I

Ismail Marzuki, anak Betawi yang lahir di Kwitang pada 11 Mei 1914 (meninggal di Kampung Bali, Tanah Abang, Jakarta, 25 Mei 1958) adalah salah seorang komponis besar Indonesia. Karyanya antara lain, Rayuan Pulau Kelapa (1944), Gugur Bunga di Taman Bakti (1945), Halo-halo Bandung (1946); juga Sepasang Mata Bola dan Aryati.
Lagu itulah—Rayuan Pulau Kelapa—yang dinyanyikan di Gereja Katolik Katedral Santa Theresia Lisieux Sibolga, saat tahbisan Uskup baru Keuskupan Sibolga Mgr. Fransiskus TS Sinaga, Kamis (29/7). Adalah Uskup Agung Jakarta, Ignatius Kardinal Suharyo yang mengajak seluruh umat, saat khotbah—untuk menyanyikan lagu Rayuan Pulau Kelapa.
Katanya, lagu Rayuan Pulau Kelapa berbicara tentang cinta Tanah Air: “Waktu itu, kesempatan mengajak umat untuk merawat cinta Tanah Air,” kata Kardinal. Maka Kardinal pun menyanyikan : Tanah airku Indonesia/Negeri elok amat kucinta/Tanah tumpah darahku yang mulia/Yang kupuja sepanjang masa/….
Cinta Tanah Air. Lain lagi cara Greysia Polii/ Apriyani Rahayu dalam mengekspresikan kecintaan mereka pada Tanah Air. Mereka berjuang habis-habisan untuk merebut emas dalam cabang bulutangkis pada Olimpiade 2020 di Tokyo, Jepang. Dan, berhasil! Mereka mempersembahkan emas—yang pertama untuk ganda putri dan satu-satunya emas yang direbut Indonesia pada olimpiade kali ini.
II

Lagu Rayuan Pulau Kelapa, mengandung tema nasionalisme. Syair-syair lagu itu mengandung kecintaan terhadap Tanah Air, menjaga lingkungan, kebanggaan atas sumber daya yang dimiliki Indonesia, ikut menjaga kelestarian dan memelihara kelestarian lingkungan serta menjunjung tinggi harkat dan martabat bangsa.
Itulah nasionalisme. Nasionalisme secara sederhana dapat dirumuskan sebagai kemampuan untuk mencintai bangsa dan negara. Rasa cinta tanah air dan bangsa merupakan kesadaran dan tanggung jawab sebagai warga negara. Nasionalisme adalah yang menentukan bangsa mempunyai rasa cinta secara alami kepada Tanah Airnya.
Kata Bung Karno, nasionalisme Indonesia juga merupakan nasionalisme yang memuliakan kemanusiaan universal dengan menjunjung tinggi persaudaraan, perdamaian, dan keadilan antarumat manusia (Yudi Latif, 2011). Inilah nasionalisme kemanusiaan Mahatma Gandhi. Kata Gandhi, “Nasionalisme saya… tidak eksklusif, atau dirancang untuk merugikan bangsa atau individu mana pun. Misi saya bukan hanya persaudaraan kemanusiaan India….saya berharap untuk mewujudkan dan melanjutkan misi persaudaraan manusia. Konsepsi patriotisme saya tidak ada artinya jika tidak sejalan dengan kebaikan seluas-luasnya bagi umat manusia pada umumnya…”
Karena nasionalisme Indonesia adalah nasionalis yang memuliakan kemanusiaan, maka menurut Bung Karno, nasionalisme Indonesia tidaklah nasionalisme “chauvinis” atau “provinsialis” yang memecah belah. Nasionalisme semacam itu, adalah bentuk “assyabiyah yang dikutuk Allah.”
Prinsip nasionalisme bangsa Indonesia dilandasi nilai-nilai Pancasila yang diarahkan agar bangsa Indonesia senantiasa: menempatkan persatuan kesatuan, kepentingan dan keselamatan bangsa dan negara di atas kepentingan pribadi atau kepentingan golongan; menunjukkan sikap rela berkorban demi kepentingan bangsa dan negara; bangga sebagai bangsa Indonesia dan bertanah air Indonesia serta tidak merasa rendah diri.
Selain itu juga mengakui persamaan derajat, persamaan hak dan kewajiban antara sesama manusia dan sesama bangsa; menumbuhkan sikap saling mencintai sesama manusia; mengembangkan sikap tenggang rasa.
III

Rasanya, sekarang, ketika pandemi Covid-19 masih menelikung negeri ini perlu kiranya perlu “merenungkan ulang” nasionalisme Indonesia yang dilandasi nilai-nilai Pancasila itu. Semestinya, memang, pandemi Covid-19 semakin meneguhkan rasa nasionalisme kita semua, bukan justru sebaliknya.
Bukankah semestinya, nasionalisme menempatkan loyalitas kepada bangsa di atas segala bentuk loyalitas politik dan sosial lainnya. Bukankah juga nasionalisme tidak hanya menjadikan bangsa sebagai fokus kesetiaan politik, tetapi juga menegaskan bahwa bangsa adalah satu-satunya dasar yang tepat bagi organisasi setiap aktivitas politik
Tetapi, sulit dipungkiri bahwa masih ada yang mengikis rasa kemanusiaan dan kebangsaan demi keuntungan materi, keuntungan politik, keuntungan golongan, atau sekadar cari popularitas. Ada yang karena kegagalan sendiri, ketidakmampuan sendiri, kekalahan sendiri lantas menyalahkan pemerintah yang tengah berjuang mati-matian menghadapi pandemi Covid-19. Mereka menyebut pemerintah gagal, lip service, ingkar janji dan sebagainya. Ada yang menginginkan—bahkan menyatakan—pemerintah gagal dalam menangani pandemi Covid-19. Maka mereka bersuara sesukanya, sumbang, tidak seindah Rayuan Pulau Kelapa.
Kenyataan seperti itu, mengingatkan akan apa yang dikatakan Indonesianis Ben Anderson (1936-2015). Dalam ceramahnya tentang Nasionalisme Kini dan Esok, di Jakarta, Ben mengatakan, kebesaran jiwa bangsa Indonesia sebagai sebuah bangsa yang menjemuk sangat penting bagi kelanjutan bangsa ini. Oleh karena itu, nasionalisme atau semangat kebangsaan, merupakan proyek bersama yang senantiasa harus diperjuangkan (Kompas, 5 Maret 1999). Proyek bersama!
Untung saja, masih banyak yang mau berepot-repot dan berlelah-lelah merawat nasionalisme. Untung juga masih ada yang sadar, yang punya hati, dan peduli akan nasib sesama—sebagai sesama anak bangsa, senasib sepenanggungan—membagikan makanan gratis, sayuran gratis, sembako gratis, menyumbangkan peti mati, membuat pusat pengobatan, mengadakan vaksinasi massal, membagi oksigen gratis, tenaga gratis dengan menjadi relawan mengurusi yang isoman, dan banyak lagi tindakan-tindakan kemanusiaan lainnya.
Melihat semua itu, benar yang dikatakan oleh Cecilius (230-168 SM) seorang pengarang komik bahwa homo homini deus est, manusia adalah dewa bagi sesama; bila, saling membantu, mendukung, dan meneguhkan sesamanya. Tetapi, juga bisa menjadi homo homini lupus, manusia adalah serigala bagi sesamanya.
“Manusia serigala” itulah yang bisa dengan mudah kita saksikan di masa pandemi Covid-19 ini di berbagai media: cetak, elektronik, termasuk terutama media sosial….***
Mencerahkan mas.. MERDEKA
MERDEKA, BUNG…..terima kasih banyak
Homo homini deus est…matur nuwun pencerahannya, Pak IAS
Fikri, tetap kreatif dan produktif, ya….sehat selalu…terima kasih
Sangat mencerahkan gizi ilmunya. Horas Lae
Horas, Jufri….tetap sehat ya….salam MERDEKA
Mas Trias, terima kasih atas enlightment ini. Rasa kebangsaan, cinta tanah air HARUS mulai dihidupkan kembali dengan memulainya dari cinta pada diri sendiri, sesama, lingkungan hidup, dan Tuhan.
Sama-sama Paulce…benar…cinta tanah air harus terus ditumbuhkan, dipupuk, dan dipelihara mulai dari cinta lingkungan kita sendiri…salam…sehat
Sangat menyentuh dan mencerahkan. Terima kasih
Rayuan Pulau Kelapa, sungguh inspiratif, penuh makna. Lyriknya adalah ttg “cinta tanah air”.
Kalau ttg korporat, ekspor … itu sih kelapa sawit ya, he hee.
Nasionalisme, semangat kebangsaan … itulah jadi proyek bersama yg harus senantiasa kita perjuangkan. Always be in the making, now and forever …
Setuju sekali, mantab.
Betul sekali, Bro Senior…kuncinya cinta tanah air dan Bapak Kardinal mengajak umat untuk cinta tanah air….
Betul sekali om, nyata siapa yg bak dewa dan siapa yg serigala. Klo gak bisa bak dewa setidaknya jangan jd serigala. Cukup diam dlm doa unt kebaikan bersama
Betul, Tante Kiss…berdoa…mendoakan negeri, para petugas kesehatan dan relawan, TNI dan Polri yang berjuang keras mengalahkan covid….
Pak Trias, bagus banget tulisannya, mencerahkan hati dan pikiran kita untuk terus semangat memperkokoh nasionalisme Indonesia. Terima kasih
Pak Andradjati, terima kasih banyak….semoga demikian, nasionalisme kita makin kokoh…salam
Semangat saya makin tebal baca ini, Mas! Semoga saja sang Srigala tidak selamanya buruk laku ya Mas… setiap makhluk kan ada yg baik, ada yg buruk dan ada yg diantaranya. Terima kasih, Mas Trias.?
Bagus, mencerahkan terutama bagi tukang nyinyir, dan generasi penerus yang jadi harapan bangsa. Hidup Indonesia. Merdeka!!
Merdeka! Merdeka, Pakde….tetep sehat nggih…salam.
Betul, selalu ada yang baik dan buruk…..terima kasih Mbak…salam…tetap sehat…prokes
Paling menarik kalimat terakhir “manusia serigala”. Mungkin hanya di Indonwesia ada oranhg yang mau menurunkan Presiden di masa pandemi Covid 19.
Betul, Pakde….mungkin hanya di sini orang tak tahu terima kasih…
Pencerahan yang sangat berarti. Siapapun yang membaca tulisan ini pasti tersentuh. Bahkan ada yang berpikir .. sudah cukupkah yang kuberikan untuk negeriku?
Wow Pak Dubes…pertanyaan yang dalam…..terima kasih banyak…salam
Covid 19 ternyata bisa didekati dengan Rayuan Pulau Kelapa. Semoga semakin banyak yang pro nasionalisme sejati. cinta sesama dan cinta lingkungan sebagai ungkapan cinta pada Tuhan.
Begitulah Mbah…cinta lingkungan….mantap.
Thanks mas Tias yang cerdas atas renungananya tentang nasionalisme. Semoga nasionalisme bukan saja menjadi barang dagangan para elite politik tetapi direalisir dalam tindakan konkrit lebih-lebih saat covid-19 ini.
Mas Barsono, matur nuwun….semoga demikian…menjadi konkret
Kata yang pas: “MENELIKUNG”. ?????
Semoga kita segera bisa terlepas dari telikungan ini.. ???
TErima kasih banyak….salam