
Bila ingat Yogya—ada yang nulis Jogja—selalu ingat kata aman dan damai, toleran, berbudaya, santun, ramah, terbuka, dan serentetan istilah atau kata lain yang menggambarkan sifat, karakter, watak baik masyarakat. Juga ingat gotong-royong, rembug desa, dialog, budaya angkringan, dan berbagai kebiasaan baik dalam hidup bermasyarakat.
Ingat Yogya juga ingat slogan yang berbunyi “Yogya Berhati Nyaman” (Perda Kota Yogyakarta No.1, Th 1992). Tentu, ada maksudnya mengapa memilih sesanti yang dijiwai oleh sesanti Mengayu Hayuning Bawana, memperindah keindahan dunia (sesanti yang ditulis dalam lambang Kota Pradja Djogjakarta) itu.
Sesanti yang memiliki asas harmoni, kelestarian, lingkungan, sosial budaya ini dicetuskan oleh Sultan Agung. Konsep ini sejatinya mengupayakan keselamatan, memelihara kehidupan, menjaga alam dari kerusakan, serta mempertahankan keseimbangan hubungan antar-makhluk di dunia. KBBI mengartikan kata “nyaman” sebagai segar, sehat, sedap, sejuk, dan enak.
Ingat Yogya, juga ingat konsep tata ruang sumbu nyegara gunung (poros laut gunung). Rasanya tidak ada kota di dunia ini memili konsep tata ruang seperti itu. Konsep sumbu nyegara gunung diwujudkan dengan membuat garis imajiner lurus dari selatan ke utara, yang menghubungkan Laut Kidul (Samudra Indonesia), Parangkusumo, Panggung Krapyak, Keraton, Tugu Pal Putih (Tugu Golong-gilig), dan Gunung Merapi. Hal ini merupakan pembagian dari aspek Jagat Alit (mikrokosmos) dan Jagat Ageng (makrokosmos) sehingga keberadaan Gunung Merapi tidak bisa lepas dari kehidupan masyarakatnya (National Geographic Indonesia, 2015).
Filosofi Poros Imajiner yakni sumbu nyegara gunung dapat dimaknai sebagai sebuah harmonisasi antara lingkungan dan fisik. Yakni, melambangkan keselarasan dan keseimbangan hubungan manusia dengan Tuhannya (Hablum Minallah), manusia dengan manusia (Hablum Minannas) maupun manusia dengan alam termasuk lima anasir pembentuknya yakni api (dahana) dari Gunung Merapi, tanah (bantala) dari bumi Ngayogyakarta dan air (tirta) dari Laut Selatan, angin (maruta) dan akasa (ether). Demikian juga tiga unsur yang menjadikan kehidupan (fisik, tenaga dan jiwa) telah tercakup di dalam filosofis sumbu imajiner tersebut (jogjaprov.go.id/)
Poros-poros tersebut didapat dari akulturasi faham Hindu dan Islam yang memiliki maksud jalan lurus menuju akhirat. Gunung Merapi ditempatkan disebelah Utara atau bagian atas yang berarti disakralkan karena Gunung Merapi merupakan wilayah yang penting bagi wiayah-wilayah di bawahnya, sekaligus menjadi pemasok utama sumber daya alam bagi wilayah sekitarnya (Zaenal Abidin Eko Putro, 2010).
II

Poros Imajiner, sumbu nyegara gunung itu, sekarang masih ada, sebagai kearifan lokal yang menjaga budaya apa adanya. Jalan Malioboro, misalnya, ada di poros imajiner itu. Pasar Beringharjo yang dibangun dalam konteks sumbu nyegara gunung, ada di sisi poros imajiner itu. Gedung Agung, juga demikian. Yang bisik-bisik sering ditanyakan adalah, apakah “Yogya Berhati Nyaman” itu masih ada?
Sebenarnya agak berat mempertanyakan hal itu. Sebab, ada yang mengartikan kata “Yogyakarta” diambil dari kata “ayodya” yang berarti “tidak ada perang” berarti ada “kedamaian” dan “karta” yang berarti “baik.” Sejarawan Peter Carey mengatakan, toponimi Yogyakarta berasal dari kata “Ayodhya” dalam bahasa Sansekerta (bahasa Jawa baru : “Ngayodya”), yang mengacu pada ibu kota Rama dalam epos Ramayana. Gagasan ini diperkuat oleh buku Thomas Raffles yang sangat terkenal, History of Java (1871), yang menegaskan bahwa kota ini “diberi nama oleh pendirinya menurut nama Ayudhya, ibu kota Rama…” (krjogja.com, 2017).
Yogyakarta adalah nama pendek dari Ngayogyakarta Hadiningrat. Ia juga dikenal sebagai nama kota Arjuna, pahlawan dalam Mahabharata (Woodward 1999:20). Meskipun ada yang membantah pendapat tersebut. Tetapi, kata ”Yogya” sekarang memiliki arti baru yakni “sesuai, layak, pantas, pas”. Artinya layak dan pantas memberikan kedamaian kepada siapa saja, semua orang Yogya dan pendatang.
Tetapi, hasil survey Setara Institute tentang kota Indeks Kota Toleran Tahun 2021 yang kemarin dulu disiarkan, sungguh mengejutkan sekaligus memrihatinkan kalau dikaitkan dengan makna kata “Yogyakarta.” Dari 94 kota di seluruh Indonesia yang disurvey, Yogyakarta ada di peringkat 22 dengan skor Indeks Kota Toleran (IKT) 5,483. Kota yang paling toleran adalah Singkawang dengan skor IKT 6,483. Kota yang paling rendah tingkat toleransinya adalah Depok dengan IKT 3,577.
Memang, dibandingkan hasil survey sebelumnya (2020) peringkat Yogyakarta naik atau membaik. Pada survey 2020, Yogyakarta ada di peringkat 33 dengan skor IKT 5,233. Meski demikian, itu berarti ada persoalan besar dari Yogyakarta yang selama ini populer dengan sebutan “Kota Budaya” bahkan disebut sebagai “jangkar budaya Jawa” dalam hal bertoleransi.
Padahal, toleransi adalah bagian yang tak terpisahkan dalam budaya Jawa, yang hidup di Yogyakarta. Maka sahabat saya Zuli Qodir mengatakan, masyarakat Yogyakarta sebenarnya toleran; bibitnya memang sudah kuat. Secara kultural, masyarakat Yogyakarta adalah masyarakat terbuka. Masyarakat Jawa atau Yogyakarta adalah masyarakat kultur.
Yang biasa terjadi, segala bentuk sikap yang akan disampaikan pada orang lain, ditimbang-timbang terlebih dalu tingkat kepantasannya. Dari ini orang Jawa mengenal konsep tepa selira. KBBI mengartikan kata tepa selira sebagai dapat merasakan (menjaga) perasaan (beban pikiran) orang lain sehingga tidak menyinggung perasaan atau dapat meringankan beban orang lain; tenggang rasa; toleransi.
Dengan demikian, konsep tepa selira lebih mengarah pada fungsi sosial. Yakni diterapkan bagi orang lain. Sikap yang dihasilkan oleh tindakan yang mengacu pada konsep tepa selira, terutama diterima dan dirasakan oleh orang lain. Melalui konsep tepa selira inilah segala sesuatu yang ada pada orang lain dapat dirasakan seakan-akan sebagai sesuatu yang menjadi miliknya sendiri. Inilah yang sering disebut sebagai golden rule, “Lakukan kepada orang lain seperti yang Anda ingin mereka lakukan kepada Anda.”
III

Mungkin, sekarang, masyarakat Yogyakarta sudah berubah, sehingga menjadi kurang toleran atau mementingkan diri sendiri, kelompoknya sendiri. Tetapi, semestinya watak, karakter, jiwa, rohnya, dan budaya Yogyakarta, tidak. Orang Yogya, masyarakat Yogya semestinya masih mengenal kata-kata bijak ini, ngono ya ngono neng aja ngono. Secara bebas dapat diartikan “Begitu ya begitu (mungkin kamu betul), tapi ya jangan begitu (apa tidak ada cara yang lebih baik?)”.
Mengapa ngono yo ngono, ning aja ngono itu penting dalam kehidupan masing-masing orang sehari-hari dan apalagi dalam bermasyarakat? Sebab, urip iku mung mampir ngombe, hidup itu sekadar berhenti sejenak untuk minum. Itu berarti bahwa dunia ini sebagai realitas adalah tempat persinggahan sejenak. Karena hanya sejenak, maka yang sejenak itu harus dimanfaatkan sebaik-baiknya bagi kebaikan bersama.
Maka orang harus selalu tepa selira, karena kita tidak hidup sendiri. Ada orang lain. Ada kelompok lain. Ada yang berbeda dengan kita. Kita ada di tengah masyarakat yang plural, yang majemuk, yang macam-macam dalam segala hal. Jadi jangan menang-menangan…seperti yang pernah diingatkan oleh Sri Sunan Pakubuwana IV dalam Serat Wulangreh aja sok “Adigang, Adigung lan Adiguna”. Manusia hendaknya tidak mengandalkan kelebihan yang dia miliki, yakni kekuatan (antara lain jumlahnya banyak, ibarat kata asu gedhé menang kerahé…), kekuasaan, dan kepandaian.
Itulah nasihat para pinisepuh, orang-orang tua tentang toleransi di Yogyakarta yang tidak lepas dari budaya gagasan yang muncul sebagai pengetahuan sehari-hari masyarakat Yogyakarta. Hanya mereka yang sudah “ilang jawane” saja yang sudah lupa akan nasihat para pinisepuh itu.
Jogja…Jogja…Jogjakarta….***
Filosofi dasar warga Jogya itu mustinya “dipenggalih” ( dirasakan dng hati ) bukan mengedepankan nalar atau logika. Sebab “kebenaran” logika belum tentu sama dengan “kebenaran” suara hati nurani. Begitu kata Ngarsa Dalem ke X kepada saya dalam suatu kesempatan.
…memang benar…dirasake…..lha neng rasa apa isih nyaman?
Fenomena ini senada dengan kawan tentang Yogya sekarang. Mereka bagaikan orang2 Farisi di zaman Yesus di tanah Israel. Mereka pelan2 tumbuh subur dengan apa yg bisa disebut kelompok Islam radikal. Kalau Allah memang serba maha, mengapa mereka menyembahnya dengan cara-cara pamer di jalanan bahwa mereka sedang beribadah? Tantangan bagi Islam kejawen yang juga dianut kalangan kraton Hamengkubuwono.
Iya, setuju Mas….memang ini tantangan, yang tidak bisa dibiarkan saja……Meski Sultan selalu mengatakan, filosofi Yogya mesti “dipenggalih” bukan dinalar….saya kurang paham.
Kalau inget sampai th 80 an, guyup rukun masih sangat terasa. Anak2 kost masih terlibat dalam kegiatan lingkungan spt kerja bakti, takziah jika ada tetangga yg mrninggal, tahlilan dll. Tapi sayang…. disayang makin kesini hilang semua budaya tsb. Bahkan kost2 an tanpa induk semang makin merebak di kota ini yg tentunya juga lepas dari pengawasan. Lihat aja tiap malam khususnya malam minggu, betapa bebasnya muda mudi bermain sampai tengah malam. Jogyaku oh jogyaku
Sepertinya perubahan tersebut terjadi seiring dengan perkembangan kota. Ini efek dari perubahan tersebut. Hal itu juga terjadi di kota tempat tinggal kami. Dibutuhkan pendidikan etika dan moral juga bimbingan agama yang benar dilingkungan keluarga kita. Semoga perubahan itu tidak merubah apalagi merusak anak cucu kita, sebagai the next generation. Selama di kota Yogyakarta, saya masih menjumpai orang2 yang tetap santun dan toleran.
Ya, semoga demikian…..hanya bagian kecil saja…tapi bisa diatasi….
Yogya berhati nyaman ato tidak, saya nunggu tanggapan kanjeng sinuwun saja
.
Hahahahah….nggih
Kalau berpijak dari hasil riset Setara Institute dan peristiwa baru saja terjadi di Malioboro baru baru ini dapat disimpulkan Jogja semakin jauh dari berhati nyaman ya
Keliatannya sudah akan ada peraturan yang menggunakan ruang publik “semaunya” agar kembali pada peruntukan yang benar…
Syukurlah….bagus tuh, Mas
Begitulah, Mas Barsono…..
Sumbu nyegara gunungnya sedikit terusik dengan tingkah yang kurang pas sekelompok orang yang salah mengartikan kearifan doa kaum hipokrit yang menimbulkan sedikit kegaduhan di jagad maya ( viral yg negatif ).
Sehingga predikat Jogja yang toleran dan tepa slira agak tertutup oleh ulah bani hipokrit yang pamer kesalehan di muka umum.
Jogja…oh Jogja….
Nderek prihatios nggih …!
Inggih, Mgr….sumbunipun sampun cupet…..
Kembalikan jogja dlm kultur yg inklusif, toleran dan damai. Mendamaikan n.menentramkan sesama.
Mustinya begitu, Ustadz…yang mangga panjenengan yang tinggal di Yogya…..dorong terus
Saya sangat suka tulisan ini. Saya diajak mengenang Yogyakarta yang saya tinggali sejak tahun 1984. Memang sangat berbeda keadaan sekarang dengan dulu. Tetapi saya saat ini tinggal di pinggir kota, 7 kilometer ke arah utara. Dan saya tinggal di dusun. Kehidupan di dusun saya masih kental semangat tepa slira-nya. Saya suka itu. Memang tak jarang saya bertemu dengan banyak orang di jalan yang murang tepa sliranya. Maunya marah melulu.
Betul sekali, Tjok Rai…begitulah….di desa orangtua saya pun…5 km ke arah Barat sudah mulai2 terasa…
Saya..kalau ke Yogya ..tinggal di wilayah Jalan Damai….km 9,2…..nanti ketemuan kalau pas saya ke Yogya
Ada fenomena baca Al Quran di Malioboro. Untuk apa? Tanda tanda zaman.
Wah, saya kurang tahu, Pakde….
Fenomena “ilang jawane” nampaknya menjadi semacam penyakit mas.. karena budaya dikesampingkan dan tdk dijadikan infrastruktur agama. Akibatnya banyak yg beragama tp tdk berbudaya.. hilang jati dirinya, tenggelam dalam kemabukan pd simbol-simbol keagamaan yg artifisial…
Bahkan, beragama tetapi tidak beriman, Rek…..nuwun
Selalu menarik kalau bicara kota yang satu ini, Jogja. Terakhir ke Jogja, waktu PPKM mulai dilonggarkan. Sempat kelalang keliling dan mampir ngopi di cafe di parkiran Taman Sari. Sempat ngobrol dengan seorang seniman Jogja. Mungkin semakin sempitnya ruang berbudaya spt dulu. Kegiatan berkesenian tradisional kalah jauh dengan berkesenian masa kini.
Tahun² akhir 1960an memang masih terasa tepa selira masyarakat umum yang luas dan berhati besar, serta tulus. Tapi kini 2020 sudah hilang, surut. Nyegara gunung suatu konsep orientasi yang mengarahkan, kini malah lebih dianggap musrik !
Sumbu imaginer yang bermula dari Cepuri di Parang Kusumo sudah kehilangan arti. Pemenggalan salib tanda kuburan umum di waktu yang lalu menggambarkan nasib tepo selira masyarakat umum bekakangan.
Memang tergantung pada penggalih keraton untuk mengampu sifat tepo selira yang menyejukkan dan memberikan rasa aman itu. Keadaan kekinian, rasanya jauh dari itu. Mungkin karena elit masyarakat yang sudah majemuk, yang tumbuh berdasarkan kuasa militeristik.
Tidak ada lagi masyarakat yang terasa aman di Yogyakarta. Masyarakat tertekan oleh sumbangan² wajib dan kewajiban² rekaan pejabat dan emak2nya. Pergunjingan yang tidak menunjukkan keakraban yang tulus sudah merebak. Padahal Yogyakarta adalah garda terakhir dari budaya Jawa dan kebatinan masyarakat yang dulu kita kenal ramah, toleran dan tepo selira. Yang masih sisa adalah masyarakat rendahan yang sepuh² yang masih bersikap demikian. Para elitenya, rupanya tinggalan rejim dahulu ketika semua posisi dikuasai oleh militer. Entah bagaimana mengembalikannya masa guyub ramah dan tulus yang dahulu ? Memang harus dipenggalih Sinuwun. Hanya beliau yang bisa mendobrak sistim tatapraja dan tatakrama yang berlaku secara umum, dan memberi arti lebih kuat dan lebih dalam tentang garis imaginer nyegara gunung itu ! Saya kira tetua budayawan keraton masih didengarkan dan diajak rembug untuk membangkitkan kembali budaya aman yang manis ini, dan menghidupkan lagi rasa sakral pada budaya Jawa yang sangat tinggi itu ! Bukankah Sinuwun masih bergelar Panatagama ? Kalah oleh orang² dungu dan bebal tak berbudaya kelas rendahan ? Bahkan kalau perlu hal ini harus disampaikan dalam paseban bersama Sultan Agung !
Ya, begitulah yang terjadi sekarang ini..pelan-pelan tapi nyata…menggerus sikap tepa selira itu..yang menjadi ciri khas masyarakat Yogyakarta (juga Indonesia secara umum). Memang
perlu ada tindakan nyata dan tegas untuk pertama menyelamatkan warisan para lelulur yang memang luhur itu dan terus memelihara serta mengembangkannya…semoga bisa..