Karena itu, mereka adalah kaum yang sering dieksploitasi, dimanfaatkan menjadi obyek kepentingan terutama pada saat masa pemilu, pilkada.
Dalam banyak hal, mereka diabaikan, dikalahkan. Misalnya, selama ini banyak yang menganggap bahwa hukum di Indonesia tajam ke bawah tumpul ke atas. Kalau sama rakyat biasa dan miskin hukum ditegakkan seadil-adilnya. Tidak demikian terhadap para pejabat tinggi yang korup. Belakangan ini ramai dibicarakan soal kurang adilnya hukuman yang dijatuhkan pada para pejabat yang terlibat korupsi.

II
Mereka itulah Petruk, kata Sindhunata, rohaniwan dan budayawan Pemimpin Redaksi Majalah Basis.
Dalam pagelaran wayang purwa atau wayang kulit, Petruk itu mewakili suaranya dalang. Ini berbeda dengan Gareng, Semar, dan juga Bagong. Dalang itu mewakili suara rakyat. Maka itu, suara Petruk juga suara rakyat. Berbeda dengan Semar yang dewa, Petruk itu manusia biasa. Dekat dengan kita. Berasal dari lingkungan kita.
Karena berasal dari lingkungan kita, Petruk tahu kita. Petruk tahu hati rakyat, karena ia juga rakyat jelata. Meskipun Petruk menjadi pemimpin, tetapi ia tahu apa yang diinginkan rakyat, wong cilik. Ia pemimpin yang selalu memikirkan rakyat, kaumnya.
Hal itu dilambangkan—sosok Petruk dalam wayang kulit—satu kaki jinjit dan satunya menapak tanah. Kaki jinjit menyimbolkan cita-citanya yang jauh terbang tinggi, menggapai langit ke-ilahian. Sedangkan, kaki yang satunya menapak tanah melambangkan kesadaran dirinya yang manusia biasa, harus membumi.
Maka itu namanya pun “Petruk Kantong Bolong,” kata Herjaka, seorang pelukis wayang. “Kantong bolong”, artinya rezeki tidak dikantongi sendiri, untuk kepentingan diri, kepentingan keluarganya, kepentingan kelompoknya sendiri, tetapi untuk orang lain, mengalir ke rakyat. Ia, Petruk, hanya menjadi sarana mengalirnya rahmat Allah dilambangkan dengan “kantong bolong” itu.
Seorang Petruk—sesuai dengan namanya “Petruk Kantong Bolong”—sekalipun rakyat jelata, apalagi kalau berkuasa akan selalu membela dan memperjuangkan kaumnya, yakni kaum miskin.
Ia memperjuangkan keadilan: tidak membiarkan hukum tajam ke bawah dan tumpul ke atas. Karena bagi Petruk, ubi ergo iustitia vera non est, nec ius potest esse, di mana tidak ada keadilan sejati, hukum pun tidak tepat guna. Karena itu, keadilan sejati harus ditegakkan sekalipun langit runtuh.
Kisah “Petruk Dadi Ratu”, misalnya, sebenarnya merupakan sindiran. Kisah satire terhadap keadaan yang tidak semestinya, misalnya, di mana ulama bicara politik, pebisnis jadi politisi, pelawak jadi wakil rakyat, politisi malah menjadi pelawak, yang tahu diam saja tetapi yang tidak tahu berteriak-teriak seakan tahu semuanya.

III
Petruk, yang adalah rakyat, meskipun hidungnya panjang tentu bukan Pinokio, boneka kayu bikinan Kakek Gepeto yang setiap kali berbohong hidungnya bertambah panjang. Piniko boneka kayu itu adalah lambang kebohongan. Kebohongan menjadi bagian dari Pinokio.
Tidak demikian dengan Petruk. Sebagai rakyat biasa, wong cilik, Petruk akan selalu bicara apa adanya, terus terang, karena dunia wong cilik adalah dunia terang bukan dunia kegelapan. Mereka tahu, seorang pembohong tidak akan dipercaya bahkan ketika berbicara tentang kebenaran.
Kata orang pandai, sebuah kebohongan tidak akan cocok dengan apapun, kecuali dengan kebohongan lainnya. Pikiran wong cilik tidak rumit, karena tidak memikirkan bagaimana caranya berbohong. Wong cilik hanya punya pikiran sederhana saja, bagaimana dapat melanjutkan hidup ini dengan tenang dan kecukupan.
Untuk bisa hidup, mereka bekerja keras. Itu mereka lakukan, meski tidak memahami filosofi homo faber, manusia adalah mahkluk yang bekerja. Tetapi, mereka tetap bekerja demi hidup. Mereka terbiasa menghadapi kekurangan, namun selalu punya mekanisme jalan keluarnya. Itulah kearifan lokal itu.
Tugas wong gedhe adalah memberikan kebebasan, kemandirian, dan ketenangan hidup wong cilik. Syukur bisa memberi kemudahan bagi wong cilik dan tidak korupsi serta berebut kursi. Korupsi tidak hanya masalah hukum, melainkan sudah menyentuh sendi-sendi tanggung jawab sebagai warga negara dalam hidup bernegara. Korupsi menghancurkan pola kehidupan politik yang bertanggung jawab dan digantikan dengan kerakusan.
Lalu siapa yang akan memperjuangkan kepentingan rakyat, wong cilik, kalau wong gedhe mementingkan dirinya sendiri dengan korupsi? Maka Petruk di Padepokan Bagong Kussudiarja mengingatkan bahwa pemimpin itu sepenuhnya harus mengabdi kepada kepentingan rakyat. ***
Sebagai rakyat biasa, wong cilik, Petruk akan selalu bicara apa adanya, terus terang, karena dunia wong cilik adalah dunia terang bukan dunia kegelapan.
Sae mas..
Nggih..matur nuwun Ben….wong cilik adalah “anak-anak terang.”
Ulasan bagus? Petruk selain jujur, berintegtitas juga cerdas. Semoga banyak pemimpin yang bersifat seperti punakawan Petruk.
Amin…semoga demikian, Pak..banyak yang mau melayani …tidak menjadi Sengkuni..
Bener banget. Seratusss…
Tulisan bagus dan menggelitik.
Peyruk to diri Jokowi rasanya sudah kecampuran visi Semar.
Sepakat Mas Mardi…kedewaan Semar mempengaruhi Petruk…salam
Inspiratif & uapik iki sing iso ngerti lan nglakoni.
Tp ojo melu dowo irunge ….
Hahahahah….semoga tidak, Om….salam
Ulasan yg sangat menarik dari Mas Tyas. Sayang senjata Petruk berupa pethel tdk diulas.
Seingat saya yg jalannya satu kaki jinjit itu Gareng. Petruk berjalan normal. Tapi namanya juga wayang. Hasil imajinasi jenius Sunan Kalijaga dlm menggambarkan karakter manusia. Jadi kalau Petruk jalannya dua kakinya jinjit agar tdk menginjak tahi ayam juga nggak apa apa.
Hahahah…nanti saya cari maknanya pethel….terima kasih banyak
Sangat menyegarkan pencerahannya. Semoga Petruk tetap Petruk seperti pemimpin bangsa Indonesia saat ini. Bukan Petruk Dadi Ratu
Semoga demikian…terima kasih…
Seperti biasanya, tulisan Bung Trias ini mendalam dan meninjau dari pelbagai perspektif. Enak sekali dinikmati. Berbobot sekaligus disampaikan dalam bahasa yang mudah dicerna. Kayaknya pengaruh penguasaan bahasa Latin-nya kuat. Selamat Mas Trias. Ditunggu tulisan berikutnya.
Terima kasih banyak, Romo…atas apresiasinya. dan terima kasih telah menyisihkan waktu untuk membaca. Salam…
Wong cilik hanya punya pikiran sederhana saja, bagaimana dapat melanjutkan hidup ini dengan tenang dan kecukupan.
Sangat menyentuh…terima kasih, Pak IAS
Begitulah Fikri…semoga saya tidak salah….salam
menarik sekali Mas Ias.. pemimpin sejatinya juga dari wong cilik, untuk wong cilik, dan oleh wong cilik. yg merasa wong gedhe sebenarnya hanya egonya atau kesombongannya sendiri. hakikat manusia ialah cilik, dan cilik banged. karenanya tepat penggambaran petruk untuk para pemimpin, yakni agar ingat dirinya yang cilik itu, dan sadar kekuasaan adalah pelayanan bagi sesama… matur nuwun Mas Ias..
Setuju banget, Rek…terima kasih ya, telah menyisihkan waktu untuk membaca
Salam
Matur nuwun. definisi kantong bolong yg baru untuk saya. Seteah reformasi Jokowi memang Presiden terbaik mewakili wong cilik. Like it.
Sama-sama Pakda…matur nuwun…itulah ajaran Cinta Kasih…Nuwun
Ulasan yang menarik, Mas Trias.
Dan mancungnya Petruk kan memang tidak ada hubungan kisah dengan memanjangnya hidung Pinokio ya.
Matur nuwun…
Lakon Semar, Gareng, Bagong dan Petruk bersifat universal dan masih relevan dalam kehidupan masyarakat sekarang ini.
Terima kasih pakde Tyas yang dengan gamblang memberikan pencerahannya.
Sami-sami, terima kasih banyak sudah meluangkan waktu membaca. Salam
Petruk hidup bersama Semar, kedewaan Semar sangat mempengaruhi hidup religius Petruk. Sebagai punakawan, Petruk selalu menunjuk mana yang benar mana yang salah tan[a manipulaif. di saat yang diabdi cape dia menghibur, di saat menghadapi raksasa yang sepertinya tak terkalahkan dia mampu mengingatkan senjata apa yang harus digunakan untuk menumpas musuh yang membahyakan dirinya dan rakyat yang ada dibelkakangnya.
Ini yang belum saya singgung Romo, “hidup religius” Petruk karena kedewaan Semar…matur nuwun…
Jokowi (21 Juni 1961), sdh dilahirkan dari keluarga sederhana, dng banyak tempaan hidup utk menjadi “Petruk”, termasuk pindah rumah beberapa kali krn tinggal di bantaran kali di Solo. Maka sebuah buku “Jokowi Pemimpin Rakyat Berjiwa Rocker, oleh Yon Thayrun, Noura Book, 2012, hal.34), mengatakan : “Tempaan hidup yang keras, membuat karakter Jokowi lebih ngowongke (menghargai martabat manusia – ed). Kecerdasan dan empati yang tinggi membuat dirinya lengkap sebagai pemimpin rakyat. Sederhana, simpel, tak mau tampil hanya cari muka, memiliki mimpi yang luar biasa. Itu semua tak dibuat-buat atau dicitrakan olehnya”.
Ya, betul Mas…demikian..tempaan keluarga telah membentuk kepribadiannya. Nuwun
Ulasan yang menarik, Mas Trias.
Dan mancungnya Petruk kan memang tidak ada hubungan kisah dengan memanjangnya hidung Pinokio ya.
Lha, yang bikin Petruk dan Pinokio, berbeda….hahahahaha
matur nuwun