I

“Halo sobat BMKG, berikut disampaikan tayangan update prakiraan cuaca esok hari….” Sapaan seperti itu setiap pagi saya terima lewat WA, yang dikirim oleh Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika Indonesia (BMKG), Dwikorita Karnawati.
Prakiraan (perkiraan) cuaca, dalam bahasa sehari-hari disebut ramalan cuaca. Para ahli mengatakan, cuaca adalah satu faktor alam yang tidak dapat dikontrol oleh manusia. Dengan ilmu dan teknologi, manusia berusaha memperkirakan keadaan cuaca; dengan ilmu dan teknologi memperkiraan keadaan atmosfer Bumi pada masa datang untuk suatu tempat tertentu.
Maka prakiraan dilakukan berdasarkan hasil perhitungan rasional—bukan hitungan ngawur-ngawuran—tetapi perhitungan berdasarkan data yang tersedia kemudian dianalisis. Misalnya, prakiraan cuaca. Kondisi cuaca harian dipengaruhi oleh kondisi iklim regional maupun iklim global.
Kondisi cuaca sangat mempengaruhi berbagai sektor kehidupan manusia. Salah satu sektor yang sangat bergantung pada kondisi cuaca adalah sektor transportasi. Cuaca buruk sangat mengganggu keamanan transportasi. Banyak kecelakaan kapal laut terjadi akibat ombak besar akibat hujan dan badai.
Ada yang pernah melakukan penelitian bahwa sekitar 12 persen dari kecelakaan pesawat disebabkan oleh kondisi cuaca. Maka itu, kerap kali pesawat batal terbang karena kondisi cuaca tidak mendukung atau berbahaya.
II

Para petani dan juga nelayan pun sebelum adanya teknologi canggih untuk membaca keadaan cuaca, memiliki kearifan lokal, untuk membaca cuaca. Misalnya, dengan membaca bintang. Nenek-moyang kita pun, dahulu pandai membaca “tanda-tanda alam”. Mereka memiliki “Ilmu Titen.” Ilmu ini berupa kepekaan terhadap tanda-tanda atau ciri-ciri alam.
Kata titen (bahasa Jawa, titi) berarti tanda. Tetapi, ada pula yang mengartikan sebagai “ngati-ati” atau berhati-hati. Dalam pandangan masyarakat Jawa, sikap kehati-hatian ini memiliki arti peringatan sekaligus nasihat untuk lebih peka terhadap apapun.
Dengan “Ilmu Titen” mereka mengamati, menganalisa, dan menyimpulkan suatu kejadian berdasarkan tanda-tanda tertentu yang menyertai. Sehingga manusia akan “niteni” atau menandainya sebagai satu kejadian yang akan terjadi.
Masyarakat zaman dulu mengamati setiap tanda-tanda kejadian alam yang berlangsung untuk menentukan mangsa, musim. Maka kemudian disusun Pranata Mangsa, Ketentuan Musim. Petani dapat memahami mangsa berdasarkan kejadian atau situasi alam yang dialami, yang terkait dengan usaha taninya. Para petani dan juga nelayan sebelum adanya teknologi canggih untuk membaca keadaan cuaca, memiliki kearifan lokal, membaca cuaca. Misalnya, dengan membaca bintang.
III

Telah lama manusia mampu membaca tanda-tanda alam. Menurut sejarah, sekitar tahun 650 SM bangsa Babilonia, sudah memiliki kemampuan untuk membuat prakiraan cuaca. Bahkan dalam Kitab Suci Perjanjian Baru pun ada tertulis, “Pada petang hari, karena langit merah, kamu berkata : hari akan cerah ; dan pada pagi hari karena langit merah dan redup, kamu berkata : hari buruk….”
Tetapi, apakah manusia juga mampu membaca “Tanda-tanda Zaman?” (Meminjam istilah yang digunakan oleh Romo Dick Hartoko SJ—sudah almarhum—pengasuh Majalah Kebudayaan BASIS, untuk menamai rubriknya).
Dahulu, Raden Ngabehi Ranggawarsita lewat Serat Kalatida, mengungkapkan tanda-tanda zaman yang ditangkapnya.. Ranggawarsita menulis amenangi zaman edan, mengalami hidup di zaman edan, karena dunia zaman itu dikuasai oleh nafsu ketamakan dalam berbagai bentuk.
Sebenarnya, zaman edan yang digambarkan Ranggawarsita itu, masih tetap berlangsung. Di tengah derita karena pandemi, masih saja ada orang yang mencari keuntungan diri. Entah itu mengkorupsi dana bantuan sosial maupun dalam bentuk-bentuk lainnya. Tak peduli kepada sesama, tidak mau divaksin, menyebarkan kabar bohong tentang vaksin.
Kalangan antivaksin di Indonesia dikelilingi oleh teori konspirasi “elite global” dan berita palsu, bohong, sehingga banyak kalangan yang menganggap virus ini hanya permainan para konspirator dunia. Beragam aktivitas dilakukan guna menyebarluaskan gerakan antivaksin tersebut, mulai dari pembuatan grup di Facebook, perang buzzer di Twitter, sampai feeds di Instagram, termasuk juga memalsukan surat hasil tes Polymerase Chain Reaction (PCR).
Tetapi, ada juga tanda-tanda zaman yang positif: ada banyak orang yang secara suka rela memberikan bantuan kepada orang lain yang menjadi korban pandemi Covid-19 dalam segala macam bentuk dan rupanya. Yang mempunyai banyak, memberikan banyak, yang memiliki sedikit memberikan sedikit, yang memiliki tenaga memberikan tenaga, termasuk juga memberikan perhatian, menyediakan tempat untuk isoman dan lain sebagainya.
Memang tidak mudah menangkap tanda-tanda zaman. Meskipun tanda-tanda zaman dalam hidup kita senyatanya muncul setiap hari, di mana kita tinggal, di sekitar kita, di tengah masyarakat kita, tempat kita sekarang ini berjuang bersama-sama menghadapi pandemi Covid-19. Sebab, untuk mampu menangkap tanda-tanda zaman dibutuhkan kepekaan hati. Mereka yang memiliki kepekaan hati bisa melihat dan menjadikan krisis sebagai katalisator untuk perubahan besar, baik itu pribadi maupun struktural.
Maka harapannya, pandemi Covid-19 ini menjadi tanda bagi kita semua untuk mampu, mengubah sifat mencari untung (entah politik maupun ekonomi, juga sektarian yang merupakan tanda-tanda zaman negatif), di tengah penderitaan banyak orang, menjadi lebih solider, toleran, memiliki keutamaan berbela rasa (compassion), tidak egoistik. Dan, semoga pula pandemi ini merupakan tanda yang jelas bagi mereka yang selama ini lebih mementingkan kelompok dan golongannya, menjadi manusia yang memiliki sikap beyond terhadap kepentingan diri dan seluruh kelompoknya.
Dengan demikian, pandemi Covid-19 ini justru bisa menjadi pembangkit dan penggerak bangsa, dan penyemangat bangsa untuk memasuki hidup baru, zaman baru, yang diharapkan lebih baik dalam segala bidang, termasuk dalam kehidupan bermasyarakat, bernegara, hubungan antar-anak bangsa yang berbeda-beda, dan hubungan dengan alam. ***
Semoga tanda-tanda zaman menyadari sikap ketamakan manusia dan keangkuhan sekelompok umat manusia. Gizi ilmu yang mencerahkan.
Setuju sekali Mas Trias. Sekarang saat kita mampu untuk realistis. Kita juga tidak bisa mengandalkan ke-optimisan. Apalagi pesimis. Kebersamaan dan empati sangat perlu. Mari bersama kita selalu berdoa agar pandemi ini segera berlalu. Salam sehat. Matur kesuwun…??
Amin…betul sekali, Pak Teras…kita harus terus meningkatkan kebersamaan, persaudaraan, dan persatuan….demi Indonesia….Salam
Tanda-tanda jaman pandemi ini, ada yg penuh kesadaran, sungguh “eling & waspada” akan bahaya pandemi. Krn itu, pro vaksinasi, peduli sesama, dan bergotong royong demi kehidupan dan penghidupan semua orang.
Tp, ada pula yg lihai memanfaatkan, bahkan memanipulasi situasi agar ada peluang utk peroleh untung, baik ekonomi, politik, instabilitas sosial, dst.
Untuk covid 19, sdh ada vaksinasi dan obatnya. Mdh2an utk mereka yg sikapnya “belum beyond” thd kepentingan diri atau klpoknya … segera juga ditemukan & dilakukan terapinya agar segera “sehat” juga.
Betul, Bro Senior…semoga demikian….tetap semangat…menyebar berkah…
Amin…semoga demikian Jufri…makin banyak orang yang berhati…
Inspiratif dan berkah
Sukron, Ustadz…salam tetap sehat
Mas Trias, pengen jenengan mengulas covid-19 sebagai sahabat manusia jaman sekarang ini untuk berkembang atau mengalami entah revolusi ataupun evolusi penegasan diri.
Ya, Mas..semoga bisa..nuwun
Tetapi masih banyak yang justru ngaco dan atau mencari untung. Semoga mereka cepat sadar.
Betul, Pak…semoga demikian, cepat menyadari…terima kasih
Sebuah perenungan yang mencerahkan kehidupan manusia namun kondisi di Indonesia malah menjadi paradox dari situasi yang sangat memprihatinkan ini, jadi pertanyaan Negara kah yang tidak bijak dan tidak mampu menciptakan situasi toleran antar warganya, atau kah tehnologi yang membuat warga negara makin menjauh dari nilai kemanusiaannya ?
Pertanyaan sangat menarik dan penting, Teuku…terima kasih banyak…
Salam..semoga selalu sehat….
Saya yakin, melalui pandemi ini, dunia akan me jadi lebih baik.
Kita dipaksa meninggalkan hal-hal yg tdk perlu dan diberi kesempatan utk memikirkan kepentingan orang lain.
Semoga demikian, Mas Guru…itu doa kita semua…salam
Kita dihajar atau diajar pndemi untuk hidup dalam habitus baru.
Ilmu titen, memperhatikan tanda zaman. Tapi ironisnya, orang malah mencari2 yg buruk dan terus berupaya memperburuk yang buruk dari yang sudah baik..zaman edan menemukan kebenarannya.
Nah, itulah…mencari kekurangan orang lain, memang lebih mudah….salam
Nutritious for the mind and heart. Tks
Terima kasih banyak…salam