
I
Aku berdiri di depan sarkofagus—peti mati terbuat dari marmer warna merah marun bermotif putih—di dalam mausoleum Mustafa Kemal Atatürk, di Ankara. Orang Turki menyebut mausoleum itu Anıtkabir. Di sampingku, berdiri Arif Zulkifli, wartawan Tempo. Kami dan beberapa wartawan Indonesia di Ankara diundang pemerintah Turki.
Peti itu menjadi simbol makam Atatürk. Jenazah Atatürk dimakamkan tujuh meter di bawah peti marmer itu. Makam Atatürk ada di dalam sebuah ruangan berbentuk segi delapan, yang dibangun dengan gaya arsitektur Seljuk dan Ottoman. Tetapi, ruang makam itu tertutup, tidak dibuka untuk umum.
Atatürk adalah gelar yang artinya “Bapak Orang Turki” yang disematkan pada namanya tahun 1934. Karena gelar itu hanya untuk Mustafa Kemal, maka menurut Undang-Undang No. 2622, Pasal 1 dan 2, 17 Desember 1934, Turki melarang nama tersebut, Atatürk, digunakan oleh orang lain.
Mustafa Kemal Atatürk (1881-1938) adalah Bapak Turki Moderen, Bapak Republik Turki dan presiden pertama Turki. Maka tidak berlebihan kalau ada yang mengatakan, Mustafa Kemal Atatürk adalah Turki dan Turki adalah Mustafa Kemal Atatürk. Sama halnya Bung Karno adalah Indonesia dan Indonesia adalah Bung Karno.

II
Kami diam memandangi peti marmer merah itu. Aku tidak tahu yang ada di pikiran Arif. Tetapi, pikiranku menelusuri perjalanan dan perjuangan Mustafa Kemal sampai akhirnya mendirikan Republik Turki sekarang ini.
Terbersit pertanyaan dalam benakku: Mengapa Mustafa Kemal memindahkan ibu kota Turki dari Istanbul ke Ankara? Bukankah Istanbul, sebagai kota, lebih besar, lebih menarik, dan lebih strategis dibandingkan Ankara. Di selatan Istanbul terbentang Laut Marmara, dan di utara Laut Hitam. Bagian barat kota ada di Eropa, dan bagian timur ada di Asia. Istanbul adalah sebuah kota yang menyatukan dua benua.
Istanbul dibelah Selat Bosphorus. Sebagai pelabuhan, kota ini merupakan kota Asia terdekat dengan Eropa dan kota Eropa terdekat dengan Asia. Pentingnya Istanbul bertumpu pada kepentingan strategisnya dalam arti komersial.
Bukankah, Istanbul yang saat itu berpenduduk sekitar satu juta orang, memiliki makna historis—pernah menjadi ibu kota tiga kekaisaran: Romawi (330-1261) Bysantium (1261-1453), dan Ottoman (1453-1922)—ketimbang Ankara yang ada di tengah Anatolia (Asia Kecil) jauh dari laut dan dikepung pegunungan?
Tetapi, setelah PD I (1914-1918), sebagian besar wilayah Kesultanan Ottoman diduduki oleh Kekuatan Sekutu (Entente) yakni koalisi Perancis, Inggris, Rusia, Italia, Jepang, dan AS. Mereka menghadapi Kekuatan Sentral dari Jerman, Austria-Hongaria, Ottoman, Bulgaria dan koloni-koloni mereka. Bahkan pasukan Sekutu menduduki juga Istanbul ibu kota Ottoman.
Ketika itu, para politisi Turki, termasuk Mustafa Kemal, memutuskan untuk memindahkan pusat pemerintahan ke Ankara. Setelah Sekutu mengakiri pendudukannya, pusat pemerintahan tidak dikembalikan ke Istanbul, tetapi tetap Ankara. Mereka berpendapat, Istambul adalah ibu kota Kasultanan Ottoman. Istanbul simbol Ottoman. Mustafa Kemal dan para pendukungnya memutuskan bahwa negara baru—Republik Turki—harus memiliki simbol baru, cara hidup baru, pandangan hidup baru.
Mustafa Kemal melihat bahwa masyarakat Ottoman pasca PD I, mengalami kemunduran, baik secara politik, sosial, maupun kultural. Untuk dapat menegaskan diri di antara negara-negara lain, terutama Eropa, perlu ada perubahan radikal. Bangsa Turki harus setara dengan bangsa Eropa secara sosial, pendidikan, dan kultural serta menjadikan Turki sebagai bagian komunitas internasional bangsa-bangsa moderen.
Bagi mereka, kaum Kemalis, Turki harus bertransformasi menjadi negara bangsa modern yang menurut Mustafa Kemal “hidup sebagai bangsa yang maju dan beradab di tengah peradaban kontemporer.” Bangsa seperti itu harus sekular dan rasional, menekankan sains dan pendidikan modern untuk menciptakan ekonomi industri modern (Feroz Ahmad, 1993).
Maka, Turki pun dibangun menjadi negara sekular, demokratik, dan moderen. Sekularisme, misalnya, diartikan bukan sekadar sebagai kebebasan tak beragama melainkan kebebasan menjalankan agama tanpa politisasi.
Lewat revolusi mereka perlu awal baru, babak baru, tempat baru tanpa tradisi lama. Dan, tempat itu adalah Ankara. Maka dilancarkan revolusi dengan ideologi revolusinya adalah Kemalisme. Kemalisme adalah sebuah gerakan pencerahan. Lewat pencerahan ini, Mustafa Kemal mengajak generasi muda Turki memiliki gagasan bebas, kesadaran bebas, dan pengetahuan bebas (Sina Akşin, 1999).
Kata Feroz Ahmad, Mustafa Kemal tidak ingin memerintah masyarakat Turki melalui tradisi, dan keyakinan sosial dan simbol-simbol, seperti yang nantinya dilakukan Franco di Spanyol dan Mussolini di Italia. Dia lebih suka menciptakan ideologi dan simbol baru yang memungkinkan Turki maju pesat di abad kedua puluh. Karena tidak konservatif, ia tidak takut akan modernisme sekuler maupun demokrasi liberal, meskipun ia memandang demokrasi liberal sebagai rem bagi radikalismenya sendiri.
Singkat kata, keputusan memilih Ankara sebagai ibu kota Turki, menjadi pemutus segala ikatan dengan masa lalu (John Freely, 1996). Mustafa Kemal ingin membawa Turki memasuki masa baru, zaman baru. Kesultanan Ottoman adalah masa lalu. Republik Turki adalah zaman baru.

Bandung, Senin (17/1/2022), (Foto: Kompas.com)
III
Maka Turki pun memasuki Zaman Baru. Sebuah zaman yang sangat berbeda dengan zaman sebelumnya. Seperti diucapkan Publius Ovidius Naso (43 SM – 17 M) seorang penyair Roma, Tempora permutas nec tu mutaris in illis, waktu berubah dan kita pun berubah karenanya. Perubahan adalah sebuah keniscayaan, jika tidak berubah akan ketinggalan zaman; tidak sekadar ketingggalan kereta.
Dan, ketika itu, Mustafa Kemal berkeyakinan bahwa Turki harus berubah. Ia melihat bahwa kekalahan Ottoman dalam PD I adalah momentum untuk melakukan perubahan. Dengan risiko dan tantangan tidak ringan, langkah perubahan itu dilakukan oleh Mustafa Kemal. Ia memulai jalan perubahan dengan menjadikan Ankara sebagai ibu kota negara.
“Ibu Kota Negara (IKN) baru ini bukan sekadar kota yang berisi kantor pemerintahan, tetapi kita ingin membangun sebuah new smart metropolis yang mampu menjadi magnet, menjadi global talent magnet, dan menjadi pusat inovasi, kata Presiden Jokowi saat memberikan sambutan pada acara Dies Natalis ke-76 Universitas Katolik Parahyangan, Bandung, Senin (17/1/2022), tentang calon ibu kota negara.
Kata Jokowi, Ibu Kota Negara (IKN) baru, merupakan transformasi besar-besaran yang akan dilakukan. Pemerintah ingin membangun sebuah lokomotif baru untuk transformasi negara menuju Indonesia yang berbasis inovasi, teknologi, dan ekonomi hijau.
“Karena dari sisi ini, kita akan memulai secara fisik pembangunan IKN baru di Kalimantan Timur. Ini harus menjadi momentum untuk membangun sebuah kota yang sehat, efisien, produktif, dirancang sejak awal, dan warganya ke mana-mana dekat, warganya ke mana-mana bisa naik sepeda, bisa jalan kaki, karena zero emision, yang menyediakan pelayanan keamanan dan kesehatan serta pendidikan berkelas dunia. Bayangan kita seperti itu,” kata Presiden.
Tetapi, kata Yuval Noah Harari (2018), orang-orang biasanya takut pada perubahan, karena mereka takut tidak tahu. Namun, satu hal yang konstan dalam sejarah adalah bahwa segalanya berubah.***
Semoga pemerintah paska 2024 paham akan visi misi pemindahan dan pembangunan IKN baru, mau melanjutkan sesuai roadmap yg sudah tersusun.
Semoga demikian…maka jangan sampai salah memilih pemimpin
Ngerinya nanti ganti Presiden, ganti Roadmap negara.
Ngeri kedua adalah anggaran pembangunan IKN ditengah ancaman Pandemic yang memerlukan anggaran besar
Maka itu, jangan salah memilih pemimpin…jangan salah memilih presiden ….pilihlah yang benar-benar bekerja untuk rakyat.
Horas Maha Guru. Kunci dari analisis tsb, memang banyak orang takut pada perubahan karena mereka takut tidak tahu. Makanya kata Harari, belajar dan belajar terus. Horas Bah. Maju terus.
Siap, Jufri…marilah terus bergerak..terus berubah untuk menjadi lebih baik…
Orang takut pada perubahan karena tidak tahu. Sementara perubahan itu adalah sesuatu yang pasti. Terima kasih banyak, Pak IAS
IKI terus kreatif dan produktif….tetap semangat untuk maju…
Lewat IKN kita membangun lokomotif baru u transformasi negara menuju Indonesia yg berbasis inovasi, iptek dan ekonomi hijau. Kiranya cukup terang benderang maksud ttg IKN Nusantara. Ini u masa depan, bagi generasi mendatang. Semoga pr pihak yg pura2 tidak tahu, segera membuang ketakutan yg tidak beralasan. Tks Bung Trias.
Semoga demikian, Bung Romeo….terima kasih
Kecuali Turki, bbrp negeri lain pernah juga memindahkan ibukota nya.
Ada yg berhasil membawa kemajuan, modernisasi, dan transformasi bagi wilayah yg baru. Namun, ada juga yg gagal.
Harapan kita tentulah agar IKN yg baru membuat NKRI makin baik, Kalimantan dan propinsi lain makin berkembang – tdk terpusat di Jawa … Tp, Jawa harus tetap maju dan makin baik juga.
Memang, harus diakui tidak semua kebijakan akan berhasil…tetapi langkah maju harus terus dilakukan…
Semoga IKN di Kaltim sukses sesuai impian Jokowi. Tempora mutantur et nos mutamur in illis.
Matur nuwun pencerahannya. Izin sharring ternatas/
Silakan Pakde…terima kasih dibantu mensharingkan…..bebas…..
Semoga pesimisme sementara pihak yg menentang terjawab dng kelancaran dan keberhasilan pembangunan IKN baru…. maju terus Pak Jokowi
Amin…semoga demikian…..salam
Manusia yang tidak mau berubah adalah adalah manusia patung, tidak punya pikiran,tidak berkarya,diam beribu² kata, bener² seperti patung. Indonesia perlu pemimpin seperti pk Jokowi, seorang visioner sebab masih banyak yang harus di bangun di negara yg kaya raya sumber alam ini. IKN PENAJAM awal langkah Indonesia Baru. Lanjut pak Presiden .
Begitulah kenyataannya…masih banyak yang tetap senang menjadi patung…walaupun diberi baju, tetaplah patung….salam