I

Kisah Bupati Probolinggo Puput Tantriana Sari (bersama suaminya,Hasan Aminuddin, seorang anggota DPR-RI) dan Bupati Banjarnegara Budhi Sarwono yang berurusan dengan KPK, mengingatkan cerita tentang Niẓām al-Mulk.
Niẓām al-Mulk adalah seorang ahli politik, pemimpin militer yang bijaksana, dan seorang filosof yang alim serta luas ilmu pengetahuannya. Tokoh ini dilahirkan pada tahun 408 Hijrah (10 April 1018 M) di desa kecil Radhkan di pedalaman Ṭūs, Khorāsān—kini masuk wilayah Iran—dengan nama Abū ʿAlī Ḥasan ibn ʿAlī ibn Isḥāq al-Ṭūsī. Sebagai tokoh, ia sangat dikenal di zaman Dinasti Seljuk. Ia digambarkan sebagai perdana menteri, jiwa kenegarawanannya sangat menonjol.
Nama Seljuk diambil dari nama seorang pemimpin kabilah Turki Ghuzz yang mendiami wilayah imperium Uygur: Seljuk bin Tuqaq. Kekaisaran Seljuk Raya merupakan Imperium Islam Sunni abad pertengahan yang wilayah kekuasaanya meluas hingga wilayah Hindu Kush sampai Anatolia Timur, dari Asia Tengah sampai Teluk Persia.
Dinasti Seljuk mencapai puncak kejayaan ketika menguasai negeri-negeri di kawasan Timur Tengah seperti Persia, Irak, Suriah, serta Kirman. Karena kemampuannya menaklukan wilayah-wilayah tersebut, Dinasti Seljuk menjadi amat disegani.
Di zaman itulah Niẓām al-Mulk, hidup. Niẓām diangkat menjadi wazir, perdana menteri Dinasti Seljuk di masa pemerintahan Sultan Alp Arslan (1063-1072) dan Sultan Maliksyah (1072-1092). Sebagai “seorang yang alim, dermawan, agamawan, penyantun, adil, suka memaafkan orang yang bersalah, majlisnya ramai didatangi oleh para qari, ulama, faqih dan orang-orang yang suka kebaikan dan kebajikan.”
Di zaman itu, lewat bukunya Seyāsat-nāmah atau The Book of Government (B Herry Priyono, 2018), Niẓām sudah berbicara soal korupsi. Niẓām mengartikan korupsi adalah sebagai penyelewengan jabatan dan perbuatan lain seperti memberi-menerima suap atau pemerasan.
Jauh masa sebelumnya, Kautilya (350-275 SM) penasihat kepala dan Perdana Menteri zaman Maharaja Chandragupta, penguasa pertama Dinasti Maurya, India, sudah berbicara soal korupsi. Dalam bukunya, Arthashastra, Kautilya membahas korupsi yang dalam bahasa Sanskerta disebut bhrash.
Kata bhrash berarti gagal, menyimpang dari, terpisah dari, tercerabut dari, busuk, hilang, jahat, ganas, dan merusak akhlak (Priti Phohekar: 2014). Arti kata bhrash sama dengan kata korupsi yang berasal dari bahasa Latin: corruptio (kata benda) yang berarti hal merusak, hal membuat busuk, pembusukan, penyuapan (Kamus Latin-Indonesia, 1969); yang kata kerjanya adalah corrumpere berarti antara lain menghancurkan, merusak, memburukkan, merusak bentuk, melemahkan, membinasakan, menyuap, dan memalsukan.
Baik Niẓām maupun Kautilya berpendapat bahwa korupsi adalah tindakan yang tidak bermoral. Kata Kautilya, korupsi tindakan yang bertentangan dengan kemurnian. Korupsi juga identik dengan kematian dan dekadensi moral.
Kata Niẓām, korupsi adalah tindakan semacam itu sungguh tidak terpuji dan tidak bermoral. Karena, menurut Niẓām “negara adalah tatanan moral.” Dengan berkorupsi, maka berarti mengobrak-abrik “tatanan moral” itu.
Bahkan Diego Gambetta, ilmuwan sosial dari Italia (lahir 1952) lebih tegas lagi menyebut korupsi sebagai kemerosotan watak etis orang, tiadanya integritas moral, atau bahkan kebejatan hidup koruptor.
II

Tetapi, apakah para koruptor di negeri ini pernah memikirkan soal moral, pernah mempertimbangkan bahwa tindakannya bertentangan dengan moral, bahwa apa yang ia (mereka) lakukan telah mengobrak-abrik “tatanan moral” seperti yang dikatakan oleh Niẓām?
Mungkin terlalu jauh bagi mereka bicara soal moral. Toh moral tidak membuat kenyang, tidak membuat kaya. Bukankah tujuan berkuasa adalah untuk memperoleh segala-galanya, apa pun caranya? Maka itu, yang terjadi adalah korupsi menjadi habitus—watak, karakter, tabiat, perangai, tingkah-laku, kebiasaan, sifat khas—dari orang-orang pemegang kekuasaan.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mencatat ada 397 pejabat politik yang terjerat kasus korupsi sejak tahun 2004 hingga Mei 2020. Menurut Direktur Pendidikan dan Pelayanan Masyarakat KPK Giri Suprapdiono, kasus korupsi yang melibatkan kepala daerah dan anggota legislatif mencapai 36 persen atau 397 perkara, dari total perkara yang ditangani KPK. Hingga Mei 2020, jumlah anggota DPR/DPRD yang ditanganai KPK sebanyak 257 orang, wali kota/bupati 119 orang (Kompas.com, 2020/09/30).
Benarlah kata para cerdik-pandai bahwa kekuasaan itu memabukkan. Orang yang mabuk kekuasaan artinya menginginkan kekuasaan lebih dari pada yang semestinya; melebihi kapasitas yang seharusnya didapatkan. Karena mabuk kekuasaan, maka akan melakukan segala cara untuk mendapatkan kekuasaan itu.
Mengapa orang mabuk kekuasaan? Karena kekuasaan memang memesona; menjanjikan banyak hal; termasuk di dalamnya memberikan peluang atau kesempatan untuk menyalahgunakan, mengakali kekuasaan itu demi kepentingan diri.
Di saat orang mabuk itulah—apa itu mabuk kekuasan, mabuk politik, mabuk agama, dan sebagainya—kata Charlie Chaplin (1889-1977), karakter sejati seseorang muncul: entah itu musang yang sebelumnya berbulu ayam, entah itu serigala berbulu domba, entah itu musang berjanggut, atau entah penjahat yang berjubah ulama.
Tentu, semua itu menyakiti hati rakyat. Tapi, apa pedulinya? Mungkin begitu, kata para koruptor. Bila demikian, maka kisah pejabat seperti Niẓām al-Mulk dan Kautilya, hanyalah sebuah cerita lain. ***
Terima kasih mas Trias, cerita yang menggugah
Nggih, sami-sami matur nuwun….salam
Korupsi di negeri ini memang ruwet, bak benang kusut susah ngurainya. Mau jd pejabat hrs keluar uang unt kampanye, setor sana setor sini. Otomatis klo sdh jadi pastilah berusaha cari pengganti yg sdh dikeluarkan bahkan harus lebih banyak. Krn persiapan unt mempertahankan jabatan or meningkatkan jabatan. Kapan ya di negeri ini semua jabatan didapat krn kompetensi bkn krn kedekatan dan kepemilikan uang setoran? Koruptor hukumannya tdk lebih berat dr korban penyalahgunaan narkoba.
Mungkin hanya dg hukuman mati seperti di China korupsi dapat dibrantas. Mengandalkan KPK dan pengadilan koruptor, tidak pernah membuat jera pelakuknya. Sampai kapan Indonesia akan dijarah koruptor, bila tidak ada langkah drastis diambil. ….
Setuju…memang perlu langkah dan tindakan tegas…super tegas untuk membrantas korupsi….
Semoga para pejabat nkri membacanya dan mengerti bahwa korupsi itu dosa mematikan ?
amin…semog demikian…..salam
Nah, Mbak Kiss itu pertanyaan penting…kapan ya pejabat diangkat benar-benar berdasarkan kompetensinya? Soal hukuman, benar-benar juga ya, mungkin hukumannya terlalu ringan, sehingga banyak orang nekad korupsi…apalagi kalau korupsinya banyak…ya cukuplah untuk hidup terima kasih
Bagus mas Trias..
Saya mengharapkan dibahas juga kenapa korupsi di kalangan pejabat/penyelenggaran negara di Indonesia masih tetap merajalela.. meskipun orang no 1 nya (JKW) sudah memberi keteladanan utk tiak/menjauhi korupsi.
Menurut pendapat saya, salah satu kontributornya adalah kurang tegas (atau mungkin sangat lemahnya) penegakan korupsi atau bahkan hukuman utk para koruptor di Indonesia sangat sangat ringan dan tidak disertai sangsi sosial yg nyata.
Tidak heran kalau sekarang ini beredar anekdot perbedaan perlakukan terhadap para koruptor di berbagai negara.
Di negara2 lain koruptor ada yg di hukum mati, atau minimal hukuman seuumur hidup.. di Indonesia sudahlah hukuman nya ringan dalam perjalanannya diberikan remisi/potongan masa hukuman.
Makanya, ketika sobatku BSK mau maju ngelamar jadi pejabat tinggi di dunia farmasi, kubilang “Kamu ga punya bakat korupsi loh. Apa ya kerasan nanti..”
Wow…begitu ya…..cerita yang mirip-mirip pernah saya dengar..seorang bapak menceritakan anaknya yang mencari kerja ….
Terima kasih Mas…saya singgung serba sedikit…korupsi sudah menjadi semacam habitus…dan juga sepakat hukumannya lebih ringan dibanding di negara lain…jadi, ya nekad saja mereka….
Ternyata korupsi sudah dibahas 300 tahun sebelum Masehi. Matur nuwun wawasannya, Pak IAS
Hrsnya para koruptor gk perlu diremisi, dimiskinkan sekalian, maling duit rakyat enak muka gk bonyok, msh bisa foto2, kl maling ayam muka bengeb pas difoto, syukur2 msh hidup gk dibakar sm massa.
Makasih Mas Trias.
Hukuman korupsi di Indonesia masih relative ringan.
Ketegasan terhadap koruptor masih setengah setengah.
Orang tidak takut korupsi.bahkan ada yg bangga bisa korupsi, apalagi kalau tidak ketahuan, atas diputus bebas Karena bukti tidak kuat, walaupun korupsinya miliaran.
Itulah, Pak…lha wong korupsi…kok bangga….opo tumon? Salam
Betul, Gin….setuju…
Mungkin, malah sebelumnya Fikri…coba kamu cari data dan kisah-kisah korupsi…terima kasih
Para koruptor itu seringkali berkata-kata saleh, suci dan manis. Tetapi seringkali apa yang dikatakan tidak sama dengan perbuatannya. Bahkan seringkali mereka berderma sekedar untuk mencuci tangannya yang penuh kotoran korupsi.
Kata sebagian orang memang di Indonesia itu yg dibicarakan tidak berhubungan dengan yang dilakukan.
Hahahahah….mungkin benar begitu….
Begitulah, Romo….kasalehan itu menjadi semacam “asesoris”…..yang digunakan di mana perlu…matur nuwun
Kalau tujuan awal mendapatkan suatu jabatan sudah diisi dengan berbagai macam kepentingan diri sendiri, maka berbagai cara akan dilakukan untuk meraup uang sebanyak mungkin dengan jalan korupsi. Semoga semakin banyak pejabat yang jujur dan bijaksana di negeri kita ini.
Betul Suster…mereka tidak memegang prinsip “vocatio” bekerja itu sebuah panggilan, calling…
terima kasih
Terimakasih Bung Ias.
Menurut saya, selama menggunakan sistem partai politik yang digunakan sebagai kendaraan untuk duduk di Legislatif dan Eksekutif, Korupsi akan terus meraja lela.
Kesadaran masyarakat untuk membedakan antara yang benar dan yang salah masih jauh dari harapan. Masa mengambang yang sekedar mendapatkan uang Rp 50.000, tidak berpikir jauh akibat dari coblosan nya.
Sila ke 4 telah mengalami degradasi menjadi sekedar coblosan.
Silahkan Bung Trias tulis alternatif sistem perpolitikan selain coblosan partai politik.
Ki Wi
PAra cerdik-cendikia, sudah pada melemparkan gagasan soal sistem kepartaian kita Lek Wir…termasuk membikin undang-undangnya…tapi ya, begitulah
Para pelaku koruptor sudah tidak mempan ujaran.
HRS di beri sanksi Sosial.
Peran media penting, terutama televisi jangan perlakukan mrk sbg selibriti..
Mereka itu sampah masyarakat yg harus di permalukan…..
Setuju sekali, Mas Kris…harus dapat sanksi sosial yang jelas dan keras….selain dimiskinkan…dan hukuman kurungan…
……mererka sama sekali tidak mempan ujaran2 ….dan sayangnya, malah dapat panggung dari televisi….
Pejabat publik, punya peran penting dalam membangun karakter bangsa. Kalau ybs kmd berbuat korup, lalu dimana “hikmah”nya ini ?! Dari sisi moral, bkn kah ia hrs jd model, menjadi teladan bagi masyarakat yg dipimpinnya ?!
Perihal korupsi, pesan tokoh kemerdekaan India, Mahatma Gandhi patut kita renungkan:
“Dunia ini cukup untuk memenuhi kebutuhan manusia, bukan untuk memenuhi keserakahan manusia”
“Bumi ini cukup untuk tujuh generasi, namun tak pernah cukup untuk tujuh orang serakah”
Dalam banyak ajaran moral, apalagi agama … tentu disitu berlaku atau dinyatakan pula :
– Jangan mencuri,
– Jangan ingin akan milik sesamu secara tIdak adil ?!
Lalu, mengapa masih saja ada yg suka korupsi … suka mencuri uang negara, ingin akan milik negara secara sewenang-wenang ??
Senior, begitu banyak ajaran moral seperti itu…yang saya yakin mereka yang korupsi pun tahu tentang hal itu…tapi, ya tahu saja..soal melaksanakan bagi mereka urusan lain….