
Pernah, dulu sambil kuliah terbersit dalam hati dan pikiran untuk sekolah di Habirandha. Habirandha adalah sekolah pedalangan yang terletak di Jalan Rotowijayan No. 1 Yogyakarta, dekat Keraton Ngayojahadiningrat.
Sekolah yang didirikan untuk mengembangkan seni pedalangan ini lahir atas inisiatif Kanjeng Raden Tumenggung (KRT) Djadipura pada tahun 1925. Dan, mendapat dukungan penuh dari Sri Sultan Hamengkubuwono VIII.
Entah mengapa, dulu saya tertarik sekolah pedalangan. Mungkin, karena semasa masih kecil suka menonton wayang; bahkan ke desa tetangga. Di desa saya, ada seorang dalang kondang, pada masanya, Ki Sadewa, yang rumahnya hanya sekitar 100 meter dari rumah orangtua saya. Dan, kami masih ada hubungan keluarga dengan Ki Sadewa. Saya masih ingat, dulu setiap siang main gamelan di rumahnya.
Mungkin juga, saya melihat dalang itu sangat hebat. Ia mampu menyuguhkan cerita yang sangat memesona. Omongannya didengarkan oleh para pandemen, penyuka wayang yang menonton semalam suntuk. Kalau pun tak bisa menonton secara langsung, rela mendengarkan siaran lewat radio, juga semalam suntuk.
Dalang itu sangat berkuasa. Berkuasa membuat cerita. Berkuasa mengarahkan ke mana arah cerita. Berkuasa menentukan siapa menang siapa kalah dalam peperangan. Berkuasa menyuruh para niaga untuk mulai menabuh gamelan dan menghentikan. Berkuasa menyuruh para pesinden nembang sesuai keinginannya.

II
Dalang memang hebat. Kata orang-orang pinter, dalang itu auctor intellectualis. Menurut seorang ahli bahasa dari Perancis Emile Benveniste (1902-1976), kata auctor (bahasa Inggris menjadi author) diambil dari bahasa Latin augeō (augere, kata kerja).
Dalam Kamus Bahasa Latin-Indonesia (K Prent c.m, J Adisubrata, dan WJS Poerwadarminta; 1969) kata augere mempunyai banyak arti, antara lain meningkatkan, memperbesar, menumbuhkan, memperbanyak, memperkuat, memperteguh, memupuk, dan memperkembangkan. Dalam bahasa Inggris menjadi to augment, yang berarti memperbesar, memperbanyak, dan menambah.
Sedangkan kata auctor, dalam kamus yang sama, berarti perencana, perancang, cikal-bakal, pencipta, penemu, pendiri, penegak, pembangun, pembina, dan pembuat. Selain itu juga berarti, penasihat, pendorong, penyebab, penggerak, pencetus, penganjur, pendekar, gembong, pelopor, dan dalang. Sementara arti kata intellectualis (adiectivum, kata sifat) adalah mengakalbudi, mengintelek.
Dalam rumusan K Bertens auctor intellectualis berarti pencetus ide, orang yang untuk pertama kali mengemukakan suatu pikiran atau rencana, otak atau brain di balik suatu peristiwa (Kompas, 1 Mei 2000).
Maka itu, dalam pertunjukan wayang purwo atau wayang kulit, dalang adalah tokoh sentral. Ia pengarang cerita. Ia pemain. Artis. Pemilik kuasa. Meski ada yang mengatakan, yang paling penting adalah blencong. Bléncong adalah lampu minyak kelapa yang digunakan dalam pertunjukan wayang purwa. Bléncong adalah sumber cahaya; cahaya yang menghidupkan wayang; cahaya sumber kehidupan.
Dalang—entah itu wayang kulit atau wayang beber, wayang wahyu, wayang klithik, wayang golek, atau wayang gedhog, dan juga dalang jemblung—adalah kaum intelektual tradisional. Sebagai seniman, dalang adalah manusia literer yang sekaligus filsuf. Sebagai intelektual tradisional, para dalang wayang kulit juga termasuk bagian dari kelompok sosial yang berkuasa, karena mereka memiliki (menguasai) massa penggemar.
Dialah—dalang—penentu apakah tokoh-tokoh wayang yang dimainkan bertabiat baik atau jahat seperti Sengkuni dan Durno. Dialah otak di balik suatu peristiwa. Dialah yang bikin cerita. Dialah arsitek sebuah kejadian. Dialah yang menentukan siapa yang menang dalam perang tanding, misalnya, antara Sentiaki melawan Dursasana atau antara Gatotkaca melawan Adipati Karna, atau kapan gara-gara dimainkan dan sebagainya.

III
Seperti kata K Bertens, dalang—dalam arti yang luas—berarti pencetus ide, orang yang untuk pertama kali mengemukakan suatu pikiran atau rencana, otak atau brain di balik suatu peristiwa. Maka, orang sekarang sering mengatakan, “Siapa dalang pemberontakan G30S/PKI?”, “Siapa dalang demonstrasi anarkis itu?”, “Siapa dalang pengeboman itu?”, “Siapa yang membenturkan rakyat dan aparat?”, “Siapa yang mengadu domba sesama rakyat?”, “Siapa pencetus ide pembakaran wayang?” “Siapa yang menghasut rakyat di desa itu?”
Dalang adalah otak dari sebuah peristiwa, sebuah “hajatan”. Untuk menjadi dalang seperti yang sekarang banyak dan muncul di mana-mana dalam berbagai tampilan, tidak perlu sekolah di Habirandha. Sebab, Habirandha adalah tempat para dalang yang akan mementaskan tontonan, memberikan tuntunan untuk memahami tatanan hidup bersama.
Sekarang “sekolah” dalang ada di mana-mana dalam berbagai rupa. Bisa itu perguruan tinggi negeri, swasta, maupun agama. Bisa pula organisasi kemasyarakatan, organisasi politik, bahkan organisasi keagamaan. Walaupun, tujuan mereka adalah menciptakan dalang, seorang auctor intellectualis dalam arti yang positif, tetapi lahir juga dari mereka para dalang yang menjadi otak keributan, kegaduhan, konflik, ketidak-rukunan, kebisingan, kebohongan, pengadu domba, pemecah belah, penghasut rakyat, terorisme, fanatisme, fundamentalisme, dan ujungnya penghancur negara.
Orang Jawa—atau para pandemen wayang—percaya bahwa tidak semua jenis lakon wayang dapat dipentaskan begitu saja. Misalnya, lakon “Ontran-otran Desa Wadas” tentu beda dengan “Karna Tundung di Gedung DPR” atau “Tumbal Lenyapnya Angkaramurka”, atau “Begawan Abiyasa Gadungan”, atau “Sengkuni Mati Angin”, dan masih banyak lagi. Tidak semua dalang pun mampu memainkan wayang secara sempurna. Bahkan ada jenis lakon yang baru dapat dimainkan dengan baik setelah ki dalang berpuasa dan menjalani ritus tertentu.
Tetapi, apakah para dalang yang sekarang bermunculan di mana-mana itu, dalam beragam rupa penampakan, dalam berbagai panggung kehidupan ini benar-benar berkuasa penuh? Tidak adakah kuasa lain yang menguasai dalang, seperti dalam pentas wayang kulit: ada penanggap (kuasa uang) dan ada blencong (kuasa kehidupan)? Apakah ada invisible hand (tangan tak terlihat)—meminjam istilahnya Adam Smith—yang menggerakkan para dalang itu?
Bila ada kuasa lain yang mengungguli para dalang, maka dalang pun yang sekarang pentas di mana-mana itu hanyalah wayang, hanyalah boneka bagi ambisi “dalang agung,” atau “Sang Autor Intellectualis Sejati.” Walau wayang seperti ini bisa dengan sombong, pongah, menuding orang lain sebagai wayang. …
Tentu, di Habirandha, tempat yang dulu ingin saya singgahi sebagai murid, tidak mengajarkan hal semacam itu… Walaupun sekarang banyak “dalang boneka” maupun “auctor intellectualis”….Dan, saya tidak jadi dalang….***
Bene scripta.
Hebat mas Trias bisa menyajikan berbagai judul lakon yang tidak boleh dimainkan sembarangan. Sangat inspiratif dan asosiatif….👍😁
Sebagai pandemen wayang…kita memang harus bisa memahami bukan hanya yang tersurat tetapi juga makna sesungguhnya dari yang tersirat.
Tetap cintai wayang yang sudah diakui Unesco sebagai warisan budaya dunia….👍👍
Wayang sebenarnya representasi manusia, karakter, kehidupannya, tragedi dan konflik yang ada . . .
Kisah yg dimainkan tergantung Dalang . . .
Trm kasih Dab . . .
Betul setuju sekali, Mas Rektor…..maka itu dalang sangat menentukan…akan menjadi seperti apa…
Matur nuwun, Pak….setuju, memang harus terus dipertahankan warisan budaya para leluhur yang memberikan ajaran moral dan etika kehidupan ini….meski sekarang banyak “tokoh” wayang di tengah kita yang bikin gaduh
Nuwun
Saya pengagum dalang di pentas wayang orang, wayang kulit atau wayang golek. Apalagi suaranya menggelegar berwibawa, membawakan cerita kehidupan yang penuh warna dan dalam maknanya, mencerminkan pengalaman dan budi yang luhur. Dalang yang saya kenal bukan pengecut intelek seperti Invisible hands. No way! Salam sehat, mas Trias. Tetap semangat.
Wo, mantap sekali….pernah ikut main wayang orang? Perlu mencoba, Mbak…
salama terima kasih
Inspiratif dengan memasukan unsur pengetahuan wayang klitik, wayang wahyu dll dalang wanita yg bercerita ttg perjuangan Kartini ada gak pak Trias? Pasti menarik
Lakon “Begawan Abiyasa gadungan”, “Sengkuni mati angin” sepertinya sungguh-sungguh lakon anggitan. Anggitane mas dalang Trias Kuncahyono.
Hahahaha…..lha ngersake lampahan punopo, mangga…..
Lakon “Begawan Abiyasa gadungan”, “Sengkuni mati angin” sepertinya sungguh-sungguh lakon anggitan. Anggitane mas dalang Trias Kuncahyono.
Hahahahaha……lakon carangan, Pak….nuwun
Menyejukkan ulasannya. Wayang harus tetap dilestarikan dan tetap eksis. Horas
Siap, Jufri…Horas ma jua-jua
Wayang memang budaya yang menyenangkan zaman saya kecil. Entah sekarang apakah kaum muda masih tertarik. Atau leboh tertarik dg dalang cq, actor intellectualis model zaman bubrah ini. Matur nuwun penecerahannya.
Ya, setiap zaman memiliki ciri masing-masing…tetapi, saya kira usaha untuk memepertahankan dan memperkaya wayang terus dilakukan…oleh banyak dalang …salam
Sekarang Dalang adalah pelaku utama utk suatu kejadian atau peristiwa.
Membaca judulnya saya pikir akan bicara soal issue yg msh hangat sekarang ini..”wayang dimusnahkan”. Ternyata mleset… Thanks mas pencerahannya…
Sampeyan enggak mleset….tulisan itu memang bicara soal hal tersebut, Mas…hanya saya mendekatinya dengan cara lain…salam
Bapak saya dulu semasa saya masih kecil, sering mendengarkan siaran wayang kulit semalam suntuk dari radio. Telinga saya jadi terlatih untuk mengenal karakter suara para tokoh dari Durna sampai Narada. Dari Setyaki sampI Durmagati, berikut watak² mereka. Belakangsn, setelah agak dewasa saya ngerti mengapa seseorang dijuluki Durna, Sengkuni, atau Burisrawa, dan lainnta. Ada yg sekadar karwna fisik. Ada yg karena kelakuan mereka
Betul, Pakde…hebat memang Ki Dalang, menggambarkan karakter, watak masing-masing tokoh dalam pewayangan …yang menggambarkan watak manusia…sehingga masyarakat pun langsung mengatakan…Ah, dia itu Sengkuni, karena tahu wataknya